Jokowi, Administrator,
dan Tunjangan Kemewahan Pejabat
Laode Ida ; Sosiolog di
Departemen Sosiologi FIS UNJ Jakarta;
Mantan wakil ketua DPD RI periode 2004–2009; 2009–2014
|
JAWA
POS, 10 April 2015
LANGKAH Presiden Jokowi mencabut Perpres No 39/2015 patut
diapresiasi. Setidaknya, putra Solo itu masih menunjukkan respons positif
terhadap sikap kritis dan reaksi penolakan dari banyak pihak terhadap
kebijakan pemberian dana hibah mobil bagi para pejabat.
Selain itu, dia rela menanggung ''rasa malu'' ketika menyatakan
tidak mengetahui substansi besaran-nominal bantuan tersebut –karena tidak
sedikit yang menganggap sangat janggal jika seorang presiden hanya
membubuhkan tanda tangan yang disodorkan administrator yang membuat draf
kebijakan itu.
Namun, para warga bangsa yang bersikap ''tidak setuju''
dengan kebijakan hibah mobil tersebut tidak boleh langsung menganggap
persoalan akan selesai di situ. Sebab, ''penarikan perpres'' itu belum tentu
bersifat permanen dan sekaligus meniadakan bantuan mobil bagi para pejabat.
Boleh jadi, hal tersebut hanya penundaan untuk sekadar meredam ''gejolak
penolakan'' publik. Setelah itu, secara diam-diam kembali diterbitkan perpres
baru.
Padahal, yang
diharapkan rakyat bangsa ini, presiden tidak perlu lagi mengeluarkan
kebijakan untuk menambah fasilitas kemewahan para pejabat. Catat saja, setiap bulan mereka mendapat gaji tetap dan
berbagai tunjangan serta honor-honor, baik rutin maupun on duty bases. Total take
home pay (yang dibawa ke rumah) mereka bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Belum lagi –dan ini berlaku bagi anggota DPR dan DPD– kegiatan-kegiatan yang
dibiayai dengan sistem administrasi lumsum seperti uang reses serta
perjalanan, baik di dalam maupun luar negeri.
Bahkan, jika jujur diakui, tidak jarang oknum anggota parlemen
memanipulasi administrasi pertanggungjawaban atas anggaran yang digunakan
tanpa pengecekan lebih jauh oleh sekretariat atau BPK. Tiket pesawat,
misalnya. Porsi mereka adalah business
class, namun yang umumnya digunakan adalah kelas ekonomi. Margin harga
itulah yang seketika mempertebal saku mereka, memperbanyak pendapatan di luar
gaji dan honor-honor resmi. Semua itu ternyata legal adanya.
Yang ingin disampaikan di sini, melayani tuntutan kebutuhan para
pejabat itu mungkin sama halnya dengan melegalisasi pemborosan uang negara
untuk suatu tujuan kemewahan.
Persoalan utamanya,
kebiasaan alokasi anggaran negara kita lebih didasarkan pada ''faktor
keinginan'', bukan ''kebutuhan''. Karena
itu, keinginan para pejabat mungkin sudah dianggap kebutuhan untuk segera
dilayani. Apalagi hal itu sudah menjadi kebiasaan lima tahunan atau tahunan.
Para administrator (supporting
actors/system) di lembaga tempat pejabat tersebut merasa sudah bekerja
dalam sistem sesuai dengan ketentuan sebelumnya yang sekaligus menjadikan
para pejabat itu merasa happy
dilayani.
Pimpinan lembaga yang mengajukan usul tersebut ke presiden tentu
juga tidak salah karena sudah menjadi kewajiban untuk melayani keinginan
anggotanya.
Dalam konteks ini, sebenarnya ada dua problem mendasar dalam
proses-proses pengajuan sekaligus persetujuan atas keinginan untuk
memanfaatkan uang negara bagi para pejabat. Pertama, ketiadaan pre-audit
terhadap program atau keinginan yang akan dibiayai uang negara (APBN). Karena
itu, di satu pihak, para administrator pelayan pejabat terus terjebak pada
budaya ''asal bos senang''. Di lain pihak, anggaran negara terus saja
dihabiskan atau diboroskan untuk sesuatu yang nirmanfaat.
Celakanya, karena itu sudah menjadi kebiasaan, untuk kasus
''usul uang tunjangan mobil pejabat'', sampai-sampai presiden negara ini
''harus tanggung malu''. Jika dikaitkan dengan agenda Presiden Jokowi, hal
tersebut juga menunjukkan belum diimplementasikannya (1) revolusi mental,
baik di kalangan pejabat negara maupun para administrator yang mengitari para
pejabat itu, dan (2) belum diwujudkannya prinsip penggunaan anggaran yang
efisien sesuai dengan skala prioritas.
Namun, para pemimpin negara ini, tampaknya, sudah menikmati
berbagai tunjangan ''siluman'' kesejahteraan sehingga segala agenda kampanye
Jokowi-JK niscaya hanya akan jadi dokumen catatan sejarah politik negeri ini.
Yang diterapkan BPK adalah sistem post-audit yang bersifat membenarkan atau
menyalahkan setelah program kegiatan berikut anggarannya dilakukan.
Kedua, dalam hubungan atasan dengan bawahan, baik di lembaga
eksekutif maupun legislatif dan yudikatif, sistem instruksi top-down atau
bottom-up berdasar kebiasaan serta berbasis kepentingan, tampaknya, terus
saja berlangsung.
Menurut John J. Gabarro dan John P. Kotter dalam artikel
berjudul Managing Your Boss (dalam HBR's 10 Must Read, On Managing People,
2011), peran para bawahan justru sangat penting dalam mencapai
keberhasilan kepemimpinan seseorang. Para anak buah harus selalu menyadari
bahwa sang bos adalah manusia biasa (human
being) sehingga selalu terbuka peluang untuk melakukan kekeliruan.
Kelemahan itulah yang juga harus diantisipasi agar tidak menimbulkan sesuatu
yang fatal.
Dalam kaitan tersebut, Gabarro dan Kotter menegaskan, para
bawahan harus memiliki dua kemampuan utama. Yakni, (1) memiliki pemahaman
yang baik tentang orang lain –tentu saja terlebih pada bosnya (good understanding to others) mengenai
sisi kuat, sisi lemah, cara kerja (work
styles), dan kebutuhan; serta (2) menggunakan berbagai informasi untuk
membangun dan mengelola hubungan kerja yang sehat, baik antara dirinya
(bawahan dengan bos) maupun antara bos dengan pihak di luar mereka –pihak
lain yang memiliki banyak harapan terhadap sang bos.
Dengan kata lain, para bawahan pejabat sebenarnya menjadi
penyaring utama atas segala rencana kebijakan yang akan diputuskan atasan.
Dengan demikian, sang bos tidak melakukan kesalahan seperti dalam kasus
Jokowi yang menandatangani perpres tanpa mengetahui substansi besaran
uangnya. Bagi orang-orang yang mendampingi Jokowi, sebenarnya hal itu sangat
tidak sulit.
Sebab, latar belakang, karakter, dan visi-misinya sudah sangat
jelas, yakni sederhana, berorientasi kerakyatan, tidak ingin
menghambur-hamburkan anggaran negara, dan sebagainya yang semua itu sudah
tercantum dalam Nawacita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar