Menyelamatkan
Demokrasi
Masdar Hilmy ; Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur
|
KOMPAS,
15 Oktober 2014
SIAPA pun yang menyaksikan drama politik nasional pasti dibuat bingung
dengan aksi teatrikal sejumlah elite politik di Senayan. Pengesahan
Undang-Undang Pilkada oleh DPRD menjadi titik balik yang menggerus optimisme
rakyat akan tercapainya transisi dan konsolidasi full-fledged democracy di
negeri ini. Meminjam Cristopher Lasch (1996), perilaku elite di balik
pengesahan UU Pilkada oleh DPRD merupakan bentuk pengkhianatan atas demokrasi
(betrayal of democracy) di jantung demokrasi.
Sinyalemen ”pengkhianatan atas demokrasi” mungkin terkesan hiperbolis.
Namun, sinyalemen itu harus menjadi bahan refleksi bagi para elite partai
politik sebelum rakyat benar-benar murka dan menarik mandat mereka. Kekuasaan
yang diraih para wakil rakyat bukanlah cek kosong untuk berbuat semau gua
tanpa mengindahkan aspirasi si pemberi mandat. Sudah saatnya partai politik
secara cerdas membaca aspirasi rakyat melalui hasil-hasil survei sebagai
basis bagi gerak langkahnya. Pengabaian aspirasi rakyat merupakan tindakan
arogan yang dapat mencederai amanat mereka.
Dekonsolidasi
demokrasi
Dalam konteks ini, yang dipertontonkan sejumlah elite di gedung
parlemen menunjukkan gerak mundur demokrasi. Dalam ungkapan lain, perjalanan
demokrasi mengalami dekonsolidasi atau penguraian kembali benang-benang
demokrasi yang telah terpintal dengan sedemikian rapi, rancak, dan apik.
Ironisnya, penguraian kembali benang-benang demokrasi bukan dilakukan
oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi kekuasaan di negeri ini,
tetapi oleh para elite partai politik sebagai wakil mereka! Sebuah gambaran
sempurna dari pemangkasan hak-hak politik warga untuk menentukan sendiri
pemimpin yang dikehendaki.
Juan J Linz & Alfred Stepan dalam Problems of Democratic Transition
and Consolidation (1996) menggambarkan demokratisasi sebagai proses dua
tahap: tahap transisi dan konsolidasi. Tahap transisi adalah ketika sebuah
rezim demokrasi memenuhi empat persyaratan berikut, yaitu 1) terdapat
kesepakatan tentang prosedur dan mekanisme penyelenggaraan pemilu yang
demokratis; 2) pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat dalam sebuah pemilu
langsung; 3) pemerintah memiliki otoritas merumuskan kebijakan-kebijakannya,
4) tak ada pembagian kekuasaan (power sharing) di luar lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif.
Tahap kedua, ketika demokrasi sudah terkonsolidasi, ditandai dengan
tiga karakteristik berikut; 1) dalam hal perilaku, tidak ada kelompok politik
yang berusaha menggulingkan rezim demokratis melalui kekerasan atau
intervensi asing; 2) dalam hal sikap, opini publik mayoritas rakyat meyakini
bahwa perubahan politik harus dilakukan dalam kerangka parameter demokrasi,
bahkan dalam kondisi krisis ekonomi dan politik yang parah sekalipun; 3)
dalam hal konstitusi, semua kekuatan pemerintah dan non-pemerintah sepakat
bahwa konflik politik diselesaikan melalui prosedur dan institusi hukum dalam
kerangka rezim demokrasi.
Melihat parameter di atas, menjadi tak relevan untuk mempertanyakan
kembali signifikansi pemilihan langsung dalam sistem demokrasi dengan dalih
mahalnya biaya politik dan maraknya politik uang. Bahwa terdapat banyak
kekurangan dalam pemilihan langsung tak berarti mekanisme ini harus dihapus
dan diganti dengan pemilihan tidak langsung oleh parlemen.
Mekanisme pemilihan langsung jelas tidak bisa dipersalahkan atas
sejumlah kekurangan yang ada, tetapi isunya adalah bagaimana agar segala
bentuk kekurangan itu bisa ditekan dan dihilangkan. Kelemahan pemilihan
langsung sangat terkait dengan integritas moral dan budaya politik bangsa
kita yang masih membuka peluang bagi beraneka bentuk moral hazard dimaksud.
Selain argumentasi di atas, ada pula sejumlah pengusung pemilihan tidak
langsung yang mendasarkan argumentasinya pada pertentangan antara demokrasi
liberal Barat (sebagai representasi pemilihan langsung) dan Pancasila
(sebagai representasi sistem perwakilan atau pemilihan tidak langsung).
Memperhadapkan keduanya secara diametral bukan saja merupakan sebentuk
simplifikasi berpikir, tetapi juga reduksionisme epistemologis. Demokrasi dan
Pancasila bukanlah konsep yang ekuivalen untuk diperbandingkan, terlebih
diperhadapkan. Keduanya lebih merupakan flesh and blood dalam sistem
kehidupan bernegara dan berbangsa yang saling melengkapi.
Dalam konteks ini, pemilihan langsung ataupun tidak langsung jelas
tidak ada kaitan dengan Barat atau Timur, liberalisme atau Pancasila,
bertuhan atau tidak bertuhan, dan semacamnya. Memilih langsung seorang
pemimpin—terutama dalam sistem politik presidensialisme—merupakan bagian dari
hak-hak dasar warga (civic rights) yang tidak bisa diwakilkan. Sejalan dengan
itu, pemenuhan negara atas hak-hak sipil warga bukanlah soal pilihan,
melainkan kewajiban negara untuk terus mengawal dan melindungi.
Perlawanan
rakyat semesta
Sampai di sini, rasanya kita sulit menampik kenyataan bahwa demokrasi
kita sedang mengalami titik kritis. Demokrasi kita mengalami kondisi darurat
pertolongan (SOS). Perlu langkah-langkah kolektif dan sistematis untuk
menyelamatkan demokrasi kita dengan cara menghentikan tindakan anarkistis
pihak-pihak tertentu yang coba memangkas dan melucuti hak-hak dasar warga.
Meskipun demikian, langkah-langkah penyelamatan mestinya tidak perlu
terjadi seandainya tidak ada ”dusta di antara kita” melalui aksi teatrikal
sejumlah elite partai politik di Senayan. Tidak perlu pula Presiden
mengeluarkan jurus ”penyelamatan citra” melalui peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (perppu), seandainya setiap proses demokrasi tidak
mengalami pereduksian dan pendangkalan makna.
Namun, sudahlah. Mari kita apresiasi niat Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengeluarkan perppu. Ibarat pepatah, lebih baik terlambat daripada
tidak sama sekali. Terpenting lagi, gerakan perlawanan harus dimulai dari
semua elemen masyarakat, seperti kelompok masyarakat sipil (LSM), tokoh
agama, elite politik, akademisi kampus, mahasiswa, dan masyarakat pinggiran.
Artinya, langkah menyelamatkan demokrasi harus dimulai dari setiap kita yang
masih mencintai Indonesia dan demokrasi. Tanpa gerakan perlawanan rakyat
semesta, pengerdilan dan pereduksian atas nama demokrasi akan terus terjadi
di panggung politik kita.
Memang partai politik yang berusaha melawan aspirasi rakyat pasti akan
mendapat hukuman dari konstituen pada saat pemilu. Namun, kita tidak perlu
menunggu masa lima tahun lagi untuk menentukan sikap kita dalam menegakkan
hak-hak dasar warga.
Yang perlu kita lakukan adalah mengingatkan para petinggi negeri ini
bahwa memelihara hak-hak dasar warga itu sama pentingnya dengan mengatasi
sejumlah kekurangan dalam pemilihan langsung, tidak malah menggantinya dengan
sistem dan mekanisme yang mundur ke belakang. Sebagaimana dikutip di awal
tulisan ini, raison d’etre institusi demokrasi adalah untuk menjamin,
menjaga, dan melindungi hak-hak dasar warga dalam menentukan pilihan
politiknya. Kita telanjur berada pada tahap point of no return dalam berdemokrasi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar