Investasi
dan Pembiaran Konflik
Hendrik Kawilarang ; Wakil
Sekjen Bidang Ekonomi DPP Partai Perindo
|
KORAN
SINDO, 05 Maret 2015
”Riskcomesfromnotknowing what
you’re doing.”
(Warren Buffett)
Sebulan lebih konflik antarpenegak hukum KPK-Polri seperti
dibiarkan Presiden Joko Widodo. Kondisi ini membuat banyak investor berpikir
ulang akan rencana mereka. Dari bisik-bisik dan obrolan, mereka jelas waswas.
Situasi ini mempertegas ada ketidakpastian hukum di negara ini. Kisruh
KPK-Polri membuat optimisme berinvestasi di Indonesia menjadi rusak. Walau
akhirnya Presiden Jokowi menyatakan membatalkan pencalonan Komjen Pol Budi
Gunawan sebagai kepala Polri dan diganti calon lain, Komjen Pol Badrodin
Haiti, serta menunjuk tiga pelaksana tugas pimpinan KPK yang baru, situasi
politik dan kepastian hukum masih berpotensi terjadi di negeri ini.
Investasi salah satu kekuatan otonom penting bagi
pertumbuhan ekonomi. Faktor penentu investasi moncer adalah stabilitas
sosial-politik dan kepastian hukum. Sejarah mencatat, pada masa pemerintahan
Presiden BJ Habibie terjadi kerusuhan dan bentrokan berdarah di mana-mana.
Hukum dan aparatur penegaknya hanya berdiri diam. Tak ada transparansi hukum,
penegakan hukum jungkir balik.
Di bidang ini pemerintahan Habibie jelas-jelas gagal.
Waktu itu investasi asing langsung terhenti. Ekonomi terpuruk. Akibatnya di
masa pemerintahan Habibie ini rating ekonomi Indonesia mencapai titik
terendah. Di mata kalangan investor, baik asing maupun lokal, empat bulan
kepemimpinan Jokowi-JK belum memberi jaminan kepastian hukum. Ini melanjutkan
rasa waswas iklim investasi Indonesia yang masih belum kondusif. Sebenarnya
sejak awal 2014 investor sudah khawatir dengan konstelasi politik nasional.
Ditambah lagi dengan hasil kemenangan Joko Widodo-Jusuf
Kalla yang sangat tipis atas rivalnya, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, ikut
menambah kekhawatiran tersebut. Dalam sistem politik sekarang ini, Presiden
hanyalah sebagian saja dari penguasa politik. Masih banyak lembaga politik
lain yang tidak dipimpin Presiden sebagai kepala pemerintahan seperti
Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Bank Indonesia (BI), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Lembaga-lembaga ini notabene lebih banyak tunduk kepada
politik di parlemen. Sementara kekuatan politik pemerintah di parlemen kalah
jauh dibanding oposisi. Ini membuat programprogram dan kebijakan pemerintah,
terutama terkait iklim investasi, bisa mendapat ganjalan. Jika Senayan terus
mengedepankan politik balas dendam, iklim investasi menjadi makin tidak
kondusif. Ini juga jadi bahan pertimbangan para investor. Akan lain jika
koalisi penguasa bisa bergandeng dengan oposisi.
Padahal dunia usaha awalnya optimistis dengan stabilitas
politik di Tanah Air. Proyeksi dan rencana kerja pemerintahan baru mendorong
investasi dan pembangunan infrastruktur mendapat apresiasi. Ada banyak
terobosan yang digagas pemerintahan baru. Tapi, ”gesekan” yang terus
berkelanjutan antardua lembaga hukum (KPK-Polri) membuat dunia usaha
terhenyak. Dikhawatirkan lagi, situasi ini dapat berkembang ke ranah politik.
Kepastian dan kestabilan hukum dan politik menjadi kunci sukses pencapaian
target investasi.
Pada 2015 pemerintah menargetkan investasi mencapai Rp519
triliun dengan pertumbuhan sebesar 15%. Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) mencatat realisasi investasi pada 2013 sebesar Rp406 triliun dan
target tahun 2014 sebesar Rp456 triliun. Pemerintah juga harus mengejar daya
saing investasi agar mampu merebut hati investor. Indeks daya saing global
versi World Economic Forum (WEF) 2014 menempatkan Indonesia di peringkat
ke-34 dari 58 negara. Pencapaian ini hanya bergeser sedikit dibandingkan
posisi ke-38 pada 2013.
Konflik antara KPK dan Polri jelas menciptakan sentimen
negatif bagi pasar keuangan dan saham di Tanah Air. Para investor pasang
jurus ”wait and see” sebab mereka tidak mau ambil risiko ketidakpastiaan
hukum yang tengah terjadi. Investor pada dasarnya butuh jaminan kepastian
hukum, jaminan keamanan, dan kemudahan regulasi apabila menanamkan modalnya
di suatu daerah.
Kepercayaan
investor pada Indonesia masih cukup tinggi. Namun, jika berlarut-larut,
kemudian ditunggangi permainan politik, Indonesia harus bersiap-siap
mengantisipasi kemungkinan keluarnya danadana asing dari pasar keuangan. Tak
hanya di pasar keuangan, para investor asing yang akan mendirikan pabrik juga
akan berpikir ulang. Maklum saja, seperti tadi di atas, salah satu
pertimbangan investor masuk ke suatu negara adalah ada kepastian hukum,
politik, dan keamanan.
Sebagai informasi, sejak Oktober 2014 hingga Januari 2015
tercatat sudah 77 investor asing yang berminat menanamkan modalnya di
Indonesia, 46 di antaranya sudah meneken komitmen senilai USD74 miliar. Nah,
dengan kondisi hukum, politik, dan keamanan seperti saat ini dan diprediksi
bakal lebih amburadul ke depan, bukan tak mungkin mereka membatalkan rencana
investasinya. Faktor internal yang buruk itu dibarengi pula faktor eksternal
yang bisa mengancam.
Pemerintah Amerika Serikat menginformasikan bahwa jumlah
pengangguran di negeri itu turun sebanyak 43.000 orang menjadi 265.000 orang,
terendah sejak April 2000. Ini menandakan perekonomian AS semakin membaik.
The Fed menunggu hari menaikkan suku bunga 0,25% yang sudah bertahan lebih
dari tiga tahun. Ini sinyal The Fed kemungkinan besar akan menaikkan suku
bunga acuan pada kuartal II atau III tahun ini. Kalau ini sampai terjadi,
hampir pasti banyak investor asing angkat koper dari bumi Indonesia. Bukan
apa-apa.
Para pemilik uang itu melihat aset AS dan mata uangnya
(dolar AS) lebih menarik ketimbang saham dan mata uang di pasar negara
berkembang. Hasil survei yang dilakukan AT Kearney menunjukkan, saat ini AS
menjadi pilihan utama tempat berinvestasi yang menarik. AS menggeser China
yang turun di posisi kedua. Tahun lalu ketika The Fed mulai memangkas dana
stimulus (tapering), pasar saham dan pasar uang di dunia, termasuk Indonesia,
panik.
Mereka beramai- ramai melepas asetnya di berbagai
instrumen investasi yang dianggap berisiko tinggi. Mereka lebih aman dan
nyaman menggenggam dolar AS, lalu membawa dananya ke negara yang berisiko
kecil. Aksi lepas barang yang dilakukan para investor asing ini pun telah
menekan nilai tukar rupiah dan membuat indeks harga saham gabungan
sempoyongan. Dana-dana asing (investasi) yang masuk ke Indonesia, baik lewat
obligasi maupun saham, umumnya berjangka pendek.
Dana ini uang panas (hot money) yang bisa check in dan
check out kapan saja. Sesuka empunya. Memang sudah kodratnya saat ini karena
dana-dana itu memang tak mengenal kewarganegaraan. Bisa saja pagi ini dana
tersebut menclok di Thailand, lalu siangnya terbang ke Indonesia dan akhirnya
mendarat di Vietnam.
Pemerintah memang punya jaring pengaman berupa Bond
Stabilization Framework (BSF) yang merupakan kumpulan dana pemerintah, Bank
Indonesia, dan sejumlah BUMN yang dapat dipergunakan menyerap surat berharga
negara (SBN) yang dilepas investor asing. Tapi tetap saja, danadana asing itu
mudah kabur. Perilaku ”liar” ini bisa mengganggu sistem keuangan. Banyak
investor yang merasakan bahwa pemerintah kurang sungguh-sungguh. Selain
infrastruktur, yang sering dikeluhkan adalah masalah kepastian hukum dan
birokrasi yang berbelit serta masih maraknya permainan uang pelicin buat pejabat
negara dan daerah. Ini fakta.
Seharusnya pemerintah mengambil pelajaran dari Thailand
yang memiliki board of investment yang bekerja sangat cepat dan sistematis,
satu komando. Birokrasi di Thailand lebih ke arah eksekutor, bukan planner.
Di Indonesia, birokrasi perlu diperbaiki. Banyak pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan pemerintahan Jokowi-JK. Masalah insentif perpajakan untuk
investor misalnya banyak yang belum merasakan. Apa yang dijanjikan tidak
sepenuhnya sesuai kenyataan di lapangan.
Masalah perburuhan sudah berhasil ditangani pemerintah dan
ini cukup membantu dunia usaha. Stabilitas hukum dan politik adalah fondasi
bagi dunia usaha dan pertumbuhan ekonomi nasional. Jika kondisi politik
stabil, tentu akan berdampak pada exchange rate dan suku bunga yang turun.
Perseteruan antarinstansi penegak hukum bukan sinyal yang baik untuk menarik
investor karena menyiratkan riak di bidang hukum.
”Gesekan” itu bisa berubah menjadi gelombang
ketidakpastian. Alihalih menanamkan modal, investor malah akan mencabut
investasi yang sudah mereka tanam karena waswas bakal tergulung gelombang.
Pemerintahan Jokowi-JK harus segera menyudahi ketidakpastian di bidang hukum
ini. Jangan sampai dibiarkan berlarut-larut. Hanya menghabiskan waktu dan
tenaga, percuma.
Semua pihak perlu menyadari kita berada di kapal yang
sama. Bila tidak kompak, kapal akan melenceng. Bahkan bisa jadi mogok. Tidak
mungkin kita bisa meraih target pertumbuhan tinggi tanpa menjaga minat dan
semangat investor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar