Melindungi
Anak-Anak dari Regenerasi Teror
Reza Indragiri Amriel ;
Alumnus
Psikologi Forensik The University of
Melbourne; Anggota Asosiasi Psikologi
Islami
|
KORAN SINDO, 13 April 2015
Polri menemukan rekaman
terduga teroris Poso, Daeng Koro, sedang melatih sejumlah anak menggunakan senjata api.
Sebelumnya beberapa pekan
lalu di laman YouTube beredar rekaman
senada. Yaitu, sejumlah anak
dengan pakaian serbahitam tampak tengah berlatih mengoperasikan senjata api. Laras panjang pula.
Sebagai latar di belakang anak-anak itu adalah sebuah bendera dengan logo sebuah organisasi yang beberapa bulan terakhir menyebarkan hawa panas ke tengkuk negara-negara dunia: ISIS !
Apabila anak-anak di dua
rekaman itu nanti benar-benar
dilibatkan dalam operasi teror,
ini seperti mengulangi modus
perekrutan para janda sebagai
anggota pasukan bahkan sebagai
pelaku bom bunuh diri.
Anak-anak, seperti juga kaum
hawa, masih belum sungguh-sungguh
dicap sebagai individu yang
berperan di depan layar dalam aksi
teror kendati sejumlah negara telah
nyata-nyata berhadapan dengan
fenomena tersebut. Pada sisi itu,
organisasi teror memang memiliki kepentingan untuk merekrut anak-anak sebagai senjata mereka.
Tema tayangan bahwa anak-anak
itu sedang dikondisikan untuk
menjadi instrumen kekerasan
pastinya bertolak belakang dengan prinsip kepentingan terbaik anak. Kehidupan masa kanak-kanak yang identik dengan bermain telah dirampas dan, sebagai gantinya, mereka dieksploitasi sedemikian rupa sebagai tentara kanak-kanak. Senjata api, sebagai simbol kekerasan yang berada dalam dunia orang dewasa, dijadikan sebagai benda laksana mainan sehari-hari.
Pemanfaatan anak-anak sebagai
tenaga kerja paksa termasuk
tentara cilik merupakan salah
satu tujuan utama kejahatan tindak
perdagangan orang, selain
dimanfaatkan sebagai budak seks dan
organ tubuhnya diperjualbelikan. Terlebih jika kepada anak-anak itu juga dibangun keyakinan bahwa mereka, dengan senjata yang mereka bawa, adalah calon-calon pejuang yang diandalkan untuk mencabut nyawa pihak lawan.
Perlakuan semacam itu
pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) yang secara eksplisit melarang siapa pun merekrut dan memperalat anak untuk kepentingan militer maupun pelibatan dalam situasi kekerasan. Demikian pula bila dihubungkan dengan Undang-Undang Tindak Pidana
Perdagangan Orang (UU TPPO).
Mungkinkah anak-anak tersebut
dipisahkan secara paksa dari
orang tua atau keluarga mereka, sebagaimana
modus perekrutan tentara cilik
oleh milisi-milisi di wilayah
konflik di Afrika? Jika itu yang
terjadi, terdapat argumentasi
kuat untuk menyebut anak-anak
tersebut sebagai korban
perdagangan orang.
Kepentingan Anak
Meski anak-anak di rekaman
Daeng Koro dan YouTube tidak
menunjukkan raut wajah negatif, bahkan
sebaliknya mereka tampak ceria, tetap
tidak bisa dinyatakan bahwa para bocah tersebut bersedia secara sukarela, bahkan bahagia dengan perlakuan yang mereka terima. Senyum anak tidak bisa dijadikan sebagai alasan oleh pihak perekrut untuk menjustifikasi aksi
mereka menjadikan anak-anak sebagai
sumber daya manusia untuk tujuan kekerasan.
Usia anak-anak itu belum
memungkinkan untuk memberikan
persetujuan maupun penolakan sehingga
unsur kemauan bisa diabaikan.
Implikasinya, sepanjang perlakuan yang dikenakan kepada anak-anak itu bertentangan dengan kepentingan terbaik mereka, terlepas bagaimana pun sikap anak-anak tersebut, mereka harus tetap didudukkan sebagai individu yang harus dilindungi dari perlakuan salah tersebut.
Rekaman di ponsel Daeng
Koro dan video YouTube tentang
anak-anak yang tengah berlatih
di lokasi kelompok teror sangat
mungkin merupakan indikasi
berlangsungnya pergeseran tren
mengenai keterlibatan keluarga dalam
jaringan teror. Pada waktu silam,
ketika seorang dewasa bergabung ke
dalam kelompok-kelompok
kekerasan, anggota keluarga
termasuk anak-anak biasanya tidak tahu-menahu. Itu sebabnya, tak jarang anggota keluarga terperanjat dan tidak percaya bahwa orang yang mereka kasihi ternyata telah terlibat
sedemikian jauh dalam aktivitas kelompok teror.
Kini kerahasiaan pelaku
teror tampak tidak lagi diterapkan
bagi keluarga mereka. Seperti yang
dilakukan enam belas wisatawan
yang tiba-tiba menghilang dan
diduga bergabung ke dalam ISIS, aktivis teror kini justru melibatkan sanak keluarga mereka untuk bersama-sama menjadi bagian dari komunitas teror.
Pada titik itu, selain UU PA
dan UU TPPO, UU Antikekerasan
Dalam Rumah Tangga (UU KDRT)
juga menjadi peranti hukum yang
relevan untuk ditegakkan.
Menyikapi kemungkinan
bahwa pola relasi keluarga
pelaku teror sangat didominasi
oleh suami atau ayah sehingga
istri dan anak tidak memiliki
kesempatan untuk menyampaikan
aspirasi serta turut menentukan
arah kehidupan keluarga, istri
dan anak seyogianya memperoleh
proteksi dengan memanfaatkan UU
KDRT tersebut. Jelas, berhadapan dengan tren baru perekrutan anggota komunitas teror seperti di atas dibutuhkan pengisolasian seketat mungkin terhadap kawasan-kawasan yang diperkirakan menjadi tujuan atau basis kelompok teror.
Pemantauan terhadap
masuknya orang-orang asing secara berkelompok ke dalam suatu wilayah juga yang sepertinya dilakukan oleh unit keluarga patut dijalankan lebih seksama guna menangkal terbentuknya zona dan komunitas teror baru.
Anak Muda dan Indoktrinisasi Mandiri
Pada era ketika jagat dunia
sudah berada di dalam genggaman
berkat perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi, proses
indoktrinisasi tidak lagi harus
melalui pendekatan konvensional.
Sebaran berbagai pesan atau
kampanye dari kelompok-kelompok
kekerasan di media sosial telah
memungkinkan siapa pun, termasuk individu-individu belia, melakukan indoktrinisasi terhadap diri mereka sendiri.
Lewat indoktrinisasi mandiri,
mereka tidak lagi perlu disambangi
oleh komplotan-komplotan jahat.
Sebaliknya, merekalah yang mengambil
prakarsa untuk mendekatkan diri sendiri ke kelompok-kelompok tersebut.
Tambahan lagi, dengan kecerdasan
yang orang-orang muda usia
miliki, mereka tidak lagi terlalu
membutuhkan instruktur guna memberikan pelatihan tentang serbaneka keahlian teror.
Selama ini pelajaran
tentang merakit bom dan modus-modus
teror lain bahkan sudah tersedia
secara gratisan di internet. Sukar diingkari; di tengah kian tingginya angka pelaku kejahatan yang melancarkan aksi pertamanya pada usia sangat muda, pelibatan anakanak muda dalam kelompok teror merupakan bukti telanjang betapa nilai kekerasan sudah disemai lewat lingkungan paling inti yakni keluarga.
Dahulu dikenal ungkapan
”demokrasi bermula di meja
makan”. Kini nyaring bunyi
kredo lain, ”Kebrutalan, atas
nama kebenaran dan kejayaan,
adalah keagungan.” Ajaran maut
itu mengalir ke setiap bulir darah sosok-sosok
mungil tak berdosa yang berloncatan di sekeliling kita. Allahu
a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar