Kepermisifan terhadap Perbuatan Zina
Faisal Ismail ; Guru Besar
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 10 April 2015
Perbuatan zina (hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan
di luar nikah) bisa terjadi antara pria dan wanita yang belum menikah dan
bisa terjadi pula di kalangan pasangan yang sudah menikah. Bisa terjadi di
kalangan remaja dan bisa terjadi pula di kalangan orang dewasa.
Dalam adat istiadat dan budaya masyarakat yang berbasis agama,
perbuatan zina merupakan perbuatan sangat tercela dan terlarang. Lebih-lebih
kalau perbuatan zina itu dilakukan oleh seorang suami atau istri yang sudah
terikat dalam ikatan pernikahan.
Sampai-sampai terjadi seorang suami membacok istrinya yang
berzina dengan laki-laki lain. Begitu pula, ada seorang istri yang membakar
suaminya karena berzina dengan perempuan lain. Tragis sekali. Tak kalah tragisnya,
kehamilan dan kelahiran anak akibat ”kecelakaan” perbuatan zina ini sangat
disesalkan kemudian oleh perempuan yang berzina tadi.
Ada perempuan yang melakukan aborsi. Ada perempuan yang
menanggung malu karena mempunyai anak jadah atau anak haram. Anaknya juga
menanggung malu dalam pergaulan masyarakat karena ayah biologisnya tidak
jelas.
Di negara-negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika,
agama, budaya, hukum, dan tata susila seperti di Indonesia, perbuatan zina
dipandang sebagai pelanggaran hukum yang bisa dikenakan hukuman pidana bagi si pezina kalau perempuan yang dizinai melaporkan ke polisi. Pelakunya
bisa dipidana selama beberapa bulan atau beberapa tahun akibat perbuatan zina
yang ia lakukan.
Di negara-negara yang secara ketat menerapkan hukum Islam, si pezina dicambuk 100 kali atau
di-stoning (dilempari batu) seperti
di Iran. Poin yang hendak ditekankan di sini adalah perselingkuhan dan
perzinahan merupakan perbuatan yang sangat tercela karena melanggar ajaran
agama, tata susila, dan aturan hukum pidana. Bagi pasangan yang sudah
menikah, perzinahan merupakan ”pengkhianatan” besar terhadap pasangannya,
pengkhianatan terhadap ikrar setia pernikahan, dan pengkhianatan terhadap
kesucian pernikahan.
Berita sangat kontroversial dan mengejutkan datang dari Korea Selatan
(Korsel).
Mahkamah Konstitusi (MK) Korsel belum lama ini secara resmi
membatalkan Undang-Undang (UU) Larangan Berzina (KORAN SINDO, 28/2/15). Sebelum dibatalkan, UU Larangan Berzina
ini sudah berlaku secara efektif di Korsel selama 60 tahun. Kepada pasangan
pria-wanita yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan zina,
pengadilan menjatuhi hukuman penjara selama dua tahun.
Ide, maksud, dan tujuan utama pemberlakuan UU Larangan Perzinaan
ini adalah melindungi nilai-nilai luhur tradisi dan tata susila keluarga.
Dengan pembatalan UU Larangan Perzinaan ini, terjadilah titik balik seratus
delapan puluh derajat. Negara Korsel secara resmi membolehkan dan melegalkan
perselingkuhan bagi warga negaranya. Hukuman penjara selama dua tahun tidak
berlaku lagi bagi pasangan pria-wanita yang berzina.
Ada sembilan anggota hakim MK Korsel yang mencermati UU Larangan
Berzina sebelum UU itu dibatalkan. Dari sembilan anggota hakim MK Korsel,
tujuh anggota menyetujui pembatalan UU Larangan Perzinaan itu.
Ketua hakim MK Korsel, Park Han-Chul, mantap berucap: ”Negara tidak boleh mencampuri masalah
kehidupan pribadi warganya dengan menghukum pezina sebagai orang telah
melakukan perbuatan yang tidak bermoral.” Pernyataan ketua hakim MK
Korsel ini secara luas dilansir di Channel News Asia baru-baru ini.
Apa efek dari pembatalan UU Larangan Perzinaan ini di Korsel?
Harga saham perusahaan kondom terbesar di Korsel, Unidus Corp, langsung
melonjak sebesar 15% pada perdagangan saham lokal. Dalam kolomnya di Majalah
Tempo pada 1980-an, kolumnis kondang Mahbub Djunaidi (almarhum) mencari
padanan kata condom (bahas Inggris) dalam bahasa Indonesia. Dia tidak
menemukannya.
Sebagai ganti kata condom ini, Mahbub mengusulkan kata ”sarman”
alias sarung mani karena sulitnya mencari padanan kata Indonesianya. Tetapi,
yang berlaku dalam bahasa Indonesia sekarang adalah huruf c diubah menjadi k,
jadilah ”kondom”.
Sebelum mengeluarkan keputusan pencabutan UU Larangan Perzinaan
ini, Korsel adalah satu dari beberapa negara nonmuslim yang menyatakan
perselingkuhan sebagai tindak pidana. Setelah melalui lima kali sidang yang
diwarnai dengan serangkaian perdebatan yang cukup alot, MK Korsel menyepakati
pembatalan UU Larangan Perzinaan tersebut.
Selama enam tahun terakhir, hampir 5.500 warga Korsel didakwa
melakukan zina dan mereka menghadapi tuntutan hukum atas perselingkuhan yang
mereka perbuat. Data ini termasuk kasus perzinaan yang terjadi pada 2014.
Kantor Kejaksaan Negeri Korsel mencatat, belakangan ini kasus
pasangan yang berselingkuh menurun dan semakin jarang berakhir dengan hukuman
penjara. Pada 2004 sedikitnya 216 orang Korsel yang dipenjara atas dakwaan
berzina. Data ini menurun menjadi 42 kasus perzinaan pada 2008 dan setelah
itu hanya terjadi 22 kasus perzinaan yang berakhir dengan hukuman penjara.
Berdasarkan UU Larangan Perzinaan Korsel (sebelum dibatalkan),
pelaku zina hanya dapat dituntut bila pihak yang
dizinai (dirugikan) mengajukan pengaduan atau gugatan. Kasus hukumnya akan
dihentikan jika pihak penggugat menarik atau membatalkan tuduhan atau
gugatannya. Tidak tertutup kemungkinan, kasus perzinaan yang berujung di
pengadilan dapat diselesaikan secara kekeluargaan dengan cara memberikan
ganti uang rugi kepada pihak yang diselingkuhi (dirugikan).
Di jajaran anggota hakim MK Korsel, Ahn Chang-Ho adalah hakim
yang tidak setuju dengan pembatalan UU Larangan Perzinaan itu. Dia bersikukuh
dengan pendapatnya bahwa UU Larangan Perzinaan yang disahkan pada 1953 itu
sangat penting untuk melindungi harkat, harga diri, dan martabat keluarga.
Dengan nada keras, dia memperingatkan bahwa pencabutan UU Larangan Perzinaan
itu akan memicu terjadi penyelewengan seksual secara luas dalam masyarakat
Korsel.
Namun, desakan Ahn Chang-Ho (dan satu temannya) yang ingin tetap
mempertahankan UU Larangan Perzinaan di Korsel itu tidak terwujud karena dia
kalah suara dari mayoritas anggota hakim MK Korsel. Tujuh anggota hakim MK
Korsel sepakat membatalkan UU Larangan Perzinaan tersebut, sedangkan dua
anggota hakim lainnya tidak setuju.
Legalisasi seks bebas (free
sex) seperti yang terjadi di Korsel sekarang ini sebenarnya sudah lama
terjadi di negara-negara Barat yang menganut sekularisme. Ciri utama moral
sekuler dalam kaitannya dengan moral seksual adalah ”permissiveness” (keserbabolehan).
Dalam kultur permisif seperti di negara-negara sekuler Barat,
hubungan seks di luar nikah (perzinaan) terutama di kalangan remaja sudah biasa
dilakukan. Indonesia, yang dikenal sebagai negara Pancasila (sila pertamanya
Ketuhanan Yang Maha Esa), tidak mungkin, tidak boleh, dan tidak dapat
melegalisasi perbuatan zina.
Semua umat beragama di negeri ini tidak membenarkan
(mengharamkan) perzinaan. Alquran memperingatkan umat Islam untuk tidak
mendekati perbuatan zina. Mendekati saja dilarang, apalagi melakukannya.
Dalam perspektif Alquran, zina (hubungan seks di luar nikah)
adalah perbuatan kotor yang bisa menjadi salah satu penyebab penyakit
HIV/AIDS. Lima belas abad yang silam Alquran telah memperingatkan bahaya
penyakit yang mengerikan dan mematikan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar