Reformasi
dan Pilkada
Alex Bambang Riatmodjo ; Purnawirawan Polri, Kapolda Jateng 2008-2010
|
REPUBLIKA,
11 Oktober 2014
Dalam suatu percakapan dengan Susilo Bambang Yudhoyono, saya pernah
mengingatkan kepadanya bahwa reformasi di Indonesia adalah kehendak Tuhan.
Sebagai bangsa religius kita harus meyakini itu.
Para pejuang dan pahlawan reformasi boleh bangga berhasil menumbangkan
rezim Orde Baru dan mengganti dengan Orde Reformasi yang lebih demokratis,
menghormati dan mengakui HAM, serta hak politik rakyat. Salah satunya memberi
ruang kepada rakyat menggunakan haknya untuk memilih pemimpin secara
langsung, dari presiden, gubernur, wali kota, dan bupati serta anggota
DPR/DPRD.
Selama 10 tahun terakhir, rakyat mulai menyadari, memahami, dan belajar
menggunakan haknya, bahkan rakyat telah "menikmati" haknya. Keberhasilan
reformasi tidak boleh menjadikan bangsa ini sombong: seakan-akan reformasi
murni perjuangan mandiri dan semata-mata dilakukan kaum reformis.
Namun, bangsa ini harus sadar dan memiliki kearifan spiritual bahwa
keberhasilan reformasi tidak akan terwujud tanpa campur tangan kehendak
Tuhan. Tuhan sangat mencintai bangsa ini. Tuhan berkehendak menyejahterakan
bangsa ini. Tuhan tidak ingin lagi rakyat dan bangsa ini ditipu dan dibohongi
pemim pinnya. Karena banyak pemimpin yang gemar berdusta, Tuhan berkehendak
mengubah cara memilih pemimpin dengan secara langsung agar dalam kampanye,
calon pemimpin harus berjanji kepada rakyat.
Setelah terpilih secara langsung oleh rakyat, pemimpin itu masih harus
mengucapkan sumpah/janji lagi secara formal. Tuhan berkehendak janji dan
sumpah pemimpin itu tidak diingkari dan dicederai karena bangsa yang religius
meyakini sumpah dan janji itu sakral.
Salah satu yang harus dicatat akan kesakralan janji dan sumpah adalah "Janji orang kecil kalau dilupakan,
dicederai, dan diingkari, akan diingatkan Tuhan dengan cara-cara kecil. Janji
orang besar (pemimpin) kalau dilupakan, dicederai, dan diingkari di ingat kan
Tuhan dengan cara-cara besar."
Bisa jadi, bencana tsunami Aceh dan bencana besar lainnya bentuk peringatan
Tuhan kepada pemimpin yang akan atau sudah lupa, ingkar, atau cedera janji.
Tentu, peringatan Tuhan itu bisa berbentuk lain, misalnya, banyak pemimpin
terkena musibah menjadi tahanan KPK karena cedera janji.
Kini, kurang satu bulan SBY akan mengakhiri jabatannya sebagai
presiden, bencana tsunami politik merampas hak-hak politik rakyat melalui UU
Pilkada.
Hak politik rakyat telah dilanda tsunami yang diciptakan para elite.
Pemilihan kepala daerah tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, tetapi DPRD.
Apa yang terjadi usai drama sidang paripurna pada Kamis malam Jumat
(25-26/9) melalui voting telah mengubah cara pemilihan kepala daerah. Di
negeri Paman Sam, pernyataan yang lucu, menggelikan, dan mengundang iba yang
berisi kekecewaan dan penyesalan atas proses dan hasil di ruang parlemen itu.
Pernyataan itu seolah-olah menganggap rakyat masih dalam kebodohan.
Padahal, transparansi era reformasi, rakyat kini sudah mampu dan pintar
mengikuti setiap proses politik dan kenegaraan. Pernyataan itu mengandung
sesuatu yang tidak konsisten dan konsekuen.
Dalam pernyataan itu, dipandang sebagian rakyat menyimpangi sifat budi
pekerti luhur yang seharusnya dimiliki pemimpin. Pemimpin yang berbudi
pekerti luhur senantiasa membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan.
Pertama, UU Pilkada vital dan strategis yang jadi perhatian serius
presiden pilihan rakyat, apalagi UU itu akan merampas hak politik rakyat
untuk memilih langsung kepala daerah.
Kedua, UU Pilkada itu diajukan oleh presiden yang diantarkan dengan
amanat presiden kepada DPR. Ketiga, pada 14 September 2014, sebelum keluar
negeri, SBY menyatakan sikap memilih dan mendukung pemilihan langsung.
Dengan sikap ini, secara manajerial, tentu seorang presiden yang
merangkap ketua partai wajib memberi arahan dan perintah tegas dan jelas
kepada fraksinya mendukung penuh ketua umum partai. Sebagai presiden, juga
wajib memberi arahan dan perintah tegas dan jelas kepada menteri dalam negeri
yang mewakilinya di pembahasan.
Ternyata, pada 26 September 2014, dari Hotel Wilard Intercontinental,
Washington DC, SBY menyatakan perasaan menyesal dan kecewa atas proses dan
hasil paripurna itu. Tak seorang pun akan percaya telah terjadi kesulitan
komunikasi antara Presiden yang ada di Amerika, baik kepada ketua fraksi
partainya maupun kepada Mendagri.
Anggota fraksinya walkout,
sedangkan Mendagri "menyetujui"? Sebab, dinamika voting itu terjadi
pada malam hari di Indonesia, sedangkan Presiden di AS waktu siang hari.
Artinya, Presiden tidak ada kendala waktu untuk terus mengikuti perkembangan
persidangan yang sangat vital dan strategis ini.
Keempat, pernyataan SBY yang telah menelepon Ketua Mahkamah Konstitusi
mempertanyakan penggunaan hak presiden berdasarkan Pasal 20 UUD 1945 untuk
bersetuju atau menolak UU Pilkada menjadi sesuatu yang aneh, tetapi nyata.
Presiden dua periode dan akan mengakhiri masa jabatannya kedua, masih
bertanya hak dan kewajibannya.
Kelima, pada 28 September 2014, dari hotel yang sama, lagi-lagi
Presiden membuat pernyataan, antara lain, "Di
era Pak Jokowi, saya akan berjuang untuk ke sistem pilkada langsung dengan
perbaikan. Itu sumpah saya." Hal
ini menjadi lelucon. Sumpah formal sebagai presiden saja, hak dan
kewajibannya untuk melindungi hak politik rakyat tidak dilaksanakan sesuai
sikap yang dinyatakannya sendiri untuk mempertahankan pilkada langsung oleh
rakyat. Lalu, sumpah apalagi setelah tidak lagi jadi presiden?
Keenam, pada 28 September 2014 dari Jepang masih lagi menyatakan,
keputusan DPR merupakan kemunduran demokrasi. Kalau hati dan pikiran serta
ucapan SBY sama, mendukung pilkada langsung, seharusnya SBY menyatakan
penyesalan kepada diri sendiri, bukan kepada pihak di luar dirinya. Sebab,
secara sadar atau tidak, baik langsung atau tidak, dengan kelalaian atau
kesengajaan, SBY tidak menggunakan hak dan kewajibannya dengan baik dan penuh
tanggung jawab dalam menjaga dan menyelamatkan hak politik rakyat.
Seharusnya, SBY memarahi diri sendiri. Ketidakkonsistenan dan tidak
kekonsekuenan sikap itu dapat digolongkan ke dalam beberapa katagori.
Tahu, tetapi pura-pura tidak tahu. Tahu dirinya benar-benar tidak tahu.
Tidak tahu, tetapi sok tahu. Atau tidak tahu bahwa dirinya benar-benar tidak
tahu.
Diakui atau tidak, penyesalan dan kekecewaan itu bersumber pada reaksi
kemarahan rakyat, terutama kicauan di media sosial yang menjadi trending topic dunia, bukan dari
proses dan hasil keputusan parlemen itu.
Merupakan fakta bahwa SBY mengawali jabatan kepresidenannya disambut
oleh tsunami. Kini, saat akan mengakhiri jabatannya telah menimbulkan tsunami
yang tidak kalah dahsyatnya, mematikan hak politik rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar