Pangan Kita
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 09 April 2015
Mari kita bicara tentang makanan– yang nanti kita perluas
bahasannya dengan isu pangan. Jangan pandang remeh soal makanan. Sudah banyak
cerita tentang konflik yang akhirnya bisa selesai di meja makan. Kata novelis
asal Ceko, Franz Kafka, ”So long as you
have food in your mouth, you have solved all questions for the time being.”
Dalam dunia bisnis, kesepakatan yang dihasilkan di meja makan tak kalah
banyaknya dengan yang dihasilkan di lapangan golf.
Betapa pentingnya makanan mungkin tercermin dari begitu
banyaknya ungkapan inspiratif tentang ini. Kata Louise Fresco, petinggi di
Unilever Global, ”Food, in the end, in
our own tradition, is something holy. It’s not about nutrients and calories.
It’s about sharing. It’s about honesty. It’s about identity.” Itu
sebabnya pemerintahan yang kuat selalu memperhatikan pangan.
Kalau rakyatnya kenyang, negaranya aman. Demikian pula
sebaliknya. Pangan sarat dengan isu politik, apalagi bila pupuk subsidi dan
benih dibiarkan jadi mainan para broker, tim sukses bupati, para penguasa
lokal yang berlindung di balik kekuatan partai politik seperti yang terjadi
dewasa ini. Kita benar-benar bakalan repot besar.
We are What We Eat
Di lain pihak, kita juga bisa menemukan ungkapan yang lain.
Misalnya, ”You are what you eat.”
Atau, ”Every food has its own story.”
Ungkapan-ungkapan tadi menegaskan bahwa makanan adalah identitas, tak lepas
dari unsur sejarah dan budaya. Dalam makanan, kita bisa mengenali akar-akar
sejarah dan budaya suatu bangsa.
Sebagai bukti, saya mau menyebut satu contoh saja: rendang.
Sebagian besar kita pasti suka rendang. Siapa yang tidak? Buat Anda yang
sering bepergian ke luar negeri untuk waktu lama akan merasakan betapa
rindunya kita dengan rendang. Dalam rendang bertimbun kisah.
Konon kabarnya rendang berkembang sejak awal abad ke-16. Makanan
ini diracik dan disebarluaskan oleh orang-orang Minang. Anda tentu tahu bahwa
masyarakat Minang adalah masyarakat perantau. Dahulu mereka kerap merantau
hingga Selat Malaka dan bahkan Singapura.
Perjalanan ke sana tentu memakan waktu sampai berhari-hari.
Bahkan bisa bermingguminggu. Mereka berangkat dari desanya, berjalan menembus
hutan, menaiki bukit, menyeberangi sungai, dan mengarungi lautan. Selama
merantau mereka membawa bekal. Salah satu bekal yang cocok untuk merantau
adalah rendang.
Mengapa? Sebab rendang kering adalah makanan yang tahan lama,
bisa disimpan hingga berminggu-minggu. Kini kita bisa dengan mudah menemukan
jejak rendang di restoran-restoran Padang yang tersebar di seantero wilayah
Indonesia. Di luar negeri sekalipun kita masih bisa menemukan restoran Padang
dengan menu khasnya, rendang.
Restoran Padang ada di
mana-mana, kecuali di Padang itu sendiri. Bicara soal identitas ini hampir
setiap daerah punya identitas makanan khasnya. Silakan terka nama-nama
makanan ini sebagai identitas dari daerah mana saja: ikan kayu, Pli-U,
empeempe, tempoyak, ayam tangkap, nasi jamblang, amplang, sayur paku, Es
Palubutung, klapertaart, papeda, sayur asem, nasi uduk, gudek, pecel lele,
rujak cingur, dan seterusnya.
Impor Pangan
Kalau di negara kita ada rendang, dinegara-negaraBaratsana ada
steak. Rendang dan steak sejatinya memakai bahan dasar yang sama yakni daging
sapi. Hanya yang satu kesannya tampil lebih merakyat, satunya lagi seakan-
akan menjadi hidangan prestius.
Bahkan menjadi hidangan utama dalam acara-acara fine dining. Mungkin itu sebabnya
harganya pun berbeda. Rendang lebih murah ketimbang steak. Baiklah sekarang kita perluas ke isu pangan. Baik rendang
maupun steak sama-sama membutuhkan
garam. Juga makanan lainnya.
Apa rasanya makanan tanpa garam? Hambar. Semua makanan
membutuhkan garam. Sayangnya, Indonesia yang memiliki panjang pantai 95.181
kilometer atau terpanjang ke-4 di dunia–setelah Amerika Serikat, Kanada, dan
Rusia–ternyata malah kekurangan garam.
Hampir setiap bulan kita mengimpor garam. Februari 2015,
misalnya, kita mengimpor 101.622 ton garam atau melonjak 270% dibanding pada
Januari. Impor garam kita terbesar datang dari Australia, lalu sedikit dari
Singapura, India, dan beberapa negara lainnya.
Mengapa kita masih mengimpor garam? Kita sesungguhnya punya BUMN
yang mengurusi soal garam yakni PT Garam. Sayangnya, perusahaan ini tidak
kita urus dengan benar. Direksinya ribut dengan DPR. Lalu, dari luas lahan
produksi yang 5.500 hektare di Madura, sebanyak 85%-nya merupakan lahan
tidur. Jadi kita tidak bisa menghasilkan garam sesuai kebutuhan.
Maka itu, terpaksa kita mengimpor. Bukan hanya garam, kita juga
mengimpor teh. Februari lalu impornya mencapai USD1,8 juta. Selama 3-4 tahun
belakangan ini impor teh kita naik 15%-20% per tahun. Teh impor itu kita
datangkan dari Vietnam, Kenya, Srilanka, Iran, Jepang dan beberapa negara
lainnya.
Soal teh ini kita pantas risau sebab peningkatan impor terjadi
karena produksi kita yang menurun. Kita pernah menjadi produsen teh kelima
terbesar di dunia, tapi kini turun ke peringkat ketujuh. Penurunan produksi
terjadi karena luas lahan perkebunan teh, terutama perkebunan rakyat, terus
menurun.
Selama sekitar sepuluh tahun terakhir sekitar 30.000 hektare
kebun teh rakyat beralih menjadi lahan pertanian tanaman hortikultura. Bukan
hanya garam dan teh, daftar impor produk pangan kita selama beberapa tahun
belakangan juga terus bertambah.
Bukan hanya komoditasnya, melainkan juga volume dan nilainya.
Kita negara agraris, tetapi setiap tahun masih saja mengimpor beras. Kita
juga mengimpor gula, kopi, kedelai, jagung, bawang, cabai, buah-buahan, dan
sayur-sayuran. Kita juga masih mengimpor protein. Kita impor sapi bakalan, sapi
siap potong, sampai daging sapi.
Sebentar lagi menjelang Lebaran, impor daging sapi bakal
meningkat gila-gilaan. Negara kita dua per tiga wilayahnya terdiri dari
lautan. Namun, ternyata kita masih mengimpor ikan, baik ikan beku maupun ikan
segar. Ikan-ikan itu kita impor dari China, Thailand, Malaysia, dan Norwegia
(khusus untuk ikan salmon).
Salah Urus
Mengapa impor pangan kita terus meningkat? Saya merasa ada yang
salah urus di negara kita. Bayangkan, laut kita luas dan kita adalah negara
penghasil ikan kedua terbesar di dunia, setelah China. Tapi, mengapa
nelayan-nelayan kita selama bertahun-tahun hidup dalam kemiskinan.
Akibatnya, tak ada anak nelayan yang ingin menjadi nelayan.
Kecuali terpaksa. Kita juga negara agraris. Namun, karena para petani kita
hidup dalam kemiskinan, tak ada anak-anak muda yang tertarik untuk menjadi
petani. Kecuali terpaksa. Miskinnya nelayan kita dan petani kita adalah
akibat salah urus.
Soal garam misalnya Anda pernah dengar bukan istilah mafia
garam. Juga mafia-mafia lainnya seperti mafia bawang, mafia gula, mafia ikan,
dan sebagainya. Di dunia ini tidak ada negara miskin atau terbelakang, yang
ada adalah negara yang salah urus. Mafia-mafia tadi adalah potret negara yang
salah urus.
Saya punya kawan yang orang tuanya bergerak di sektor pangan,
tapi entah mengapa putranya justru lebih tertarik ikut saya urus sektor
sosial. Berminggu-minggu ia tinggal di rumah-rumah petani agar tahu masalah
yang dihadapi petani. Akhirnya dia tahu persis mengapa petani enggan urus
pertanian lagi. Ini jawabannya dan ini pula solusinya.
Dua masalah yang ia sorot itu adalah mata rantai yang panjang
dan mafia pupuk yang dikuasai oleh oknum pejabat pemerintah atau politisi.
Dua hal itulah yang membuat biaya input para petani menjadi sangat tinggi,
sementara jualnya pun kembali pada jalur yang panjang sehingga nilai jualnya
sangat rendah, ditambah ketidakpastian yang tinggi.
Solusinya ternyata tidak sulit-sulit amat: potong mata
rantainya, tingkatkan penghasilan petani dengan cara mengembalikan margin
yang dinikmati para pemburu rente dan tengkulak, serta kembalikan subsidi
kepada petani secara langsung. Saya percaya pemerintah kita tak ingin nelayan
dan petaninya hidup dalam kemiskinan.
Sayangnya, upaya untuk membenahi masalah-masalah pertanian dan
perikanan kita, juga masalah-masalah pangan lainnya, terasa kurang greget.
Anak muda tadi sudah bicara dengan para dirjen, bupati, sekda, dan
seterusnya. Tapi, hasilnya nihil. Saya berpikir, jangan-jangan ia bicara pada
orang yang salah.
Atau jangan-jangan mereka itulah pelaku penikmat subsidi yang
justru harus dilawan. Ketika kita ingin pemerintah serius mengurus masalah
ini, mereka malah sibuk dengan urusan uang muka kendaraan para petinggi
negeri, rebutan kursi di parlemen, memasang jerat pada penguasa, dan
seterusnya.
Ketika kita ingin bersama-sama memerangi korupsi, pemerintah
malah membiarkan kepolisian dan KPK bertengkar. Mudah-mudahan ini hanya
sementara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar