Jalan
Munir di Belanda
Endang Suryadinata ;
Peminat
Sejarah, Pernah Tinggal di Belanda
|
KORAN TEMPO, 14 April 2015
Nama mendiang Munir Said Thalib diabadikan menjadi nama jalan di
Kota Den Haag, Belanda. Peresmian nama jalan itu dilaksanakan pada 14 April
2015. Nama jalan tersebut "Munirpad,
Indonesische Voorvechter van de Bescherming de Rechten van de Mens"
atau "Jalan Munir, Advokat Pejuang
HAM Indonesia". Jalan itu berada dalam kawasan yang nama-nama
jalannya menggunakan nama para pejuang HAM di dunia, seperti Martin Luther
King, Bunda Teresa, dan Nelson Mandela.
Seperti diketahui, Munir telah diracun dalam penerbangan dari
Jakarta ke Amsterdam. Ada kemungkinan Munir sudah diracun ketika transit di
Singapura pada 7 September 2004, pukul 00.40 waktu setempat. Pasalnya,
sekitar dua jam sebelum pesawat Garuda GA974 mendarat di Bandara Schiphol,
Amsterdam, pada pukul 08.10 waktu setempat, 7 September 2004, Munir sudah
tewas. Menurut otopsi Lembaga Forensik Belanda (NFI), ditemukan racun arsenik
dalam tubuh pejuang HAM kelahiran Batu, 8 Desember 1965 itu.
Sejak kematian tersebut, publik Belanda banyak memberi perhatian
kepada Munir, termasuk pada misteri kematiannya. Membahas motif Munir
diracun, Prof Nico Schulte-Nordholt, pakar Indonesia dari Universitas Twente
di Belanda Timur, menyebutkan ada pihak tertentu yang dengan segala usaha
mencoba menggagalkan kepergian Munir ke Belanda. Para pembunuh Munir takut
begitu tiba di Belanda, tempat orang bebas berbicara apa saja, Munir akan
berbicara seenaknya tentang tingkah laku kelompok-kelompok militer dan intel
tertentu di Indonesia (tulisan saya, di
Kompas, 8 September 2007).
Pemberian nama Jalan Munir ini merupakan puncak perhatian
tersebut. Memang ironis, kalau di sana nama Munir diabadikan, di negeri ini
namanya justru diabaikan. Bukan hanya oleh rezim SBY, khususnya, tapi juga
oleh sebagian kalangan anti-HAM. Cukup sering di berbagai forum, termasuk di
media sosial, perjuangan HAM Munir dikecilkan dan dipertanyakan.
Padahal sudah terbukti, sejak merintis perjuangan buruh di
Surabaya pada 1990-an hingga memimpin Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (Kontras) pasca-Reformasi, Munir berdiri di garda depan
membela martabat manusia dari Aceh hingga Papua yang dilanggar HAM-nya.
Juga sering muncul ucapan dari tokoh-tokoh anti-HAM yang
menyesalkan langkah Suciwati, istri Munir, yang dinilai telah menjual kematian
suaminya dan membuat kasus ini menjadi perhatian masyarakat dunia. Padahal,
Suci sebenarnya hanya memberi respons kepada lembaga-lembaga internasional
yang mengundangnya, termasuk dalam undangan pemerintah Belanda terkait dengan
peresmian nama Jalan Munir kali ini.
Maka, peresmian nama Jalan Munir ini sekaligus merupakan
tantangan seberapa besar nyali presiden Jokowi untuk menuntaskan kasus
tersebut. Bahkan Koordinator Kontras, Haris Azhar, menyebutkan, Jokowi
seharusnya malu dengan pemberian nama jalan itu (Tempo.co, 5 April 2015).
Kita tahu, selama 10 tahun pemerintahan SBY, ada impunitas untuk
melindungi pihak yang paling bertanggung jawab. Menurut Priscilla B. Hayner
dalam Unspeakable Truths: Confronting
State Terror and Atrocity (2001), impunitas berkaitan erat dengan
pelanggaran HAM yang aktornya justru negara atas warganya sendiri. Nah,
beranikah pemerintah Jokowi mengakhiri impunitas sekaligus menuntaskan kasus
Munir? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar