Pohon
Samuel Mulia ; Penulis Kolom “Parodi” Kompas
Minggu
|
KOMPAS,
01 Maret 2015
Dari ketinggian lantai lima belas, saya bisa melihat sebuah
taman luas yang rindang. Daun-daunnya yang hijau tak pernah kering. Hujan,
badai, panas terik tak menghalanginya untuk memberi kesan teduh bagi saya
yang melihatnya.
Kesal
Pagi, siang, sore saya bisa menikmatinya, tepatnya dari tempat
tidur yang menghadap ke taman luas itu. Bagi saya yang tinggal di hunian
vertikal, maka pemandangan itu mengingatkan pada halaman luas di depan rumah
di masa kecil dahulu.
Kalau hati sedang galau, memandangi taman asri itu saja, saya
seperti sedang menelan obat penenang. Apalagi kalau cuaca sedang berbaik
hati, matahari sore menjadi latar belakang yang mencolok, membuat pemandangan
di taman itu seperti lukisan.
Belakangan, pemandangan ke taman rimbun itu seperti sebuah
pelipur lara. Bahkan menjadi semacam pembuka mata. Ketika hujan turun dengan
derasnya, angin yang menerpa begitu kencangnya, saya bisa menyaksikan pepohonan
itu meliuk mengikuti terpaan angin kencang dan hujan yang deras.
Ketika matahari menyengat pohon-pohon besar itu berdiri kokoh.
Pada suatu pagi di akhir pekan, ketika cuaca setengah panas dan setengah
mendung, saya kembali memandangi taman itu. Di tengah acara leyeh-leyeh di
tempat tidur, saya berpikir untuk menjalani hidup seperti pepohonan itu.
Belakangan perjalanan hidup saya terlalu drastis naik dan
turunnya. Macam menaiki roller coaster. Saya dipenuhi dengan kekesalan, rasa
iri hati yang sangat, ketidakadilan hidup entah mengapa menjadi begitu
terasa, mudah tersinggung, problema datang bertubi-tubi, nasihat yang
diberikan beberapa orang pada kenyataan hanya seperti pepesan kosong.
Saya berusaha dengan baik dan benar, saya mengikuti aturan main
dengan benar, tetapi semua berjalan berantakan. Sehingga rencana gagal dan
amburadul. Maka benarlah kata ungkapan it takes two to tango.
Kekesalan, kekecewaan, tujuan dan target yang tidak tercapai,
perselingkuhan, mencintai, mempertahankan hubungan, pembunuhan karakter atau
pembunuhan lainnya, hanya karena beberapa pihak tidak menyepakati
melakukannya dengan sepenuh hati.
Persis seperti orang sedang berkendaraan di jalan umum. Ada
manusia yang mengendarai kendaraan dengan niat yang baik dan benar, tetapi Anda
dan saya tahu di jalan raya itu, tak semua manusia memiliki niat mengendarai
dengan prinsip yang sama. Maka kecelakaan terjadi, atau mulut kemudian
mengumpat karena ada saja yang nyaris membuat kecelakaan terjadi.
Bijak
Ada manusia yang mau naik dan ada yang mau turun. Ketika yang
mau naik bertemu dengan yang mau turun, hasilnya menjadi amburadul. Yang naik
bertemu dengan yang naik atau yang turun bertemu dengan yang turun, maka
hidup menjadi lebih baik.
Ada yang mau di depan seperti boneka, ada yang mau di berdiri di
belakang mengendalikan yang di depan. Ada yang berani berteriak dengan
lantang, ada yang memorakporandakan dalam diam.
Tetapi masalahnya tak ada yang tahu apakah manusia akan setia
mau naik atau mau turun, kapan ia mau menjadi dalang, kapan ia mau menjadi
boneka, atau kapan ia mau menjadi keduanya. Kapan ia mau berteriak secara
nyata dan kapan ia memorakporandakan dalam diam.
Maka melihat kembali kepada pepohonan di taman luas itu, saya
seperti melihat rahasia hidup tenteram. Ada matahari dan terik yang
menyengat, pepohonan itu tetap berdiri kokoh. Ia mungkin melakoninya dengan
berpikir bahwa adanya matahari membantunya bertumbuh dan menjadi lebat.
Ada hujan badai dan angin kencang, yaaa... meliuk saja bersama
hujan dan angin. Mungkin beberapa rantingnya yang sudah rapuh patah dan
terbuang, dan itu tidak akan mengecewakan, karena yang terbuang itu sebuah
pembersihan, akan diganti dengan yang baru dan lebih kokoh.
Saya tak tahu apakah pohon-pohon itu bisa berbicara bahwa ia
juga kesal dalam melakoni hidupnya setiap hari. Tak bisa protes akan panas
yang menyengat dan hujan yang deras. Sungguh saya tak tahu. Tetapi entah ia
kesal atau tidak, pohon-pohon itu sudah meneduhkan mata, ketika hidup ini
menyilaukan mata saya.
Ia telah memberi tumpangan berteduh, dan daun-daunnya yang
rimbun telah menjadi payung buat mereka dan saya yang menumpang untuk
beristirahat di bawahnya. Ia menjadi ”obat penenang” ketika kegalauan
menyerang hari-hari saya. Ia telah menjadi paru-paru untuk sebuah kota.
Maka mungkin saya harus melatih untuk bisa meneduhkan orang lain
ketika saya sendiri sedang kesal. Mungkin saya harus bisa membiarkan dan
tidak menjadi kecewa karena beberapa ranting dalam hidup ini harus saya
buang.
Mungkin ranting yang harus saya buang itu adalah perasaan iri
hati, perasaan terancam, keinginan mengadu domba, menjadi dalang yang culas,
mau menjadi boneka, dan sejuta ranting busuk yang membuat pohon kehidupan
saya tak bisa tumbuh kokoh serta rimbun, dan yang terutama tak mampu
meneduhkan.
Mungkin pohon-pohon itu sedang mencoba memberi cara baru yang out of the box, untuk saya melahirkan
kebajikan dari sebuah kekesalan hidup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar