Islam Nusantara
Komaruddin Hidayat; Guru Besar
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 10 April 2015
Belum lama ini saya menerima foto-foto tokoh Islam yang oleh
pengirimnya dibagi dalam dua kelompok.
Yang satu sederet foto yang disebut ”Wali Songo” atau Wali
Sembilan penyebar Islam di wilayah Nusantara, satunya lagi ”Wali Songong”
atau tokoh-tokoh Islam yang dianggap sombong. Di bawah foto-foto itu ditulis caption: Wali Songo mengislamkan orang kafir, Wali Songong mengafirkan
orang Islam.
Dugaan saya foto itu dibuat, disebarkan sebagai kritik dan
respons terhadap fenomena paham dan gerakan Islam radikal, yang dengan
semangat kebencian sering mengafirkan sesama orang Islam karena tidak sejalan
dengan paham dan gerakan mereka.
Tidak hanya mengafirkan, bahkan menghalalkan darah mereka untuk
dibunuh. Mereka menyebarkan kebencian dan mengangkat senjata yang diarahkan
pada sesama orang Islam. Jika menyimak sejarah penyebaran Islam di Nusantara,
peran para Wali Songo memang sangat fenomenal.
Mungkin yang disebut wali itu tak lain adalah juru dakwah atau
semacam misionaris muslim yang sengaja datang untuk menyebarkan ajaran Islam.
Mereka melakukannya dengan cara damai dan memanfaatkan simbol- simbol budaya lokal
sebagai mediumnya agar mudah dipahami dan diterima warga setempat. Misalnya
saja medium wayang, permainan, dan tembang-tembang yang semuanya itu tidak
ditemukan dalam masyarakat Arab.
Makanya ada istilah ”pribumisasi Islam”. Bukannya ajaran dasar Islam
yang diubah, melainkan metode yang disertai kontekstualisasi tafsirnya sesuai
dengan budaya Nusantara sebagai masyarakat maritim dan agraris.
Bukan penduduk padang pasir seperti di Arab. Fikih atau paham
keberagaman yang tumbuh dalam masyarakat padang pasir dan bangsa maritim
serta pertanian yang hidup damai, jauh dari suasana konflik dan perang,
memerlukan tafsir ulang.
Misalnya saja relasi gender. Di Nusantara ini, di beberapa
daerah para wanitanya sudah biasa aktif bertani di sawah untuk membantu
ekonomi keluarga. Mereka sulit disuruh mengganti pakaian adatnya dengan
pakaian model wanita Arab.
Demikianlah masih banyak tradisi lokal baik itu datang dari
budaya Arab maupun Nusantara yang telah menjadi medium untuk menyampaikan
agama, sehingga kita dapat membedakan mana elemen agama dan mana elemen
budaya.
Ketika menyaksikan film The
Message, misalnya, pakaian muslim dan nonmuslim sama saja karena semuanya
mengenakan tradisi Arab. Tetapi sekarang, oleh masyarakat Indonesia, pakaian
jubah lalu diidentikkan dengan pakaian Islam. Jadi, di Timur Tengah juga
terjadi arabisasi Islam. Di Indonesia terjadi pribumisasi Islam. Di Barat
terjadi amerikanisasi dan eropanisasi Islam.
Namun, ada juga paham ideologi yang ingin memaksakan arabisasi
Islam Indonesia. Ada pula ideologi islamisasi Eropa dan Amerika.
Apa pun konsep dan ideologi yang hendak diperjuangkan,
masing-masing memiliki peluang dan tantangannya karena sejatinya panggung
sejarah adalah panggung kompetisi gagasan-gagasan besar yang hendak memajukan
peradaban. Hanya ketika gagasan mesti disertai paksaan dan senjata,
kejernihan dan kemuliaan konsep keagamaan yang semula bagus jadi tercemar.
Jadi, Wali Songo penyebar Islam di tanah Jawa khususnya, dikenal
menggunakan jalan damai dan menghargai budaya lokal. Mereka mengislamkan
orang kafir, bukannya mengafir-kafirkan orang Islam yang sering dilakukan
oleh kelompok radikalis atau jihadis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar