Ketika
Yang Maha Justru Meminta-minta
Azrul Ananda ; Dirut
Jawa Pos Koran
|
JAWA
POS, 04 Maret 2015
Tolong jangan tersinggung. Tolong jangan berprasangka.
Buka hati lebar-lebar. Buka pikiran lebar-lebar. Saya punya masalah dengan
istilah ’’mahasiswa’’.
Sebenarnya sudah lebih dari 15 tahun saya menulis soal
ini. Sudah lamaaa sekali pengin menanyakan soal ini. Kenapa kok pelajar
perguruan tinggi disebut ’’mahasiswa’’?
Ya, ya, ya, karena mereka adalah ’’pelajar level
tertinggi’’ di jalur pendidikan normal. Di atas TK, SD, SMP, dan SMA.
Ketika saya ke Mbah Google dan iseng-iseng mengetik ’’arti
mahasiswa’’, tidak ada jawaban yang benar-benar konkret. Pada dasarnya bilang
sama: Bahwa ini istilah untuk pelajar yang paling tinggi levelnya.
Dalam hati saya, berat lho beban nama ’’maha’’ di depan
kata ’’siswa’’ itu. Kalau mahaguru mungkin oke, karena dia guru yang lebih
hebat dari yang lain.
Tapi siswa, level apa pun, kan tetap harus belajar. Kalau
harus belajar, kok ’’maha’’?
Dan yang saya lebih heran lagi, kenapa kok di luar negeri
tidak ada yang memakai kata ’’maha’’ atau setara ’’maha’’ untuk menyebut para
pelajar perguruan tinggi?
Di Barat, misalnya, semua level disebut student. Ada high school student untuk anak SMA dan ada college student untuk pelajar perguruan tinggi.
Tidak ada ’’mahastudent’’…
Paling tidak enak lagi kalau lihat ’’mahasiswa’’ beraksi
di perempatan jalan.
Sering kan kita melihat mereka berdandan rapi dengan jas
almamater berdiri di perempatan, membawa kotak, lalu minta-minta kepada
pemakai jalan.
Oke, mereka tidak ’’minta-minta’’ seperti pengemis. Mereka
’’minta-minta’’ untuk sumbangan dengan tujuan yang baik.
Tapi, sebagai ’’maha’’, bukankah seharusnya ada perbuatan
lebih produktif lain yang lebih baik daripada minta-minta?
Semoga saya tidak disebut sok luar negeri, karena
kebetulan saya memang beruntung dulu jadi pelajar perguruan tinggi di luar
negeri.
Di tempat saya kuliah dulu, ketika berorganisasi atau
berbuat sesuatu yang bersifat sosial, kami dituntut ’’menyumbangkan’’
sesuatu. Kalau tidak bisa langsung menyumbangkan uang, ya menyumbangkan
tenaga yang kemudian menghasilkan uang untuk tujuan yang baik itu.
Bingung?
Contohnya begini: Kami ingin menyumbang penderita kanker
yang tidak mampu. Karena tidak punya banyak uang untuk disumbangkan langsung,
kami pun berbuat sesuatu untuk mengumpulkan uang.
Caranya, kami menyumbangkan tenaga kami untuk mencuci
mobil, memotong rumput, atau pekerjaan lain yang menghasilkan uang. Nah, uang
itulah yang lantas disumbangkan untuk penderita kanker.
Jadi, kami menyumbangkan tenaga untuk bekerja yang
hasilnya lantas disumbangkan.
Kalau sekadar berdiri di jalan lalu minta-minta, apakah
itu berarti menyumbangkan tenaga?
Secara teknis mungkin iya. Tapi, masak ya kreativitas dan
kemauan kerja ’’mahasiswa’’ levelnya hanya sampai segitu?
Hmm…
Salut seribu salut untuk para pelajar perguruan tinggi
yang sudah sangat kreatif dalam mengumpulkan dana. Misalnya, mengumpulkan
baju bekas, berjualan makanan dan minuman, serta hal-hal lain seperti itu.
Itu baru menyumbangkan sesuatu!
Kalaupun berarti ’’pelajar di tingkat tertinggi’’, menurut
saya, ya juga bukan pelajar perguruan tinggi.
Secara formal mungkin iya, secara realitas semua orang kan
tidak pernah berhenti belajar sepanjang hidupnya.
Emangnya kalau lulus perguruan tinggi bisa langsung jadi
pekerja yang hebat? Langsung bisa memberikan kontribusi hebat untuk
perusahaan tempat dia bekerja, atau kepada masyarakat tempat dia berada?
Belum tentu, bukan?
Kalau langsung hebat, buat apa perusahaan bikin job
training?
Jadi, setelah lulus perguruan tinggi, dia masih harus
belajar lagi menjalani pekerjaan pertamanya. Kemudian, belajar lagi untuk
bekerja lebih baik saat naik jabatan, dan begitu seterusnya.
Percaya deh, 90 persen yang saya jalani dalam pekerjaan
tidak diajarkan saat kuliah…
Bukan hanya itu. Dia juga lantas harus terus belajar dalam
kehidupan pribadinya. Belajar mencari pasangan hidup yang baik (tidak ada
sekolahnya), belajar jadi orang tua yang baik (awalnya banyak nilai
jeleknya), terus sampai belajar jadi kakek-nenek yang baik (memanjakan cucu,
bikin sebel anak), dan terus-menerus belajar.
Dan benar kata orang tua, pelajaran terbaik adalah ketika
kita gagal dalam sesuatu di hidup ini. Gagal ujian paling dapat nilai jelek.
Gagal dalam hidup dan pekerjaan? Belum tentu ada ujian ulang…
Sorry ending-nya klise. Mungkin karena saya
juga mulai menua. Hehehe… But it’s
true! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar