Bharataindia
Vs Bharata WO
Arswendo Atmowiloto ; Seorang Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 10 Oktober 2014
Para pemeran Pandawa dan tokoh lain dari seri Mahabharata didatangkan
dari India. Sekali lagi Mahabharata mengisahkan keturunan keluarga Bharata
itu sudah lama melegenda di negeri ini terutama lewat wayang kulit atau
wayang orang (WO). RA Kosasih pun pernah mengomikkan di pertengahan tahun
50-an. Ini menarik karena ketika itu komik sedang dimusuhi. Dia dianggap
kurang mendidik dan membuat anakanak malas belajar. Tokoh ciptaan seperti Sri
Asih, Kapten Garuda dinilai terlalu khayali.
Anehnya , ketika kisah wayang Mahabharata yang lebih dalam khayalannya,
dipandang memiliki nilai pendidikan, budi pekerti, bahkan mencerminkan
kepribadian Indonesia. Mengapa sekarang digemari lagi? Dari segi budaya,
peristiwa biasa mengisahkan yang baik dan benar. Kisah Mahabharata atau juga
Ramayana sudah mendunia. Akhir abad ke-10, masyarakat Jawa sudah mengenal
kisah tersebut. Ada salinan dalam bentuk prosa berbahasa Kawi atau Jawa Kuno.
Ada episode- episode seperti pada judul Adi Parwa, Wirata Parwa, atau juga
Bisma Parwa. Puncaknya kemudian justru ketika ditulis kembali dalam bentuk
kakawin, puisi “gaya” India.
Salah satu lakon kakawin Arjunawiwaha masih sering dikutip. Yang
istimewa, dalam penyalinan ini proses kreatif seniman sungguh mengagumkan.
Dalam Mahabharata versi Jawa muncul tokoh-tokoh lain yang berperanan sangat
besar seperti Punakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Mereka mewakili
rakyat kecil, abdi, namun sangat berdaulat.
Bahkan, tokoh Semar yang digambarkan secara fisik bukan lelaki atau
perempuan mampu mengalahkan semua dewa yang paling sakti hanya dengan
kentutnya, baik suara maupun derasnya angin. Dalam mitologi Hindu, kedudukan
para dewa tertinggi. Mereka di atas manusia, namun sering dijungkirbalikkan
oleh Punaokawan. Demikian juga tokoh-tokoh lain yang dalam kitab “aslinya”
tidak ditemukan seperti Butacakil.
“Carangan” Penambahan tokoh atau pengembangan cerita baku (carangan)
mempunyai makna dan memberi nilai tersendiri. Dalam wayang, tokoh Butacakil
kerap dimunculkan dan selalu kalah. Dia terbunuh oleh kerisnya sendiri. Ada
tafsiran tertentu yang menjadi baku sehingga tokoh ini tak bisa dimainkan
sembarangan. Dia juga mengilhami, misalnya, tarian dan koreografi
“cakil-bambangan” yang bisa muncul tersendiri sebagai pethilan, tanpa ada
cerita utuh. Proses budaya, tata nilai, dan tata krama inilah dalam hal
tertentu dijungkirbalikkan dalam serial televisi.
Maka, tidak mengherankan tokoh Arjuna yang dalam pengertian lama
seorang lelaki lembut, sehingga dalam WO dimainkan perempuan, kini
ditampilkan sebagai lelaki gagah, tampan dalam konsep tampilan peragawan
dengan perut “six pack”, misalnya. Serentak dengan itu, peran lain bisa
memudar atau justru memancar. Kembar Nakula-Sadewa yang tak banyak
dibicarakan dalam lakon di sini, menjadi bagian dari tokoh utama. Demikian
juga kelak ketika membicarakan Drupadi.
Tokoh ini tidak jelas sebagai poliandris dengan lima suami dalam satu
keluarga atau hanya Yudistira. Kalau hanya satu suami, kenapa anaknya dinamai
Pancawala (panca: lima). Dengan kata lain juga, jerih payah adiluhung para
empu yang mengubah Mahabharata menjadi budaya Indonesia, tiba-tiba kehilangan
gema dan makna. Ini bisa dianggap ketinggalan zaman. Barangkali bukan contoh
menyenangkan, namun lihatlah nasib grup WO yang kebetulan bernama Bharata,
Senen, Jakarta.
Grup ini hanya bisa manggung sepekan sekali. Mereka terengah-engah,
walau telah disubsidi. Demikian pula WO Sriwedari, Solo, yang dulu bisa
pentas setiap hari. Dalam usia lebih dari 100 tahun terkesan makin tua,
tambah merana. Mungkin dan bukan kebetulan, kini istilah WO sedang hangat dan
menyengat. Bukan singkatan wayang orang, melainkan walk out, pergi
meninggalkan. Dalam sidang para wakil rakyat, di tengah masalah yang menuntut
tanggung jawab, Partai Demokrat memilih WO, maka menghilangkan jatah suara
untuk Koalisi Indonesia Hebat.
Belum jelas benar, meskipun terbaca jelas, peran partai dan atau ketua
umumnya. Kemudian muncul keputusan membuat perppu. Riuh-rendah, bikin gundah,
menambah resah agaknya menjadi hobi para elite politik . Mereka bisa menjadi
terbiasa membuat rakyat makin susah, sekurangnya ketika kesadaran berdaulat
dimiliki dan ketika itu pula terampas. Jadi bagaimana menyikapi semua ini
selain menggerutu, memprotes, sebelum melakukan hal-hal yang boleh jadi tak
diharapkan bersama. Kemungkinan itu bukan tak ada sama sekali, mengingat para
wakil rakyat berbuat seperti halnya Butacakil. Dalam pewayangan, raksasa
besisik hanya satu, tapi di DPR ternyata jumlahnya banyak dan merebak.
Sementara dalam dunia wayang, masyarakat bisa melihat lebih jelas cara
bersikap.
Misalnya, kesuksesan Mahabharata di televisi bukan hanya dengan
mendatangkan para pemeran, melainkan juga menjadi bagian “jualan”. Kini ada
bentuk reality show yang kira-kira temanya gadis yang bakal terkena panah
asmara Arjuna. Maka, peristiwanya mirip pemilihan ratu kecantikan,
berbondong- bondonglah para gadis untuk dipilih. Yang terasa janggal, justru
para gadis dari Jawa Timur atau pelosok Indonesia ini tampil berbusana
perempuan India, lengkap dengan aksesori, tato, atau tindik hidung.
Mereka juga harus hapal makanan kesukaan atau hobi Arjuna agar bisa
menjawab bila ditanya. Sampai di sini Arjuna yang dikagumi dalam dunia
perwayangan karena berkarakter unggul, berubah menjadi berperilaku pemeran
serial. Bisa jadi peserta kontes pemilihan tak mengenal Arjuna sebenarnya.
Itu diakui tiga kontestan. Memang mereka tak perlu mengenal Arjuna atau
bahkan Dorna sekalipun karena yang penting mengikuti tawaran televisi. Jadi,
Mahabharata yang digemari masyarakat sekaran bisa saja bukan yang dikenali
orang tua.
Tempat manggung WO Bharata pun belum tentu tahu. Ketika televisi terus
bergegas melewati batas geografis, bangsa tak siap, sehingga hanya menjadi
penonton. Bangsa malahan lebih buruk dari nenek moyang karena kini hanya bisa
menelan mentah-mentah dan menyembah para pemainnya. Ini termasuk lakon model Mahabharata,
telenovela, silat, atau K-pop yang makin merajalela. Secara khusus, program
televisi pun lebih banyak menjiplak resmi baik ajang mencari bakat, menghibur
dengan survei, membuat sinetron, padahal materinya belum tentu ada dalam
masyarakat.
Keperkasaan pemeran Arjuna yang akan berada di sini sampai akhir tahun
untuk berpromosi dan memilih kandidat yang memenuhi seleranya, menggambarkan
kelemahan budaya rakyat. Lemah karena seolah kehilangan arah dan gairah.
Padahal, kalau dasar-dasar kreativitas, kemampuan mencipta, rasa-rasanya
Indonesia tak bisa diremehkan.
Perlu satu loncatan mental untuk mengubah keadaan sekarang yang
menindih dunia kesenian, termasuk bentuk hiburan dan informasi. Loncatan
sudah diberi contoh dengan menghadirkan tokoh Semar. Perlu keberanian dan
ketekunan berindustri untuk melahirkan kembali Semar, tokoh yang memilih
mendulukan kepentingan dan kedaulatan rakyat, bukan kepentingan diri sendiri.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar