KW
Toriq Hadad ; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
28 Maret 2015
Saya tidak setuju kalau ada yang
bilang para pembantu Presiden Jokowi kualitasnya cuma KW-3. Istilah KW-dari
kata "kwalitas" yang menunjuk barang bukan asli, lawan kata dari
"original" ("ori")--hanya pantas disandangkan untuk tas,
handphone, sepatu, atau keramik. Bukan untuk orang.
Terlalu berlebihan juga kalau
pernyataan "menteri KW-3" itu kemudian disangkut-pautkan dengan
keengganan investor menanam modal di Indonesia. Pendapat Fadli Zon, Wakil
Ketua DPR dari Partai Gerindra, itu juga tergolong statement KW. Sebab, Fadli
hanya mengulangi ucapan Rizal Ramli, ekonom yang sekarang menjadi aktivis
politik anti-pemerintah. Saya tidak ingat, juga belum sempat meneliti, apakah
omongan Rizal tergolong "ori" atau termasuk KW juga.
Yang saya ingat, sebagian orang bijak
berpendapat: sebagaimana kalian, demikian pula pemimpin kalian. Jelasnya,
pemimpin itu cerminan kita. Bila wakil-wakil kita di DPR terus ribut, polisi
tak henti bersitegang dengan KPK, penegak hukum sering kali tegas kepada
orang kecil tapi lunglai di depan yang besar, begal dan pungli masih berjaya,
rakyat gampang tersulut, mana mungkin lahir pemimpin kelas "ori"
dari kekalutan ini.
Seandainya pun Presiden Jokowi dan
sekalian menterinya bukan kelas "ori", setidaknya mereka pasti
berusaha membuat program unggulan. Bahwa buntut program itu tak sesuai dengan
harapan orang banyak, dan karenanya mutunya merosot menjadi KW, itu yang
perlu segera dievaluasi.
Program menggenjot pajak bisa jadi
contoh. Penerimaan pajak akan digenjot naik 40 persen dibanding tahun lalu.
Luar biasa. Inilah kenaikan terbesar, paling tidak dalam sepuluh tahun
terakhir. Gaji pegawai pajak dinaikkan tinggi sekali. Pengusaha kecil dan
menengah akan dikejar, termasuk pengusaha rumah kos. Ibu-ibu yang suka pakai
perhiasan mahal segera ditambah pajaknya. Sebanyak 4.000 perusahaan modal
asing (PMA), yang selama ini tak bayar pajak, masuk sebagai target.
Mengejar PMA itu rencana bagus.
Tapi lihat juga kondisi pengusaha lokal. Rupiah melemah tajam, nyaris semua
industri lesu. Bukankah semestinya pemerintah justru melonggarkan pajak agar
perusahaan punya dana cukup untuk pengembangan usaha? Dari hasil pengembangan
usaha itulah perusahaan mampu bayar pajak. Ibarat sapi perah di musim kemarau
saat rumput kering, pemerintah semestinya memberikan suplemen cukup bila
ingin susu tetap bisa diperah.
Program melarang pegawai negeri
rapat di hotel tak kalah hebat. Demi menghemat anggaran negara, rapat harus
diadakan di kementerian. Setelah dijalankan, ternyata penghematan tak
tercapai, rapat pun tidak efektif. Sementara itu, dampaknya sudah memukul
hotel, karyawan, perusahaan katering, sampai petani sayur-mayur. Niat
menghemat gagal, tapi dampak berantainya sudah memukul ekonomi rakyat.
Menteri Susi menenggelamkan kapal
asing pencuri ikan. Semua angkat jempol. Dalam sekejap, ia menjadi
"media darling". Lalu ia mulai bicara pelestarian lingkungan laut.
Ini juga gagasan bagus. Tapi, ketika ia melarang alat tangkap cantrang yang
biasa dipakai nelayan lokal tanpa sama sekali menyediakan solusi, banyak yang
antipati. Ia bahkan didemo nelayan. Tabungan prestasi Susi membakar kapal
asing, habis terkuras di tangan nelayan negeri sendiri.
Tapi saya tak percaya kita bangsa
KW. Di Jakarta, Ahok pasti kelas "ori" (minus kata-kata tajamnya).
Begitu pula Ridwan Kamil di Bandung atau Risma di Surabaya. Kalau kelak
mereka tak terpilih kembali, jangan-jangan kita memang tak mampu melahirkan
pemimpin selain kelas KW. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar