Sisi
Gelap Demokrasi
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 10 Oktober 2014
Salah satu formula demokrasi yang populer adalah: kekuasaan berasal
dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Mengingat yang bernama rakyat
jumlahnya semakin meningkat, dibentuklah lembaga yang menyalurkan aspirasi
rakyat, yaitu partai politik (parpol).
Salahsatufungsi parpol adalah memfasilitasi pemilihan wakil rakyat agar
duduk di dewan perwakilan rakyat (DPR), baik di tingkat pusat maupun daerah.
Jadi, di situ sudah terjadi dua jenjang penyambung lidah rakyat, yaitu parpol
dan lembaga DPR. Oleh karenanya, sangatmungkinterjadipenyimpangan pada tingkat
parpol. Bahwa agenda yang diperjuangkan elite parpol tak lagi sejalan dengan
aspirasi rakyat. Kedua, ketika wakil parpol duduk di DPR, mungkin saja
berbeda dari aspirasi asal parpolnya, karena banyaknya lobi dan tekanan dari
kanan-kiri.
Dengan mengikuti pemberitaan dinamika politik dan demokrasi yang
berlangsung, rupanya aspirasi dan perilaku kalangan DPR dipandang asing,
bahkan menjengkelkan bagi rakyat yang merasa telah mempercayakan aspirasi
politik mereka kepada para wakil mereka. Di sini terjadi inkonsistensi dan
deviasi hubungan antara rakyat dan wakilnya. Kedaulatan berasal dari rakyat,
dilimpahkan ke parpol, lalu oleh parpol diwakilkan lagi ke anggota DPR, dan
ketika sampai di DPR jangan-jangan hubungan antara anggota DPR dengan parpol
dan rakyat semakin renggang dan jauh.
Sampai di sini, kedaulatan bukan lagi di tangan rakyat, melainkan di
tangan anggota DPR. Di sini sisi dan lorong gelap demokrasi mulai muncul.
Mengingat jumlah rakyat Indonesia di atas 200 juta, tentu saja tidak mungkin
semua ikut sidang demi menjaga kedaulatan rakyat secara utuh. Mesti ada
parpol dan sistem perwakilan. Dan untuk memilih pun jalannya cukup panjang
dan biayanya mahal. Beda sekali dari gagasan dan praktik awal demokrasi di
zaman Yunani kuno dulu. Rakyat masih sedikit dan memiliki kedekatan hubungan
antara yang diwakili dan yang mewakili.
Tetapi rakyat Indonesia yang demikian banyak dan tersebar di ribuan
pulau, pasti banyak yang tidak tahu siapa calon wakil mereka. Ketika pemilu
hanya disuruh masuk bilik suara untuk nyoblos gambar, dan foto yang dicoblos
pun sesuai pesanan juru bayar. Jadi, pada praktiknya demokrasi yang punya
klaim sebagai manifestasi kedaulatan rakyat, di sana bisa saja terjadi
pembajakan kedaulatan rakyat oleh parpol, kemudian kedaulatan parpol diambil
alih oleh wakilnya di DPR, dan kedaulatan anggota DPR diambil alih oleh
fraksi.
Sehingga, pada urutannya, yang menentukan kebijakan undang-undang dan
anggaran negara hanya segelintir orang dengan mengatasnamakan rakyat dan
parpol. Itulah salah satu konsekuensi demokrasi. Apa yang disebut majelis
permusyawaratan bisa saja tak lebih dari majelis permusyawaratan beberapa
wakil parpol yang belum tentu mewakili aspirasi anggotanya. Demokrasi yang
mengejar kemenangan hanya dengan formula suara 50% + 1 akan terjatuh pada
demokrasi prosedural, tetapi melupakan substansinya. Atau dalam bahasa
Pancasila, demokrasi yang tak lagi menghargai hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan.
Dalam kaitan ini, manifestasi hak rakyat untuk bersuara hanya sebatas
mencoblos suara sewaktu pemilu lima tahun sekali yang berlangsung sekitar
lima menit, setelahnya sudah beralih ke tangan politisi yang tak mudah lagi
siapa pun mengontrolnya. Jika demokrasi ibarat benih pohon besar yang
menjanjikan daun yang rindang dan buahnya yang manis, maka kebesarannya tak
akan terwujud ketika tanahnya tidak gembur. Air dan cahaya matahari tidak
mendukung.
Demikianlah, makanya demokrasi akan sehat dan tumbuh kokoh serta
mendatangkan kemakmuran jika rakyatnya memiliki pendidikan yang bagus dan
merata, tingkat ekonominya sudah sejahtera, serta terwujudnya ketegasan dan
keadilan hukum. Dalam masyarakat yang demikian, rakyat justru rela
mengeluarkan uang untuk membantu perjuangan para calon wakil rakyat dan calon
presiden karena rakyat yakin mereka akan memperjuangkan nasibnya. Tetapi
menjadi suatu ironi dan memilukan ketika yang terjadi justru politisi
mengeluarkan uang miliaran untuk membeli suara rakyat.
Logika awam pun bertanya, para politisi yang telah mengeluarkan
miliaran uang untuk membeli suara rakyat itu apakah karena dorongan hati
untuk bersedekah secara ikhlas, karena telah kelebihan uang, ataukah karena
ada agenda lain semata mengejar jabatan untuk mengejar kekayaan materi? Jika
yang terjadi adalah yang terakhir, maka dipastikan mereka akan korupsi dan
menyalahgunakan jabatan setelah berkuasa untuk mengembalikan modal dan
mencari keuntungan.
Demikian burukkah demokrasi? Tentu saja sampai hari ini sistem
demokrasi masih diyakini sebagai sistem yang terbaik selama syarat-syaratnya
yang standar terpenuhi. Prasyarat demokrasi yang sehat kita semua tentunya
sudah tahu. Jika tak terpenuhi, panggung demokrasi bisa berubah jadi panggung
dagang sapi yang miskin dari sikap politisi-negarawan, dan hanya menyajikan
tontonan yang sangat menyebalkan. Pemilu lalu menjadi lembaga dan mekanisme
pembelian dan pembajakan suara rakyat sebagai modal untuk berburu kekuasaan,
jabatan, dan keuntungan materi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar