Politik
Jalan Tengah
Umbu TW Pariangu ; Dosen Fisipol Universitas Nusa Cendana Kupang
|
REPUBLIKA,
10 Oktober 2014
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya meneken dua perppu pada Kamis
(2/10) malam. Dua perppu tersebut membatalkan pemilihan kepala daerah tidak
langsung oleh DPRD, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2014 tentang Pilkada.
Namun, mampukah perppu ini menembus tembok parlemen yang dikuasai
barisan Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri atas Gerindra, Golkar,
Demokrat, PKS, PPP, dan PAN dengan 353 kursi (63 persen) DPR, ditambah
seluruh pimpinan DPR. Sedangkan Koalisi Indonesia Hebat dengan empat partai
politik, yakni PDIP, Nasdem, PKB, dan Hanura hanya memiliki 207 kursi DPR (37
persen) dan tanpa satu pun wakilnya di pimpinan DPR.
Secara matematis, agak sulit bagi pemerintah mengegolkan perppu
tersebut di Senayan. KMP akan ngotot mempertahankan pilkada lewat DPRD
sebagai strategi politik ofensifnya untuk berhadap-hadapan dengan pemerintah.
Peluang perppu pilkada langsung disetujui masih terbuka dan bisa
diterima oleh nalar dan hati publik jika partai pendukung KMP berubah pikiran
dan merapat ke kubu Jokowi-JK. Namun, ini tergantung kelihaian komunikasi
politik yang dibangun oleh PDIP sebagai motor koalisi dan sejauh mana
insentif yang diberikan mampu meyakinkan untuk terbangunnya kutub kerja sama
yang konstruktif dan langgeng?
Jika tidak, ini seperti mengulang pengalaman pemilu pasca-1999 di mana
pusat kekuasaan berpindah kepada PDIP sebagai pemenang pemilu, tapi Megawati
gagal menjadi presiden karena kelambanan dalam membangun pendekatan (koalisi)
dengan partai lain. Jokowi-JK rasanya akan menggantungkan harapan kepada
kekuatan rakyat (going public).
Artinya, Jokowi-JK harus membuka ruang yang seluas-luasnya bagi publik
untuk melakukan komunikasi politik resiprokal terhadap berbagai isu dan
kebijakan nasional. Mungkin membutuhkan durabilitas energi politik publik
yang tidak sedikit, tapi jika itu diyakini sebagai bagian dari investasi
untuk mendukung kekuasaan yang berpihak pada rakyat maka rasanya tak ada yang
terlalu berat. Sebab, di titik inilah politik sebagai seni terwujud.
Karenanya, jika ada politisi yang masih menggunakan kacamata kuda bahwa politik
adalah bagi-bagi kuasa semata, maka ia perlu menziarahi kembali kuburan Plato
dan Aristoteles.
Politik yang didasarkan pada semangat menegasi bukanlah anasir dari
demokrasi substansial sehingga patut disesalkan ketika spirit "asal
berbeda" mewarnai karakter isu politik pascapemilu 2014. Mestinya
kekuatan dialektika pikiran, ide, dan kebijakanlah yang menjadi basis dari
proses membangun tawar-menawar dan kerja sama politik, bukan politik yang
direduksi oleh syahwat liar.
Di satu sisi harus diakui, ketidakmampuan Jokowi-JK menaklukkan hati
partai pendukung Koalisi Indonesia Hebat, minimal karena dua hal. Pertama,
karena konsistensinya menerapkan prinsip koalisi tanpa syarat, sesuatu yang
tak pernah ada dalam menu pemerintahan terpilih sebelumnya.
Syarat ini dianggap tidak memberikan insentif dan penghargaan terhadap
sumber daya politik yang diekstraksi oleh pemilu. Namun, mekanisme tanpa
syarat sangat diperlukan sebagai modal awal membangun legitimasi kekuasaan di
mata publik. Praktik politik kompromi dan dagang sapi selama ini telah
terbukti meruntuhkan idealisme berpolitik dan pada akhirnya menawan rakyat
dalam turbulensi nasib dan pemenuhan kepentingannya.
Puluhan tahun hal ini dialami rakyat tanpa merasakan keberpihakan
kekuasaan selain muncratan janji dan wacana politik yang dipatri pada politik
tonil berbasis kosmetik dan gincu. Jika saja roh dan intuisi yang mendasari
politisi adalah sama (berbagi kebaikan untuk kemaslahatan bersama), maka
sebenarnya relatif tidak terlalu sulit melahirkan sebuah platform kesepakatan
politik.
Lain
chemistry
Kedua, karena konsistensi Jokowi-JK membangun koalisi pemerintahan
berdasarkan prinsip antikorup, membuat partai-partai lain merasa tidak
memiliki chemistry yang sama untuk
duduk dalam satu gerbong. Harus diakui, tidak sedikit politisi di partai
pendukung KMP yang tengah terjerat berbagai kasus korupsi dan ini sangat
membuat mereka tidak nyaman. Sehingga, jangan heran jika skenario penguasaan
parlemen oleh KMP diprediksi akan berujung pada pelemahan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melindungi jaringan persekongkolan.
Namun, politik jalan tengah masih bisa diambil Jokowi-JK dengan tetap
melakukan komunikasi ke kubu partai pendukung KMP seperti PAN, PPP, ataupun
Demokrat. Insentif yang diberikan tetap harus diawali dengan perjanjian tidak
ada tawar-menawar dalam hal profesional, integritas, dan kebersihan jabatan.
Kuncinya kini ada di Megawati Soekarnoputri sebagai veto player.
Tidak ada yang salah apalagi berkurang martabatnya jika Megawati mau
memulai komunikasi terutama dengan SBY untuk mencari titik kesepahaman.
Sejatinya titik kesepahaman itu sudah tersedia di dalam kerendahan hati
seorang negarawan yang lebih mementingkan kepentingan bangsa daripada politik
do ut des (saya mendapat apa). Dalam konteks ini siapa (mengambil inisiatif)
cepat dialah pemenang sejatinya sesuai tagline klasik JK: lebih cepat lebih baik. Kita tunggu
saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar