Jokowi
tanpa Remote Control
Taufik Lamade ; Wartawan Jawa Pos, Direktur Jawa Pos Radar
Bromo
|
JAWA
POS, 13 Oktober 2014
SEJATINYA Jokowi tidak mempunyai modal amat besar untuk menjalankan
roda pemerintahan. Seharusnya kekuasaan presiden begitu besar karena kita
menganut sistem presidensial. Dalam menentukan menteri, misalnya, semuanya
adalah hak mutlak presiden. Tapi, apakah Jokowi yang terpilih secara langsung
itu mampu menjalankan ide-ide orisinalnya.
Untuk mengukur ruang gerak atau menakar modal politik Jokowi, paling
tidak kita melihat tiga simpul politik penting. Pertama, kekuatan parpol yang
mendukung. Kedua, peta politik di parlemen.Ketiga, dukungan rakyat.
Pertama, soal dukungan parpol pendukung, posisi Jokowi tidak terlalu
kuat. Dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), Jokowi bukan yang terbesar. Masih
ada orang kuat di belakang layar, yakni Megawati sebagai ketua umum PDIP,
partai utama atau tulang punggung KIH. Tingginya posisi Mega dapat terbaca
ketika Mega akan bertemu dengan SBY, mengutus Jokowi sebagai pendahulu.
Pertemuan gagal karena SBY ingin bertemu ”queen”.
Jokowi bukan ketua umum atau penguasa parpol saat berkuasa nanti. Beda
dengan Presiden Soekarno yang mengendalikan PNI; Soeharto yang menjadi ketua
Dewan Pembina Golkar, yang kekuasaannya unlimited; Presiden Habibie juga
ketua harian Dewan Pembina Golkar. Lantas, Presiden Gus Dur merangkap ketua
Dewan Syura PKB. Mega saat menjadi presiden juga menjabat Ketum PDIP. SBY
saat berkuasa juga ”pemilik” Demokrat.
Semua presiden sebelumnya cukup memegang remote control untuk
menggerakkan elemen parpol yang dipimpinnya. Baik untuk menggerakkan massa
pendukung atau perpanjangan tangannya di parlemen. Sehingga para presiden
pendahulu itu mempunyai kekuatan untuk melakukan mobilisasi dan mengimbangi
manuver lawan politik. Jokowi? Untuk menggerakkan elemen parpol,dia harus
menghadap ke meja ketua umum parpol pendukungnya.
Beratnya langkah Jokowi menghadapi parpol pendukung sudah terlihat saat
gagalnya rencana mewujudkan semangat membentuk kabinet tanpa pengaruh parpol.
Realitasnya, Jokowi harus memberi kavling kabinet kepada seluruh partai
pendukung, berbeda jauh dengan keinginan orisinal mantan walikota Solo itu
yang menyebut tanpa deal dengan parpol pendukung.
Kedua, soal peta politik parlemen. Sebenarnya itu tak perlu diulas
panjang lebar. Sebab, kenyataannya, untuk sementara kubu Jokowi-JK babak
belur di parlemen. Tiga kali voting, yakni UU Pilkada, pemilihan paket pimpinan
DPR, dan pemilihan paket pimpinan MPR, kubu KIH menderita kekalahan. Artinya,
Jokowi dan JK akan menghadapi tantangan besar bila tak mampu merombak peta
politik parlemen yang dikuasai Koalisi Merah Putih (KMP) yang dimotori
Prabowo Subianto.
Padahal, seperti kita ketahui, secara konstitusi pemerintah harus
mendapat persetujuan parlemen. Baik dalam menentukan anggaran maupun dalam
persetujuan UU (legislasi). Parlemen juga mempunyai hak konstitusi yang
melekat dalam pengawasan, misalnya hak angket dan hak menyatakan pendapat.
Ketiga, soal kekuatan rakyat. Jokowi dan gerbongnya mungkin merasa
bahwa benteng penting mereka adalah rakyat. Wajar karena pasangan Jokowi-JK
terpilih lewat pilkada langsung. Tapi, bila dibandingkan dengan perolehan SBY
dalam dua pilpres langsung sebelumnya, yang diperoleh Jokowi-JK masih kalah.
Dalam Pilpres 2004, SBY yang saat itu berpasangan dengan JK meraih
60,62 persen suara. Sementara dalam Pilpres 2009, raihan suara SBY yang
berpasangan dengan Boediono lebih besar lagi, yakni 60,8 persen. Hebatnya
lagi,Pilpres 2009 diikuti tiga pasangan dan SBY-Boediono menyelesaikan dengan
satu putaran. Bandingkan dengan perolehan suara Jokowi-JK yang sebesar 53,15
persen.
Artinya, kalau kita membaca raihan suara itu, kemenangan Jokowi tidak
besar amat (selisih tidak besar). Kalau kubu Jokowi mengandalkan pengelolaan
suara rakyat sebagai ”benteng” politik, berpotensi besar menimbulkan konflik
horizontal. Tanda itu sudah terbaca saat demo menjelang sidang MK atau perang
polemik di media sosial. Intinya, dukungan publik untuk kursi presiden Jokowi
tak setenang saat dia menjabat walikota Solo, yang mampu meraih suara 90,09
persen dalam pilwali.
Selain tiga elemen penting itu (dukungan partai pendukung, peta
parlemen, dan dukungan rakyat), sebenarnya ada dua lagi elemen yang perlu
dicermati dalam melihat posisi politik Jokowi di kursi presiden. Yakni,
posisi militer dan ”manuver”Wapres.
Mengapa mencermati militer? Bukankah TNI sudah profesional dan tak
berpolitik lagi? Bukankah presiden merangkap panglima tertinggi TNI? Iya,
memang benar, secara institusi loyalitas TNI sudah tak bisa diragukan. Tapi,
bagaimanapun, militer tetap elemen penting yang sangat menentukan. Kalau
tidak bisa mengelola dengan baik, Jokowi akan menemui kesulitan. SBY sukses,
buktinya mendapat kado istimewa pada HUT TNI yang dirayakan 7 Oktober lalu.
Di akhir jabatan SBY, TNI mengadakan perayaan yang sangat meriah di Surabaya,
perayaan terbesar sepanjang sejarah.
Bagaimana faktor Wapres? Bukankah Wapres juga subordinasi presiden?
Semua kekuasaan dan otoritas ada di tangan presiden. Wapres hanya bekerja
berdasar perintah presiden. Iya memang. Tapi, JK yang menjadi pendamping
Jokowi adalah tipikal tokoh yang bisa berlari kencang. Bukan tipikal Wapres
ban serep. Itu sudah terbukti di era SBY-JK yang memunculkan pamor antara
presiden dan Wapres seimbang. Apakah nanti juga memunculkan matahari kembar?
Semua berpulang kepada Jokowi sendiri. Bergantung seberapa jauh dia
mengelola simpul-simpul politik itu. Kalau mampu mengelola dengan baik untuk
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, tentu dia akan menjadi presiden hebat
yang disanjung publik. Bila tidak, mungkin hanya akan menjadi petugas partai.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar