Di Balik Senyum Diplomat RI
Djoko Susilo ; Dubes RI di
Bern 2010–2014
|
JAWA
POS, 11 April 2015
BEBERAPA hari lalu saya memperoleh kesempatan berbicara di depan
sekitar 180 diplomat muda RI yang terdiri atas calon diplomat peserta Sekolah
Dinas Luar Negeri (Sekdilu) angkatan 39 dan para diplomat peserta Sekolah
Staf Dinas Luar Negeri (Sesdilu) atau yang lebih dikenal sebagai jenjang
pendidikan diplomat kelas menengah. Saya melihat wajah yang antusias, penuh
keceriaan dan senyum bahagia karena terpilih sebagai salah satu kelompok
elite yang akan mewakili Indonesia di forum internasional. Di antara mereka,
sebagian sudah bergelar master atau berpendidikan S-2, baik dari universitas
dalam negeri maupun luar negeri. Bahkan, ada juga yang sudah bergelar doktor
atau PhD dari universitas terkemuka. Jadi, mereka memang orang-orang yang
terpilih dan terseleksi dengan ketat.
Dalam kesempatan itu, di tengah keceriaan mereka, saya ingatkan
bahwa menjadi diplomat merupakan salah satu jenis jabatan PNS yang masih
sangat dihormati dan dihargai masyarakat, tetapi tidak akan memungkinkan kaya
raya. Karena itu, saya mengingatkan, para diplomat muda yang bercita-cita
ingin kaya raya dengan bekerja di Kementerian Luar Negeri sebaiknya segera
mengundurkan diri. Tugas diplomasi sangat penting, strategis, dan mulia
sehingga mereka yang bercita-cita memupuk kekayaan sebaiknya tidak berkarir
sebagai diplomat. Menjadi diplomat tidak akan kaya, walaupun juga tidak akan
masuk kategori warga miskin.
Meski demikian, menjadi diplomat ternyata tidak
"sehebat" bayangan saya sewaktu masih kuliah di Jurusan Hubungan
Internasional UGM tiga puluh tahun silam. Salah satu pokok keruwetan yang
menyebabkan diplomat RI tidak "sehebat" itu dan "bertaji"
adalah kebijakan pemerintah sendiri, termasuk birokrasi Kementerian Luar
Negeri (Kemenlu) yang jadi hambatan. Dari segi anggaran, Kemenlu termasuk
bukan prioritas dengan bujet sekitar Rp 5,6 triliun. Dengan dana sekecil itu,
bisa dimaklumi kalau tidak ada anggaran untuk promosi dagang dan pariwisata
luar negeri yang memadai. Misalnya saja KBRI Bern di Swiss. Anggaran promosi
wisata dan dagangnya hanya ratusan juta rupiah dan untuk melindungi WNI di
seluruh Swiss, cuma disediakan USD 10.000. Selain itu, ketika PNS di instansi
pemerintah lain mendapat remunerasi penuh, PNS di Kemenlu harus sabar dan
tawakal menerima 47 persen saja. Juga, kalaupun bekerja ekstra di luar jam
dinas, yang bersangkutan tidak akan mendapat upah lembur.
Sesungguhnya Menlu Retno Marsudi dan Sekjen J. Kristiarto Legowo
yang bersahabat karib sejak masa kuliah di UGM bisa melakukan banyak
perubahan untuk memperbaiki kondisi itu. Sayang, belum ada usaha penting yang
menyentuh masalah internal. Misalnya saja mereformasi biro kepegawaian, biro
keuangan, dan biro perencanaan. Tiga unit organisasi di bawah sekretariat
jenderal itu secara tradisional dipimpin diplomat karir. Akibatnya, sangat
sering terjadi pergantian nakhoda. Sebab, baru menjabat beberapa waktu sudah
digeser untuk penugasan ke luar negeri dalam kapasitasnya sebagai diplomat
karir. Kondisi itu pula yang menyebabkan para pejabat itu jarang berani
membuat inovasi dan terobosan dalam tugasnya. Mereka hanya menjalankan apa
yang diperintahkan atasan dan apa yang selama ini sudah biasa dilakukan.
Walhasil, yang terjadi adalah business
as usual.
Ambil contoh biro kepegawaian. Biro itu "nyawa" dan
"penentu nasib" para diplomat. Sebab, di kantor itulah pergerakan
diplomat RI di seluruh dunia diatur dan dikendalikan. Kapan diplomat
berangkat ke pos penempatan dan kapan melakukan penarikan dari penempatan
untuk kembali ke Jakarta, semua diatur oleh biro kepegawaian. Nasib ribuan
diplomat tiap tahun ditentukan segelintir staf Kemenlu di biro yang vital
itu. Sayang, biro yang sangat penting tersebut kurang tersentuh reformasi
birokrasi Kemenlu. Baik dalam menempatkan maupun memulangkan seorang
diplomat, biro kepegawaian kurang memperhitungkan kondisi lokal perwakilan
RI. Mereka hanya terpaku pada jadwal bahwa seseorang setelah tiga atau empat
tahun di luar negeri harus pulang, tidak peduli terjadi kekosongan pejabat di
kantor perwakilan. Akibatnya, pelayanan perwakilan RI di negara lain tidak
optimal atau memburuk karena kekurangan staf.
Sebagai contoh, pada 2013, saya pernah terancam kehilangan dua
staf diplomat di KBRI Bern karena mereka sudah dipanggil pulang tanpa
menunggu pengganti. Saya menyadari menurunnya pelayanan KBRI Bern jika dua
staf tersebut dipulangkan tanpa pengganti. Sebab, jumlah "home
staff" hanya delapan orang. Jika dikurangi dua orang, hanya tersisa enam
orang, termasuk duta besar akan kerepotan mengurus berbagai tugas. Swiss
memang negara kecil. Tetapi, hubungan ekonomi dengan Indonesia sangat
intensif dan banyak kegiatan internasional pun diselenggarakan di negara itu.
Ketika kembali ke Jakarta, saya putuskan untuk menanyakan
persoalan itu kepada kepala biro kepegawaian, mengapa dua staf saya ditarik
dan tidak ada nama penggantinya. Jawabannya membikin jengkel saya: Calon
pengganti baru akan dirapatkan seminggu lagi. Saya sudah tahu, jika saya
pasrah saja, akan terjadi kekosongan staf di KBRI Bern tiga sampai enam
bulan. Saya protes atas keputusan itu dan kepala biro pun setuju untuk
menunda pemulangan staf saya sampai staf pengganti siap. Belakangan, setelah
saya tidak di Bern, "penyakit" biro kepegawaian itu kumat lagi
dengan tetap memulangkan diplomat tanpa menunggu pengganti.
Ketika berkunjung ke Pusdiklat Kemenlu, saya heran dengan masih
banyaknya diplomat yang belum ditempatkan, nunggu sampai tujuh tahun,
sementara di berbagai pos perwakilan ratusan posisi kosong tidak diisi. Tidak
masuk akal jika waiting list
penempatan sampai hampir tujuh tahun. Memang itu bukan tugas yang harus dapat
perhatian khusus Menlu Retno. Tetapi, dia bisa memerintahkan Sekjen Kemenlu
untuk segera membenahinya. Mengapa itu penting? Sebab, sesungguhnya esensi
seseorang masuk Kemenlu adalah ingin ditempatkan di luar negeri. Jika saat
ini diplomat lulusan ke-34 Sekdilu yang masuk Kemenlu hampir tujuh tahun lalu
belum ditempatkan, kapan penempatan bagi angkatan ke-39 Sekdilu yang sekarang
baru memulai pelatihan?
Karena itu, jika bertemu diplomat RI di luar negeri yang tampak
bersemangat kerja dan penuh senyum menyapa kita, sesungguhnya hatinya selalu
waswas dengan "hantu kawat merah" pemanggilan pulang. Sesampai di
Pejambon pun tidak segera mendapat tugas. Mereka diberi gaji pokok berkisar
Rp 5 juta untuk mantan duta besar dan konsul jenderal serta sekitar Rp 2 juta
untuk diplomat muda. Saya masih bisa menemukan mantan konsul jenderal dan
duta besar yang nonjob berbulan-bulan, padahal pos yang ditinggalkannya
kosong melompong.
Menlu Retno, reformasi birokrasi harus menyentuh dan merombak di
jantung Kemenlu, yakni biro kepegawaian, agar senyum diplomat RI senyum yang
tulus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar