Koalisi
Rakyat
Putu Setia ; Pengarang, Wartawan Senior Tempo
|
KOMPAS,
11 Oktober 2014
Tuhan
Maha Adil. Beliau membuat semua orang senang. Tentu tingkat kesenangan
berbeda dan tidak sama, tergantung penilaian masing-masing orang. Santai
sajalah.
Ini
komentar dari seorang petani kopi di lereng Gunung Batukaru, menanggapi apa
yang oleh orang kota disebut "kegaduhan politik" di parlemen. Bagi
petani itu, tak ada yang gaduh, kecuali memang diakuinya anggota Dewan
Perwakilan Rakyat tidak biasa bersidang sebagaimana warga petani bersidang. "Mereka tak punya pengalaman sebagai
warga desa yang ikut rapat-rapat di desa adat. Mereka produk sekolahan dan
itu pun mungkin tak pernah aktif di organisasi intra sekolah. Lulus sarjana
pun mungkin dengan membeli skripsi. Dan ketika ada lowongan pekerjaan sebagai
anggota DPR, lewat partai politik mereka mendaftar dengan sejumlah uang.
Jadilah mereka wakil rakyat yang tak punya etika dan sopan santun dalam
bersidang," kata petani kopi yang sudah sepuh itu.
Tetapi
itu hanya soal sidang. Produk persidangan tak ada yang salah. Politik itu
menang-menangan. Untuk mencapai kemenangan, segala taktik dilakukan. Dimulai
dengan merangkul teman supaya lebih banyak anggota kelompok. Jadi, kalau
Koalisi Merah Putih (KMP) menang mutlak di parlemen, itu wajar saja. Semua
jabatan di parlemen dia ambil habis, tak ada sisa, juga hal yang wajar. Wong
mereka lebih banyak.
Lawannya,
Koalisi Indonesia Hebat (KIH), tak boleh meradang. Tuhan sudah memberi
kesenangan lebih awal dengan menempatkan jagonya sebagai presiden dan wakil
presiden terpilih. Kemenangan ini mereka rayakan dengan sumringah sampai lupa
mengajak kelompok lain bergabung. Hasilnya, jumlah anggota koalisi mereka
kalah banyak dan semua jabatan di parlemen tak bisa mereka ambil. KIH harus legawa, seperti halnya saat meminta
kelompok KMP legawa ketika kalah
pada pemilu presiden. Jadi, Tuhan itu Maha Asyik. Beliau penggemar lagu
Pramuka, "di sini senang, di sana
senang ...."
Yang tak
boleh dilakukan KMP adalah main jegal-jegalan memanfaatkan kelebihan suaranya
di parlemen. Mereka tak bisa berbuat seenaknya dan kebablasan. Misalnya,
mereka ubah undang-undang yang tak membolehkan rakyat untuk memilih
pemimpinnya, lalu mengamendemen konstitusi agar presiden tidak dipilih
rakyat, melainkan dipilih MPR yang mereka kuasai. Padahal ada pepatah:
"Lupa kacang sama kulitnya." Anggota
parlemen itu "turun pangkat" jadi wakil rakyat karena rakyat yang
memilihnya. Rakyat yang jadi ketuanya, mereka cuma wakil. Masak ketuanya
dilarang menggunakan hak pilihnya lagi? Ini kualat dan harus segera bertobat.
Yang
mengherankan-kata lebih kasar tapi cocok: memalukan-KMP
berniat mengubah konstitusi supaya presiden dipilih oleh mereka sendiri. Tak
bisa bergerak mundur seperti itu. Hanya karena kalah dalam pertarungan
presiden, kok konstitusi yang diubah? Ini namanya politik sesaat dan sesat.
Kalau konstitusi dan undang-undang diubah hanya karena pernah kalah, di mana
letak kepastian hukum? Nanti setiap ada orang kalah ramai-ramai bergabung
untuk mengubah sistem supaya bisa menang. Ini bahaya, Tuhan pasti tak
berkenan. Dan rakyat bisa menganulir wakilnya itu, entah lewat aksi atau
menghukumnya pada saat pemilu.
KMP
menang di parlemen, KIH menang di legislatif, kan baik? Kalau mereka saling
jegal, artinya mereka hanya mementingkan kekuasaan, bukan berkoalisi dengan
rakyat. Ingat, rakyat tidak lagi dungu. Mereka yang "mabuk" itu
akan menerima ganjaran yang menyakitkan. Politik itu kan roda pedati, kadang
di atas, kadang di bawah. "Paham?" kata petani itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar