Kisah
Toilet di Ruang Publik
Davis Hutama ; Ketua Departemen
Arsitektur Universitas Pelita Harapan Jakarta
|
KOMPAS,
01 Maret 2015
Tanpa tahu apa yang masuk dan keluar darinya, benda ini bisa
jadi sesuatu yang dipahami sangat berbeda. Sastrawan Jepang Juníchiro
Tanizaki begitu suka dengan toilet. Hanya di toilet, gemercik bunyi hujan,
bunyi-bunyi dari serangga, bau kelembaban menjadi keindahan sendiri. Sebuah
suasana yang meditatif. Begitu paparannya dalam buku In Praise of Shadow (1977).
Terlepas dari bayangan Tanizaki tadi, bagaimanapun toilet adalah
subyek yang paradoks. Ia selalu mewadahi kegiatan yang privat, personal,
serta kebutuhan biologis mendasar manusia, juga berperan besar dalam
menghadirkan suasana kepublikan yang nyaman. Rasanya tidak ada yang suka
buang hajat di sebuah ruangan yang sama ramai-ramai, tapi semua orang punya
kebutuhan ke toilet di mana pun.
Mungkin ini yang menggelitik Marchel Duchamp tahun 1917 untuk
mengikutsertakan sebuah urinoir bertanda tangan R Mutt ke Dewan Independen
Seni di Paris yang langsung ditolak panitia seleksi. Salah satu alasan
penolakan adalah urinoir dianggap kurang baik secara moral dan vulgar. Rekan
Duchamp, Louise Norton, menuliskan protes keras dalam jurnal seni gerakan
Dada the Blindman Volume 2 (1917) terkait dengan alasan penolakan tersebut.
Bahwa urinoir adalah obyek sehari-hari yang mudah ditemui di mana-mana dengan
mudah. Oleh karena itu, tidak ada hubungannya dengan moralitas, tetapi ini
adalah sebuah obyek publik. Demikian tulis Norton.
Avianti Armand jelas bukan Marchel Duchamp dan juga tidak
berusaha melakukan hal sama. Kebetulan saja, 98 tahun kemudian sejak karya
”Fountain” dari Duchamp yang kontroversial itu sama-sama mengangkat urinoir
sebagai subyek pembicaraan serius. Saat kini, dalam konteks yang berbeda ini,
mungkin bukan tentang masalah moralitas, melainkan tentang kepentingan dan
perhatian. Entah kenapa perencanaan toilet selalu seakan diremehkan dan
kurang diperhatikan dibanding obyek-obyek lain dalam sebuah tempat publik.
Pada pameran Program Toilet dan Ruang Publik yang
diselenggarakan dari 10 Februari sampai 2 Maret 2015 di eks Pasar Jeans,
Tjipta Niaga, samping Kafe Batavia, Kota Tua, Avianti sebagai kurator,
mengajak 10 arsitek (Andra Matin, Aboday, Ahmad Noerzaman, Djuhara-Djuhara,
Sonny Sutanto Architects, Hadiprana, Studio Tonton, D-Associates, Nataneka,
dan Yori Antar) untuk beramai-ramai membuat usulan rancangan toilet yang
dianggap baik guna mengisi kurangnya kebutuhan toilet di Lapangan Merdeka
Monas.
Lapangan Merdeka Monas adalah salah satu dari sedikit ruang
publik yang dipunyai oleh kota Jakarta. Dengan luas 80 hektar, lapangan ini
adalah sebuah ruang hijau dan taman kota yang masih menjadi tujuan utama
masyarakat untuk berekreasi, terutama pada hari-hari libur panjang seperti
liburan Lebaran dan akhir tahun.
Halaman berita Okezone memberitakan bahwa pada 30 Juli 2014
jumlah pengunjung di lapangan ini mencapai 9.604 orang dari yang datang pukul
08.00-15.00. Berita ini sebetulnya adalah sebuah kabar yang menggembirakan.
Bahwa masih banyak masyarakat yang mau menikmati ruang publik terbuka, dan
bukan memilih pusat perbelanjaan sebagai tempat berekreasinya. Sebuah ruang
dan tempat yang bisa dinikmati bersama tanpa harus tersekat-sekat dengan
kelas ekonomi dan sosial. Namun, dengan sangat terbatasnya fasilitas umum
toilet ini, kondisi yang seharusnya menggembirakan ini tidak terjadi.
Halaman berita Merdeka.com pada tanggal yang sama memberitakan
bagaimana Lapangan Merdeka Monas menjadi toilet raksasa. Judul berita
”Pengunjung Jadikan Kolam Monas Toilet Umum” menceritakan bahwa bagaimana
kolam-kolam air di taman tersebut dijadikan kolam mandi. Tribun Network pada
28 Juli 2014 memberitakan hal yang lebih parah lagi. ”Monas Kacau, Pengunjung
BAB Sembarangan”, demikian judul beritanya, melaporkan bahwa bahkan ada
sebuah kolam yang memang dengan sengaja dijadikan tempat untuk buang hajat
oleh pengunjung.
Catatan
Menurut catatan Avianti, ketersediaan fasilitas toilet umum di
lapangan Monas hanya sanggup melayani setengah dari jumlah pengunjung yang
ada tadi. Dari satu toilet permanen dan 15 toilet portabel yang tersedia,
lima toilet rusak. Menurut kalkulasi Avianti, jika jumlah pengunjung berkisar
9.000-11.000 orang dengan asumsi waktu kunjungan 4-6 jam, saniter yang harus
disediakan adalah 75 persen dari jumlah pengunjung, yaitu lebih kurang dua
kali dari jumlah yang tersedia saat ini. Ketidaktersediaan jelas ini punya
konsekuensi luas, baik dari aspek kesehatan, kebersihan, maupun pada
kepublikan di ruang dan tempat itu sendiri. Akibatnya, kejadian-kejadian
seperti yang diberitakan tadi jadi sulit dihindarkan.
Kondisi ini tentu jauh dari harapan. Tidak salah pernyataan dari
I Gede Ardhika dalam sambutannya sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
Indonesia (2001-2004) dalam Buku
Standar Toilet Umum Indonesia, ”Negara
tanpa toilet umum yang bersih adalah negara tanpa budaya…. Toilet umum tidak
hanya berarti tempat membuat hajat bagi manusia, tetapi sudah menyangkut
berbagai aspek. Aspek tersebut antara lain adalah aspek psikologis pengguna,
aspek kesehatan, dan aspek keamanan bagi pengguna, pemelihara, dan
lingkungan, serta aspek kemudahan pengguna dan pemeliharaan. Semua aspek
tersebut akan berujung terhadap aspek yang sering tak disadari oleh banyak
orang tetapi sangat penting yaitu aspek citra.”
Dengan banyak kejadian tadi, tentu yang terjadi bukanlah sebuah
ruang publik yang membaurkan masyarakat, tapi malah menjadi pemicu terjadinya
pemilahan-pemilahan kelas sosial dan ekonomi. Citra yang tidak bersih dan
jorok akan kemudian hadir. Pengunjung yang memang mampu akan memilih
berkunjung ke tempat lain. Akhirnya, yang tersisa hanya pengunjung dari
masyarakat yang memang tidak punya pilihan lain untuk berekreasi. Suatu
kondisi yang jauh dari cita-cita sebuah ruang publik.
Ruang publik sebagai bagian dari ruang kota bagaikan organ yang
bersama menghidupi kota. Selain sebagai ruang yang mewadahi kegiatan
masyarakatnya, sebuah ruang publik juga harus mampu menunjukkan fungsinya
sebagai wujud dari karakter perkotaan. Ada fungsi edukasi publik yang bisa
terjadi di sana tanpa harus mendikte dengan keras lewat peraturan. Dengan
tersedianya toilet yang cukup dan tempat-tempat toilet yang nyaman, secara
tidak langsung, masyarakat diajak ikut dalam tatanan sebuah kota. Kebersihan
dan kesehatan menjadi modal dasar yang kemudian mendukung citra kota dan
membentuk kualitas ruang publik yang baik.
Pameran Program Toilet dan Ruang Publik yang digagas oleh
Avianti Armand dan para arsitek ini jelas jauh dari tuntas, apalagi
menyelesaikan masalah. Namun, paling tidak pameran sederhana ini bisa
menggelitik, mengajak, dan mudah-mudahan ada yang tertegur untuk segera
melakukan perbaikan pada ruang publik kita. Paling tidak kita mulai dari
Lapangan Merdeka Monas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar