Tembak!
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus
Psikologi Forensik, The University of Melbourne
|
JAWA
POS, 05 Maret 2015
RODRIGO Gularte, salah seorang terpidana mati yang
rencananya dieksekusi, dikabarkan mengidap gangguan dan bahkan penyakit jiwa.
Karena itulah, muncul keinginan sebagian pihak agar eksekusi mati atas
Rodrigo ditunda atau bahkan –jika mungkin– dibatalkan.
Pertanyaan mendasar atas kondisi Rodrigo adalah apa tipe
guncangan psikologis yang dialami penjahat narkoba itu. Dalam khazanah psikologi
forensik, guncangan psikologis yang diidap para narapidana (napi) menjelang
pelaksanaan eksekusi mati telah lama menjadi bahan sorotan. Walau bukan
merupakan sebutan ilmiah yang tercantum pada buku-buku acuan diagnosis
psikologi dan psikiatri, kondisi psikis para terpidana mati itu diistilahkan
sebagai death row phenomenon. Bisa
diterjemahkan secara bebas sebagai fenomena antrean eksekusi mati. Para
terpidana mati yang mengalami fenomena tersebut memperlihatkan serangkaian
tanda yang disebut gejala atau sindrom antrean eksekusi mati (death row syndrome).
Fenomena antrean eksekusi mati dalam literatur Barat
diulas sebagai wujud penderitaan para terpidana mati yang disebabkan masa
penantian yang panjang serta praktik isolasi yang dikenakan terhadap mereka
sejak hakim menjatuhkan hukuman mati hingga hari pelaksanaan eksekusi.
Kalangan yang anti hukuman mati menganggap fenomena tersebut sebagai
penzaliman ganda oleh negara. Pasalnya, setelah hakim memutuskan terdakwa
diganjar hukuman mati, penghukuman terhadap terpidana justru sudah
berlangsung akibat kepastian nasib bahwa dia akan dimatikan, namun tanpa
kepastian kapan eksekusi dilaksanakan. Prosesi kematian seakan bukan lagi
misteri dan masa tunggu menjelang prosesi itu diselenggarakan bisa mencapai bilangan
puluhan tahun.
Fenomena antrean eksekusi mati, menurut hemat saya,
memberikan penekanan pada pentingnya penyelenggaraan eksekusi
selekas-lekasnya sejak hakim membuat putusan mati bagi terdakwa. Kesegeraan
juga penting mengingat unsur tersebut merupakan salah satu unsur yang harus
direalisasikan guna mengaktifkan fungsi penghukuman untuk menimbulkan efek
jera dan efek tangkal. Dua unsur lainnya adalah keajekan dan beratnya
hukuman. Bersandar pada tiga unsur tersebut, pantas berharap hukuman mati yang
dilakukan secara ajek dan segera akan bisa membuat jera sekaligus menangkal
penyalahgunaan narkoba di tanah air.
Kembali ke kabar tentang kondisi psikis terkini Rodrigo,
apa yang perlu dicermati?
Pertama, perlu dipastikan tipe keguncangan psikologis yang
diperlihatkan Rodrigo. Semua orang, dalam situasi beragam, bisa mengalami
ketidakstabilan psikologis. Mulai yang relatif ringan hingga yang berat.
Dengan demikian, tidak semua guncangan psikologis harus disikapi sebagai
kondisi yang dapat memengaruhi pertanggungjawaban seseorang yang telah
melakukan kejahatan ataupun pelanggaran hukum.
Apalagi, secara manusiawi pula, hampir bisa dipastikan,
ada berbagai dinamika psikis yang berlangsung pada diri terpidana mati
menjelang dikirim ke alam baka. Jangankan hukuman mati, baru sebatas
dipanggil untuk menghadiri persidangan pun pada dasarnya merupakan pengalaman
tak menyenangkan yang sedapat mungkin dihindari siapa pun.
Juga, kapan gerangan guncangan psikis Rodrigo itu muncul
dan apa pula penyebabnya? Benar, terpidana harus menjalani masa penantian
sebegitu lama sebelum ditembak mati. Namun, faktanya, panjangnya masa
penantian itu juga disebabkan berbagai upaya hukum yang dilakukan si
terpidana sendiri. Andai dia bisa langsung menerima vonis hakim pada persidangan
tingkat pertama bahwa dia bersalah dan pantas dihukum mati, hari eksekusi
tentu tidak akan sejauh jika si terpidana melakukan berbagai upaya hukum agar
lolos dari tangan algojo. Artinya, apabila benar terpidana mati mengalami
fenomena antrean eksekusi mati, terbentuknya dan memburuknya kondisi psikis
yang bersangkutan pada dasarnya juga merupakan buah dari ulah sendiri.
Kaitan antara fenomena antrean eksekusi mati dan
pengisolasian terhadap terpidana, sebagaimana menjadi bahan perdebatan di
negara-negara Barat, juga tidak bisa ditegakkan di Indonesia. Di
negara-negara lain, setelah divonis hukuman mati, terpidana akan menjalani
hari-harinya seorang diri di balik jeruji. Tanpa jendela, tanpa ”privilese”
sebagaimana yang diperoleh para terpidana nonmati. Sejumlah catatan bahkan
menunjukkan bahwa di banyak penjara para terpidana mati itu hanya punya waktu
tak lebih dari satu jam per hari untuk keluar dari sel isolasi masing-masing.
Selebihnya, dia betul-betul hanya bisa mondar-mandir di dalam penjara yang dihuninya.
Makan dan urusan sanitasi pun dilakukan di dalam situ.
Situasi tersebut berbeda dengan di sini. Sebagaimana
terlihat pada rekaman video rahasia tentang para terpidana mati kloter
pertama beberapa pekan lalu, mereka tetap bisa beraktivitas di luar sel untuk
jangka waktu tertentu sejak hakim memutuskan hukuman mati bagi mereka.
Pemberitaan bahwa duo Bali Nine sudah melakukan kebaikan ke sesama napi juga
menunjukkan betapa isolasi superketat terhadap terpidana mati tidak
diberlakukan di penjara-penjara Indonesia. Tambahan lagi fakta adanya
terpidana mati yang tetap bisa menjalankan bisnis narkoba dari dalam lembaga
pemasyarakatan, semakin mematahkan argumentasi bahwa terpidana mati
dikerangkeng secara keji.
Dari perspektik etiologi (bahasan tentang sebab musabab)
pun, gangguan psikis tidak pernah disimpulkan disebabkan faktor tunggal.
Fenomena antrean eksekusi mati, dengan demikian, tidak mungkin pula
disebabkan semata-mata oleh masa tunggu dan isolasi yang dijalani terpidana
mati. Niscaya ada penyebab majemuk atas kondisi si terpidana sehingga tidak
bisa dipastikan perlakuan ”eksklusif” itulah yang menjadi penyebab utama
–apalagi satu-satunya– bagi terbentuknya fenomena antrean eksekusi mati.
Karena itu pula, sungguh bisa dibantah beraneka komentar yang memosisikan
pemerintah sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas –andai
ada–berjangkitnya fenomena antrean eksekusi mati. Termasuk hingga harus
menunda, bahkan membatalkan, eksekusi atas para terpidana mati.
Jadi, jangan mundur jangan bimbang. Tim eksekutor, silakan
kokang senjata sekarang! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar