Jumat, 17 April 2015

Mewaspadai Frustrasi Sosial

Mewaspadai Frustrasi Sosial

Achmad M Akung  ;  Dosen Fakultas Psikologi
Universitas Diponegoro (Undip) Semarang
KORAN SINDO, 16 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Lelah. Barangkali kata itulah yang paling tepat menggambarkan kondisi psikologis yang tengah dirasakan sebagian besar masyarakat Indonesia menghadapi situasi sosial-politik yang gaduh di negeri ini.

Kecuali mungkin, orang-orang yang mengisolasi diri dari gempita informasi yang saban hari membombardir kita. Tapi, normalnya, siapa sih yang tidak lelah menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara yang selalu karut-marut untuk problem yang bahkan remeh-temeh sekalipun. Sementara tugas besar memajukan kehidupan masyarakat yang menjadi raison draison detre eksistensi negeri ini seakan terlupakan, tersandera oleh kegenitan politik yang banal.

Padahal, beberapa bulan yang lalu, begitu gegap gempita rakyat mendapatkan pemimpin yang baru. Sejuta harap pun tersemat di pundak pemerintah terpilih, yang mengemban citra jujur, merakyat, dan hebat. Begitu tinggi ekspektasi itu bersemi bahwa pemerintah mampu menyejahterakan rakyat, menggapai bonum publicum, sebagaimana mimpi para pendiri negeri.

Hingga kini sebagian masyarakat masih menyimpan optimisme akan kehadiran kehidupan yang lebih baik. Sayangnya, sebagian masyarakat, pula mahasiswa, telah kadung ”ilfill” dengan pencitraan dan janji-janji. Meski baru seumur jagung berkuasa, pemerintah dinilai telah menyia-siakan, bahkan mengkhianati dukungan rakyat yang meruyak saat pilpres lalu. Jika kita berkenan jujur menilai, trust (kepercayaan) rakyat kepada pemerintah memang mulai menunjukkan grafik penurunan.

Lihatlah, betapa suara-suara sumbang tentang pemerintah telah mulai bermunculan dalam obrolan keseharian. Banyak pendukung fanatik Presiden yang merasa tidak lagi bisa memahami langkah dan kebijakan presiden pilihannya. Di dunia maya, masyarakat yang ketika pemilu terpolarisasi pun kembali ”bertempur”. The Lover, di satu sisi, mengangkat kebaikan dan kehebatan kebijakan pemerintah. Sementara di sisi yang lain, The H(e)aters seakan selalu mendapatkan amunisi baru untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang seringkali kontroversial dan tidak populis itu.

Celakanya, trust yang turun itu berseiring sejalan dengan turunnya wibawa pemerintah di mata rakyat. Lihatlah di dunia maya dan media sosial. Betapa artikel, plesetan lagu, komik, meme yang mengolok-olok, menyindir, dan membercandai Presiden dan kebijakan yang diambil pemerintah bertebaran. Ini jelas tidak sehat untuk sebuah negara karena berpotensi menjadi bola salju yang kian membesar mengingat mudahnya informasi diakses publik. Tentu ini terjadi bukan tanpa sebab.

Kekecewaan terhadap kinerja pemerintah salah satu alasannya. Bagi masyarakat, indikator utamanya tentu sederhana saja. Apakah rakyat telah merasakan kesejahteraan, penegakan hukum, kekompakan dalam kabinet, serta ada tidak praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam tubuh pemerintahan. Selama ini muncul persepsi bahwa rakyat justru banyak disuguhi kebijakan kontroversial yang mengundang kegaduhan yang melelahkan. Bukan kebijakan dan langkah taktis yang efektif solutif.

Meski baru seumur jagung berkuasa, tampaknya pemerintahan ini telah berhasil membuat banyak rekor terpecahkan. Mulai dari ranah hukum, politik, hubungan internasional, hingga perihal ekonomi dan investasi. Zaman kleptolitikum (Akung, 2010), kleptomania politik dan hukum, tampaknya kian terasa ruh realitasnya di hari-hari belakangan ini. Kegaduhan dan silang-sengkarut akibat kegemaran merobek-robek hukum, membuat kita lupa tugas memberantas korupsi, kolusi, nepotisme, dan politik balas budi yang kian meraja di negeri ini.

Kita pun alpa untuk menempatkan stabilitas negara dan kepentingan bangsa pada aras utama setiap kebijakan. Banyak pihak mensinyalir bahwa Negeri Pancasilais ini lamban, namun pasti tengah dibawa menjadi negeri kapitalis-liberalis. Satu per satu subsidi dipereteli, dicabut, entah untuk kepentingan siapa.

Dialihkan, tidak tahu entah ke mana. Harga minyak dilepas bebas, liberal mengikut harga pasar dunia, nyaris tanpa subsidi. Tentu tidak perlu terlalu pandai untuk menakar multiplier effect kebijakan ganjil ini. Sewaktuwaktu harga minyak bisa naik kapan saja, membuat situasi ketidakpastian (uncertainity) kian menjadi-jadi, harga barang tak terkendali. Apalagi ketika rupiah mulai tumbang, hilang keperkasaannya.

Jangan Undang Amarah

Jika kondisi tidak populis ini dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi, tentu yang akan menyandang duka terdalam adalah wong cilik (rakyat kecil), yang sebagian besar adalah pendukung fanatik presiden terpilih.

Mereka memiliki ekspektasi (harapan) perubahan nasib yang sangat tinggi ketika ”Satria Piningit” pujaan hati terpilih menjadi pemimpi negeri. Sayangnya, semakin tinggi ekspektasi, semakin tinggi pula tingkat kekecewaan apabila ekspektasi tersebut tidak terpenuhi. Dalam telaah bukubuku klasik psikologi sosial, kekecewaan demi kekecewaan berpotensi besar melahirkan apa yang disebut sebagai frustrasi.

Solberg (2002) menunjukkan bahwa frustrasi muncul dari kesenjangan antara harapan dan pencapaian. Frustrasi (frustration) adalah sebuah kondisi psikologis tidak nyaman yang diakibatkan karena ada penghalang untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki individu. Bila situasi kekecewaan serupa ini menjangkiti sebagian besar rakyat, dirasakan secara bersama-sama oleh sebagian besar individu dalam konteks masyarakat, frustrasi ini akan berarak menuju frustrasi sosial.

Jika kondisi ini berlangsung dalam durasi waktu yang cukup lama, akumulasi kekecewaan yang semakin banyak, kuldesak penghidupan yang semakin akut, serta persepsi tidak ada harapan perbaikan keadaan, efeknya bisa meluas. Salah satu yang sangat ditakutkan tersebab frustrasi adalah munculnya agresi sebagaimana hipotesis frustrasi-agresi Dollard-Miller. Rasa frustrasi yang terakumulasi berpotensi melahirkan agresi yang sangat berbahaya dalam konteks individu.

Terlebih dalam konteks negara, kondisi frustrasi ini jelas akan jauh lebih berbahaya karena melibatkan lebih banyak pihak yang dapat memicu instabilitas. Orang-orang yang kecewa, sakit hati, bahkan frustrasi juga bisa saja mengambil respons lain seperti melakukan penarikan diri (withdrawal), cuek, dan abai terhadap apa yang terjadi. Tak jarang mereka memendam dalam diam segenap ketidaknyamanan.

Bila perasaan kekecewaan dan ketidaknyamanan ini terakumulasi dengan beban kehidupan yang semakin bertambah, bukan mustahil akan terpantik ledakan kemarahan yang memicu agresi sosial. Apalagi, ketika muncul rasa diperdaya dan dikhianati. Represi, pembungkaman, dan justru hanya akan memperbesar rasa amarah untuk mempercepat ledakan itu karena akan dimaknai sebagai serangan atas eksistensi dan harga diri.

Guyon parikena orang Jawa menyebutkan, ketika dikecewakan atau disakiti, awalnya orang akan memilih untuk ngalah (mengalah), ngalih (berpindah agar tidak mendapat masalah). Namun, bila pun mereka masih saja diusik, terlebih menyangkut soal ngeleh (lapar), sangat mungkin mereka akan ngamuk (mengamuk). Amuk (run amook) berpotensi berkecamuk, manakala kekecewaan dan frustrasi telah terakumulasi melampaui ambang toleransinya.

Segeralah Berbenah

 Negara ini ada sesungguhnya dicita untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukankesejahteraanumum (bonum publicum) yang berkeadilan. Siapa pun saja yang didaulat sejarah menjadi pemerintah negeri ini, wajib hukumnya berjuang sepenuh hati, jiwa, dan raga untuk mewujudkannya.

Komitmen inilah yang semestinya dijaga, dirawat, diimplementasikan, dan dibuktikan kepada rakyat sehingga mereka yang tengah gundah itu merasa dibersamai dan dibela oleh pemerintah yang dipilihnya. Bukan sebaliknya, pemerintah memeras dan memanipulasi rakyat untuk kepentingan diri dan relawan pendukungnya.

Komunikasi politik yang adikuat juga mutlak dibutuhkan, baik di level internal pemerintahan maupun komunikasi untuk publik. Sangatlah tidak elok ketika para petinggi negara berkomentar centang-perenang, bahkan saling menyalahkan, hingga terekspos di media massa. Ini indikasi koordinasi yang tidak terjalin rapi. Ingatlah bahwa trust rakyat sewaktu-waktu bisa saja jatuh ke titik nadir, tersebab kekonyolan komunikasi penyelenggaraan negara.

Menghadapi para pengkritik kebijakan, pemerintah tidak selayaknya melakukan aksi represi maupun pemblokiran sepihak. Anggaplah kritik sebagai tanda cinta dari rakyat. Kata kuncinya adalah apresiasi aspirasinya, panggil dan ajak berdiskusi untuk dimintai masukan yang positif-konstruktif. Pun, mahasiswa yang sudah mulai gerah, semestinya juga digandeng, dirangkul untuk bersama memperbaiki keadaan. Bukan sebaliknya, dibungkam. Sebagai catatan penutup, sangatlah tidak mungkin pemerintahan sebuah negara bisa tetap bertahan manakala mereka menyelisihi titah kuasa rakyatnya.

Kecuali, jika pemerintahan tersebut memang mendesain untuk menjelma diri menjadi tirani. Tapi, itu pun hanya sementara. Tirani, represi, kekerasan, dan pembungkaman sesungguhnya hanya akan melahirkan bara api dendam dan kebencian yang sewaktu-waktu bisa membakar siapa saja.

Senyampang masih ada waktu, segenap anak bangsa harus berbenah, membisik bangun kebersamaan. Kita tentu tidak ingin tragedi bangsa masa lalu kembali berarak kelam di langit Ibu Pertiwi, menurunkan hujan duka di Tanah Persada. Mari bersama kita jaga Indonesia kita. Wallahualam.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar