Mengembalikan
Semangat Asia-Afrika
Shofwan Al Banna Choiruzzad ; Sekretaris Eksekutif ASEAN Study Center
FISIP UI
|
KORAN TEMPO, 14 April 2015
April ini, para pemimpin Asia-Afrika akan bersama-sama
menapaktilasi langkah pendahulu mereka dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA)
1955. Namun, apakah perhelatan ini juga akan meninggalkan dampak yang
signifikan dalam membentuk wajah dunia? Di dunia kita yang tengah berubah,
penting untuk merenungi kembali makna Konferensi Asia-Afrika dan relevansinya
bagi kita.
KAA, yang diselenggarakan pada 18-24 April 1955, adalah salah
satu momentum penting dalam pembentukan tata dunia baru pasca-Perang Dunia
II. Jejak pertama KAA terlihat jelas dalam dimensi hubungan antarnegara. Pada
paruh kedua 1940-an dan awal 1950-an, tatanan internasional yang baru sedang
dibangun. Banyak aspek dalam tatanan internasional setelah 1945 yang masih
belum menemukan bentuk yang tetap, berkaitan dengan kompetisi antara Blok
Barat dan Blok Timur dalam memperebutkan keberpihakan negara-negara
Asia-Afrika yang merupakan aktor-aktor baru dalam sistem internasional. Asia
Afrika menjadi "obyek" perebutan pengaruh kedua adidaya.
KAA menjadi panggung bagi negara-negara Asia-Afrika untuk
mengatakan bahwa mereka adalah aktor yang sejajar dalam hubungan antarnegara
dengan mengenalkan konsep "Dunia Ketiga". Saat itu, para pemimpin
Asia-Afrika mendeklarasikan bahwa mereka tidak ingin menjadi sekadar "obyek"
seperti saat mereka menjadi korban kolonialisme. Mereka bertekad menjadi
"subyek" yang dapat berperan bebas dan aktif dalam sistem
internasional untuk mewujudkan cita-cita nasional mereka sendiri, dan dengan
demikian menciptakan sistem internasional yang lebih adil.
Lebih jauh lagi, konsep "Dunia Ketiga" ini juga
menegaskan adanya "keunikan" negara-negara Asia-Afrika dan dengan
demikian menyampaikan tuntutan bahwa tata dunia yang baru harus mengakui
keunikan tersebut. Keunikan tersebut adalah kenyataan bahwa negara-negara
Asia-Afrika adalah negara-negara yang baru saja merdeka dari penjajahan dan
merasakan dampak sistemik dari penjajahan yang panjang itu. Tatanan dunia
yang dibangun tanpa memperhatikan fakta ini akan melanggengkan penindasan
yang dihadirkan oleh kolonialisme. Dari sinilah lahir konsep "right to development" (hak
atas pembangunan).
Gagasan inilah yang menjadi semangat yang mendasari perjuangan
negara-negara berkembang untuk mewujudkan tata ekonomi internasional baru.
Sejak 1950-an hingga 1970-an, gagasan ini menjadi kekuatan besar yang
mewarnai politik internasional, termasuk dengan diresmikannya UNCTAD
(Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan) sebagai badan
antarpemerintah yang permanen di dalam PBB pada 1964 hingga disepakatinya Charter of Economic Rights and Duties of
States (Piagam Hak-Hak dan Tanggung Jawab Ekonomi Negara-Negara) pada
1974.
Jejak kedua KAA tercatat dalam dimensi ekonomi politik nasional,
khususnya berkaitan dengan relasi antara negara dan pasar di negara-negara
berkembang. Untuk dapat berdiri sejajar dengan kekuatan-kekuatan dunia,
negara-negara berkembang harus memiliki ekonomi yang kuat. Untuk mewujudkan
perekonomian nasional yang kuat, sistem internasional harus memberikan
kebebasan bagi pemerintah negara-negara berkembang untuk melakukan kebijakan
yang sesuai dengan kepentingan nasional mereka tanpa tekanan dari negara maju
atau perusahaan multinasional. Dengan demikian, konsep "Dunia
Ketiga" membawa gagasan tentang peran aktif negara dalam menata perekonomian.
Hal ini tentu merupakan tantangan bagi ide laissez-faire, laissez-passer.
Jejak terakhir KAA merupakan konsekuensi langsung dari jejaknya
di dimensi pertama (politik internasional) dan dimensi kedua (relasi
negara-pasar di negara-negara berkembang). Dorongan untuk mewujudkan hubungan
ekonomi internasional yang lebih adil dan peran penting negara dalam
pembangunan kemudian melahirkan kebutuhan untuk mempelajari langkah-langkah
yang tepat untuk membangun perekonomian negara-negara berkembang. Kebutuhan
ini kemudian melahirkan "ekonomi pembangunan" (Nigel Harris, 1986).
Harus diakui bahwa pengaruh KAA telah meredup. Konsep
"Dunia Ketiga" menjadi tidak relevan seiring dengan runtuhnya
Soviet. Negara-negara Asia-Afrika dan negara-negara berkembang lainnya juga
mulai memasukkan diri ke dalam orbit tatanan dunia yang liberal, sehingga
gagasan-gagasan "right to development" dan "New International
Economic Order" tak lagi terdengar. Di tataran akademik, ide "studi
pembangunan" dianggap tak relevan. Banyak kampus yang mengganti nama
jurusan "Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan" menjadi "Ilmu
Ekonomi" saja.
Namun, menjelang peringatan 60 tahun KAA ini, dunia sedang
berubah. Krisis keuangan global pada 2009-2010 dan Krisis Eurozone tidak
hanya menandai berkurangnya dominasi kekuatan-kekuatan status quo dalam
sistem internasional, tapi juga menghadirkan pertanyaan tentang keandalan
tatanan internasional yang liberal.
KAA harus menjadi momentum untuk membuka jalan baru bagi
reformasi tatanan dunia. Tanpa itu, 60 tahun KAA tak lebih dari nostalgia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar