Internet, Kontroversi, dan Otoritas
Muhammad Takdir ; Policy
Scenario Analyst, Tinggal di Swiss
|
KORAN
SINDO, 11 April 2015
Kebijakan blokir puluhan situs Islam yang dituding radikal akhir
Maret 2015 ini telah memancing kontroversi berkepanjangan. Pada saat National Telecommunication & Information Administration (NTIA) Department of Commerce AS (mbah-nya
internet) sudah mengalihkan pengurusan atau pelaksanaan fungsi-fungsi internet assigned numbers authority
(IANA) kepada komunitas internet global, Indonesia malah mencoba
mengungkunginya dengan kebijakan blokir.
Sebagian tanggung jawab NTIA yang kini dialihkan oleh Pemerintah
AS adalah menyangkut peranan prosedural maupun administrasi database yang
berisi daftar nama dan seluruh top-level
domain (TLD). Kini dampak pengalihan itu misalnya mulai terlihat dalam
pengurusan internet`s domain name
system (DNS) yang saat ini dikoordinasikan oleh Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN).
Mungkin langkah itu ibaratnya memiliki motivasi kepentingan
serupa dengan kebijakan blokir situs terlarang dilatari oleh keinginan
menggelindingkan gagasan single roof
yang bertanggung jawab penuh terhadap penanganan DNS.
Mengelola
Kontroversi
Tantangan tersebut sesungguhnya sebagian besar merupakan respons
terhadap upaya yang harus dilakukan komunitas internasional dalam menangani
tantangan global internet governance
(IG). Pemanfaatan internet kini menjadi sangat sensitif. Sebelumnya tidak
banyak memperoleh perhatian internasional karena semua menikmati internet
secara bebas hingga kemudian muncul kasus Edward Snowden.
Tokoh ini dituduh telah membocorkan dokumen paling sensitif
milik lembaga intelijen AS, CIA, melalui situs terbuka internet. Unsur public policy internet mulai gencar
mengemuka dalam dua tahun terakhir ini pascakasus Snowden. Sisi
kontroversinya menyajikan perspektif tentang siapa sesungguhnya yang dinilai
patut bertanggung jawab terhadap registrasi situs-situs kontroversial.
Contohnya, Amazon.com yang memperoleh penolakan dari banyak
negara Amerika Latin (karena mengklaim nama yang menjadi kredit geografis
negara-negara di kawasan itu) atau Islam.com yang mengatasnamakan klaim
keyakinan tertentu maupun situs-situs lainnya.
Apalagi kecenderungan kebijakan otoritatif tertentu kini condong
dikembangkan untuk mengawasi aktivitas online pengguna internet yang
selanjutnya memicu perdebatan serius antara zona kebebasan dan privasi
internet maupun aspek security-nya.
Sejujurnya terlepas dari kontroversi yang mengitarinya satu hal
yang dikhawatirkan adalah industri itu berkembang di tengah kekosongan apa
yang disebut “one global internet
multi-stakeholder model“.
Sebuah model yang berwenang terhadap operasionalisasi internet,
baik secara teknis maupun ekonomis dan politis. Bagaimanapun, pengelolaan
akuntabilitas terhadap internet atau DNS nanti diperkirakan akan lebih banyak
didominasi oleh sisi politis (kasus blokir situs radikal) daripada segi
operasionalisasinya (secara teknis).
Secara prinsipil harus diakui bahwa dalam prosesnya, tidak satu
pun pihak dapat mengontrol internet sehingga membutuhkan pengelolaan yang
mesti bersifat “mutual space“. Di tengah kekosongan
“internet governance platform“,
komunitas internasional jelas memerlukan suatu protocol parameter yang
menjamin tidak ada benturan antara kebebasan berekspresi atau privasi
internet dan sense of security.
Karena itu, konsep IG yang progresif harus bersifat terbuka, participatory, saling menguntungkan,
serta menciptakan inisiatif yang bersifat enabler
dan solusi pada setiap desain platform IG.
Satu Otoritas
Kini saatnya industri internet yang sangat multidimensional
merumuskan cara dan lembaga single roof
yang akan melakukan fungsi-fungsi yang layaknya dipikul oleh IANA. Proses
transisi yang dibuka lebar oleh NTIA menjelang kontraknya dengan ICANN
berakhir tahun ini adalah tahap terakhir dari privatisasi DNS sebagaimana
telah dijabarkan Pemerintah AS pada 1997 (dirintis oleh Wapres AS, Al Gore).
ICANN sesungguhnya memiliki kedudukan yang unik dan patut
dicermati dengan baik. Berdasarkan posisinya saat ini sebagai kontraktor yang
melakukan fungsi-fungsi IANA dan koordinator global untuk DNS, ICANN mestinya
segera merintis proses yang menyiapkan atau merumuskan rencana-rencana ke
depan dalam transition plan tersebut.
Unsur yang dapat diajak merumuskan single authoritative itu setidaknya dapat diidentifikasi sebagai
bagian kolaboratif dari pengembangan proposal itu (selain unsur negara
tentunya) antara lain Internet
Engineering Task Force (IETF), Internet
Architecture Board (IAB), Internet
Society (ISOC), Regional Internet
Registries (RIRs), para operator TLD, serta pihak-pihak lain yang
berkepentingan.
Terlepas dari agenda ICANN yang relatif ambisius, proses menuju
perumusan platform yang bersifat terbuka tampaknya akan berada pada titik
krusial. Ini sejalan dengan dinamika politik di AS. Seperti dipahami, sebagian besar
politisi AS dari Partai Republik tidak menyetujui dilepasnya peran pengaturan
internet atau DNS yang selama ini dilakukan NTIA kepada komunitas
multistakeholder.
Jika Partai Republik bersikeras memaksakan penolakannya di
Kongres dan Senat, gagasan IG akan mengalami tekanan politik yang cukup
serius. Diindikasikan, sebagian pentolan Partai Republik menolak pengebirian
peran NTIA sebagaimana diprakarsai Partai Demokrat. Mereka pun kabarnya
segera mengajukan RUU Dot.Com Bill yang akan mengkaji kembali kebijakan
tersebut.
Langkah itu pun berpotensi memberikan implikasi signifikan
terhadap keseluruhan proses yang telah dirintis ICANN. Bagi Indonesia,
perdebatan platform IG sama pentingnya dengan isu freedom of expression atau
privasi internet pada satu sisi serta arti keamanan pada sisi lainnya.
Dengan sekitar 200 internet
service provider (ISP) serta 71 juta pengguna internet yang diproyeksikan
pemerintah menjadi 110 juta tahun ini, masalah kenyamanan dan keamanan
internet (termasuk arti ekonomisnya) mesti menjadi salah satu kepentingan
strategis yang perlu di-nurture
paralel dengan proses ICANN.
Apalagi industri jasa internet di Indonesia menghasilkan
keuntungan yang ditaksir bernilai Rp3 miliar dalam setiap dua menit. Artinya,
industri ini menyimpan potensi keuntungan Rp90 miliar setiap jamnya. Kebijakan blokir
situs sama kisruhnya dengan kontroversi salah satu penahanan ISP, pemegang
jaringan internet di Indonesia yang dituntut di pengadilan beberapa waktu
lalu.
Kecenderungan itu dapat mengancam sustainability jasa internet sehingga cukup menjadi alarming bagi pemerintah untuk segera
memperkuat pengaturan IG. Kemenkominfo sebagai regulator telekomunikasi
bersama dengan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Pengelola Nama
Domain Indonesia (Pandi), serta Asosiasi Penyelenggaraan Jasa Internet
Indonesia (APJII) harus mampu menangkap peluang itu untuk menjadi leading dalam isu platform IG.
Peran mereka diharapkan muncul sebagai referensi dalam setiap
kebijakan yang terkait industri internet di tingkal lokal maupun global.
Perumusan kebijakan yang lebih maju di bidang ini tentu sangat diperlukan
mengingat industri yang tergantung pada IG yang baik dan sehat juga tergolong
sangat luas.
Sektornya tersebar mulai dari industri perbankan, bursa saham,
pusat-pusat komersial, online trading,
situs informasi, social media, instant
messaging, dan lain-lain. Twitter yang kini telah membuka kantornya di
Indonesia patut menjadi pertanda betapa industri dan market size internet di Indonesia sangat menjanjikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar