Menggagas
Strategi Komunikasi Presiden
Syafiq Basri Assegaff ; Pengajar Komunikasi Universitas Paramadina
dan London School of Public Relations
|
KOMPAS,
09 Oktober 2014
Mantan
wartawan senior The Washington Post,
Walter Pincus, pernah menulis dalam blognya bahwa Presiden Ronald Reagan
kurang menarik diberitakan pada akhir tahun pertama pemerintahannya menurut
reporter politik kenamaan David Broder. Pengganti Reagan, George HW Bush,
dianggap sebagai tidak konsisten dalam berbagai pesannya, dan Bill Clinton
dinilai sebagai terlalu banyak mencampurkan pesan-pesan hariannya (sehingga
membingungkan).
Itu di
Amerika Serikat. Masing-masing presiden mendapatkan citra (yang dipersepsi
secara) berbeda di benak media. Bagaimana dengan presiden terpilih Indonesia
Joko Widodo? Apakah ia akan tetap sederhana? Apakah ia bisa menjaga identitas
atau lebih penting lagi reputasi dirinya?
Untuk
itu, salah satu hal penting yang perlu dilakukan adalah menyusun rencana
komunikasi strategis (strategic
communication plan) dengan bantuan tim ahli public relations (PR).
Sebagaimana para pemimpin dunia lainnya, Jokowi bukan sekedar perlu juru
bicara, melainkan tim ahli PR yang dapat memberi saran, sekaligus menjadi
”mata dan telinga” guna menyerap apa yang terjadi dan yang diinginkan publik.
Berbeda
dengan rezim hasil Pemilu 2009 yang drama konflik dengan pesaingnya tidak
seberapa besar, pemerintahan Jokowi-JK akan berat karena pesaingnya terus
berupaya untuk merebut kekuasaan. Wajar jika kemudian sang presiden perlu
pendampingan sejumlah tenaga PR yang andal.
Kebutuhan
PR di dunia saat ini memang jauh lebih penting ketimbang sebelumnya, terutama
karena perubahan ”lanskap media” berkat kemajuan teknologi informasi saat
ini. Menyempitnya jumlah outlet media, semakin sedikitnya kebutuhan wartawan
untuk menemui sumber berita secara langsung (tatap muka), dan kian sempitnya
waktu tenggat (deadline) bagi
jurnalis menyebabkan tenaga PR semakin diperlukan, termasuk mengurusi media
daring istana.
Kawan media
Meski
popularitasnya tinggi, Jokowi tidak bisa membiarkan nama baiknya diusik
berbagai masalah yang tidak saja akan menggerogoti ”citra” pemerintahan di
mata rakyat, tetapi juga bisa menurunkan ”reputasi” Indonesia di mata dunia,
termasuk investor asing. Kecepatan penyebaran berita (buruk) melalui media
sosial jelas akan mempercepat perusakan nama baik ke seluruh dunia.
Tim PR
bisa menjembatani komunikasi dengan lembaga DPR dan para relawan yang tempo
hari berjasa bagi pemenangan pasangan Jokowi-JK serta menjadi mata dan
telinga presiden terhadap pemangku kepentingan (stakeholders) secara luas, termasuk dengan kelompok-kelompok pressure groups seperti LSM.
Tim PR
yang baik bisa menjadi kawan media karena para wartawan sering tidak puas
hanya mendengarkan informasi satu arah dari juru bicara (jubir) presiden yang
lebih banyak berfungsi sebagai ”press
agentry”.
Tim PR
bisa menambah informasi berupa data ataupun keterangan tambahan, termasuk
mencarikan waktu apabila ada yang memerlukan wawancara khusus dengan tim
presiden.
Ada
hubungan simbiosis antara PR presiden dan wartawan. Ketika Jokowi sibuk,
belum bisa (atau tidak perlu) tampil di depan media, tim PR bisa membantu
wartawan memberikan informasi latar belakang (background) dan perspektif. Tenaga PR yang kaya informasi tentang
presiden (dan wakilnya) dapat membantu wartawan yang dikejar deadline agar
berhasil memenuhi tugasnya.
Pemimpin
tim PR dan anggotanya mestilah melakukan pendekatan interaktif yang mengharuskan
mereka terlibat aktif di tengah bermacam publik yang bisa memengaruhi masa
depan lembaga pemerintah. Jika tim PR bisa membantu pemerintah menerapkan
komunikasi dua arah yang baik dengan publik, ia akan dengan mudah
mengidentifikasi ”gejala” sebuah masalah jauh sebelum ia muncul ke permukaan.
Metode
ini bisa efektif apabila tim PR selalu ”menghadirkan publik” (yang
diwakilinya) ke tengah permasalahan yang ada, mendengarkan dan berdialog
dengan mereka. Berkat komunikasi dua arah dengan publik, para petugas PR
dapat menetapkan sasaran-sasaran strategis yang terukur (measurable objectives) pada program komunikasinya.
Awalnya,
tim menetapkan dan mengevaluasi sikap publik, mengidentifikasi kebijakan dan
semua prosedur yang berkaitan dengan kepentingan publik. Kemudian mereka
menyiapkan pengembangan serta eksekusi program komunikasi strategis dan
terencana yang bertujuan mendapatkan pemahaman dan penerimaan publik atas
segala kebijakan.
Tugas
praktisi PR saat ini tidak sekadar merekayasa pesan-pesan kunci (seperti
disampaikan para presiden AS dalam tulisan Walter Pincus di atas), mengatur
konferensi pers, menyiapkan rilis, atau mengundang wartawan meliput acara
kepresidenan. Apabila hanya itu yang dilakukan, sama artinya dengan
mengerdilkan fungsi PR. ●
|
Mental birokrat yang demikian itu tentu sangat sulit direvolusi karena
telah tertanam berpuluh-puluh warsa sehingga telah mendarah daging,
mengurat-mengakar, dan menjadi kanker. Diperlukan gerakan luar biasa keras
untuk memotong kanker yang sudah demikian membatu. Gubernur DKI Basuki
Tjahaja Purnama sesungguhnya berpotensi merevolusi birokrat-birokrat Jakarta
sebagaimana telah dirintis Joko Widodo. Sayang, ada sedikit kelompok di
masyarakat yang terus mengganggu kinerja Basuki hanya karena berbeda agama,
sebuah pandangan picik dan kerdil.
Lewat Ahok, sesungguhnya birokrat DKI mulai memahami maksud baiknya:
demi menciptakan aparatus yang profesional dan giat bekerja sesuai dengan
status sebagai pelayan rakyat. Sebab mereka digaji dari uang yang diambil
dari hasil keringat warga. Maka, sudah secara otomatis mereka melayani yang
membayar.
Presiden Joko Widodo telah meletakkan rencana program yang amat vital:
merevolusi mental. Ini sangat bagus sekaligus sangat sulit. Namun, apa pun
kondisinya, bagaimanapun sukarnya, harus dimulai. Birokrat bangsa ini tidak
boleh dininabobokan mental inlander sebagai warisan penjajah yang hanya mau
duduk di singgasana untuk disembah dan dilayani. Oleh karena itu, seluruh
rakyat harus mendukung program dasariah tersebut.
Mental priayi sudah tidak zamannya lagi. Dia tidak boleh hidup di bumi
Nusantara. Mari bersama-sama presiden mengubah diri. Keteladanan menjadi
kunci. Oleh karena itu, atasan atau mereka yang memiliki anak buah harus
memberi contoh untuk mengubah diri. Segala perubahan hanya bisa terjadi bila
diawali diri sendiri. Kita tidak perlu berteriak-teriak agar orang lain
berubah, tapi cukup memberi contoh. Bila kita berubah, orang lain tidak perlu
disuruh, akan ikut juga.
Keteladanan semakin langka. Rakyat ini harus bersyukur karena akhirnya
menemukan presiden yang mau bekerja, turun ke jalan, blusukan, dan memanggul
semen. Selama ini, belum pernah ada pemimpin seperti itu. Joko Widodo menjadi
kunci Indonesia emas. Bersamanya, Indonesia menyongsong zaman baru: era
melayani! Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar