Parkir
Dana Haji
Akmal Nasery Basral ; Mahasiswa
Pascasarjana Tazkia University College of Islamic Economics; Ketua Forum
Akselerasi Masyarakat Madani Indonesia (FAMMI)
|
KOMPAS,
05 Maret 2015
Pekan lalu, dari Istana Bogor, Presiden Joko Widodo mengeluarkan
instruksi agar dana haji jangan hanya mengendap dalam bentuk deposito, tetapi
diinvestasikan ke sektor produktif
yang lebih menguntungkan rakyat.
Ia membandingkan dengan negara tetangga, yang
menginvestasikan 90 persen tabungan haji mereka-yang lebih besar daripada
Indonesia-ke dalam beragam proyek infrastruktur: mulai dari pelabuhan,
bandara, hingga perkebunan kelapa sawit. Meski tak diucapkan, kita mafhum,
yang dimaksud Jokowi adalah Malaysia, salah satu lokomotif dan pemain global
ekonomi Islam saat ini, yang menunjukkan kinerja ekonomi memukau melalui
lembaga Tabung Haji (TH).
Tahun lalu, bekerja sama dengan Bank Gatehouse, TH
memperkaya portofolio investasi mereka dengan mengakuisisi kantor pusat
Unilever di Inggris dan Irlandia di kawasan Leatherhead, Surrey, dengan nilai
transaksi 75,75 juta poundsterling atau setara 117 juta dollar AS.
Informasi terbaru, pada Minggu, 22 Februari 2015, TH
mengumumkan pembagian bonus tahunan untuk 2014 sebesar 6,25 persen kepada 10
juta deposan (sekitar 1/3 penduduk Malaysia).
Bonus itu masih ditambah 2 persen lagi bagi calon haji yang belum
berangkat, sebagai apresiasi TH terhadap kesabaran mereka menunggu jadwal
kepergian.
Pilihan infrastruktur
Adapun dana haji Indonesia yang bernama Biaya Penyelenggaraan
Ibadah Haji (BPIH), sampai November 2014 berjumlah Rp 68,47 triliun yang
tersimpan di 21 bank, baik bank syariah maupun bank konvensional, dengan
rekening Menteri Agama. Pada 2020,
dana ini diprediksi akan menyentuh Rp 150 triliun.
Dari perspektif defisit anggaran, dana sebanyak itu yang hanya
"tertidur" bertahun-tahun memang terasa bak kemubaziran besar
mengingat kebutuhan pertumbuhan infrastruktur begitu tinggi. Karena itu, pada
era Menteri Agama Suryadharma Ali dibuatlah nota kesepahaman dengan Menkeu
Chatib Basri mengenai penempatan dana haji dalam Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), yang pemanfaatannya akan
dikembalikan kepada jemaah dalam bentuk subsidi pelayanan untuk tiga pos,
yaitu pemondokan, katering, dan
transportasi (Kompas, 22/11/13). Dengan kata lain, dana haji diinjeksikan
untuk sukuk negara (sovereign Islamic
bond) secara private placement.
Pionir ekonomi syariah di Indonesia, M Syafii Antonio,
mempertajam bentuk manfaat infrastruktur penyelenggaraan haji itu seperti
memiliki pesawat udara sendiri yang di luar musim haji bisa disewakan kepada
para penyelenggara ibadah umrah atau menyewa hotel haji untuk jangka
panjang-semisal 10 tahun-yang akan mempermudah urusan pemondokan para calon
haji Indonesia di Tanah Suci.
Jika pemahaman infrastruktur tersebut masih terkait dengan
penyelenggaraan ibadah haji seperti dicontohkan Antonio, penempatan dana haji masih selaras dengan
prinsip syariah yang mengategorikan sukuk termasuk akad ijarah al-khadamat
(akad sewa untuk jasa) yang dirumuskan The
Accounting and Auditing Organization for Islamic Finance Institutions
(AAOIFI), yang jadi rujukan pelaku ekonomi syariah. Lebih tepatnya, sukuk negara seperti itu
tergolong sukuk Milkiyah al-Khadamat
'ala Wajhi Maushufah fi Dzimmah (Certificate
of Ownership of Future Services).
Namun, akan bisa menjadi persoalan baru jika infrastruktur
yang dimaksudkan Presiden Jokowi adalah untuk infrastruktur non-kepentingan
haji, seperti dilakukan Malaysia.
Sebab, berdasarkan model penerapan ekonomi Islam, melalui ujung
tombaknya, praktik bank syariah, model ekonomi syariah yang diterapkan
Malaysia dan Indonesia tak persis sama seperti yang dilihat masyarakat.
Penempatan dana
Problem lain yang bisa muncul jika BPIH ditempatkan
pemerintah secara private placement
pada proyek infrastruktur umum, yang belum tentu disetujui calon haji pemilik
dana, menyangkut karakter dasar dari private
placement sendiri.
Keluhan umum terhadap dana haji selama ini adalah kurang
transparannya pengelolaan dana sehingga yang tahu persis nilai optimalisasi
dari dana itu hanya Menteri Agama atau pejabat yang mengurusi dana itu saja.
Para calon haji yang sesungguhnya pemilik sah dana tak pernah mendapat
informasi rinci mengenai endapan dana yang didepositokan itu, termasuk berapa
jumlah subsidi pembiayaan yang didapatkannya jika berangkat lebih awal
dibandingkan dengan calon lain yang harus menunggu lebih lama.
Tak mengherankan jika salah satu wacana yang sudah sejak
lama mengemuka adalah perlunya akun virtual yang dimiliki calon haji sehingga
mereka tetap mengetahui perubahan jumlah dana masing-masing jika ada selama
masa tunggu keberangkatan.
Jika pola pengelolaan dana haji di Malaysia tetap ingin
dijadikan contoh, pengelolaan haji harus dilakukan oleh lembaga otonom dan
independen seperti lembaga Tabung Haji, yang bertanggung jawab langsung
kepada presiden. Dalam hal ini fungsi Kementerian Agama hanya sebagai
regulator dan pengawas saja karena fungsi eksekutor sudah diserahkan kepada
lembaga otonom tersebut. Format selama ini bahwa Kementerian Agama menjadi
eksekutor penyelenggaraan haji sudah
tak bisa dipertahankan lagi.
Problem lanjutan yang bisa muncul dengan ditariknya dana
haji dari bank-bank penampung deposito selama ini, secara langsung akan
membuat bank-bank syariah akan melemah kekuatannya dari sisi dana pihak
ketiga (DPK). Penarikan deposito haji ini mungkin tak akan terlalu
berpengaruh bagi bank-bank konvensional yang memiliki fondasi DPK cukup kuat,
tetapi pasti akan berdampak terhadap kinerja bank syariah yang pada 2014 pun
menurun pertumbuhan mereka hanya pada kisaran 15 persen dari tahun-tahun
sebelumnya yang bisa menembus angka pertumbuhan 40 persen.
Harus dipikirkan lebih cermat efek pengalihan deposito
haji kepada proyek infrastruktur. Sebab, kebijakan ini secara langsung
berdampak bagi program penguatan bank syariah yang menjadi salah satu agenda
Gerakan Ekonomi Syariah (GRES!) yang juga
belum lama dicanangkan. Ini mengingat kondisi perbankan syariah di
Indonesia belum sekuat bank-bank syariah di Malaysia, terutama dari sisi DPK.
Dengan kata lain, meski model pengelolaan Tabung Haji oleh
Malaysia menunjukkan hasil yang win-win
bagi Pemerintah Malaysia sebagai regulator dan pengawas, TH sebagai eksekutor, dan calon haji yang
terobati penderitaan masa menunggunya dengan terus mendapatkan bonus tahunan
yang cukup signifikan, tetapi jika pola itu yang ingin ditiru oleh Presiden
Jokowi, perbedaan lingkungan dan model ekonomi syariah yang terjadi di antara
kedua negara juga perlu ditakar secara cermat.
Selama Kemenag masih ingin terus berkiprah sebagai
regulator, pengawas dan eksekutor sekaligus. Pertanyaan eksistensial yang
muncul adalah bagaimana mungkin regulator dan pengawas bisa menjalankan peran
yang efektif untuk mengawasi kinerja eksekutor jika dalam praktiknya semua
berada dalam tangan yang sama? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar