Belajar
dari Keajaiban Taiwan
M Barmawi ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI);
Guru
Besar Emeritus Institut Teknologi Bandung (ITB)
|
KOMPAS,
01 Oktober 2014
PADA 1949
pemerintahan Tiongkok Nasionalis Kuo Min Tang mengungsi ke Taiwan. Tiga belas
tahun kemudian, pada 1962, PDB-nya masih 196 dollar AS, setara dengan
Zaire—sekarang Republik Demokratik Kongo—dan Kongo. Namun, pada 1995 PDB-nya
melejit menjadi 12.439 dollar AS atau sekitar 63 kalinya, setara dengan
tingkat kesejahteraan Spanyol dan Portugal. Bank Dunia menyebut pemerintahan
Tiongkok Nasionalis ini sebagai salah satu keajaiban ekonomi Asia Timur.
Perubahan
sejenis terjadi di Singapura dan Korea Selatan. Rupanya keajaiban ekonomi di
Asia Timur ada arsiteknya. Di Taiwan arsitek itu bernama Li Kuo-Ting
(1910-2001). Ia sarjana lulusan National Center University, Nanjing, yang
kemudian melanjutkan studi ke Universitas Cambridge dalam bidang Fisika.
Lulus pada 1934, Li kembali ke negerinya, terjun ke bidang industri
perkapalan.
Pada
1953, Li diangkat menjadi anggota Komisi Pengembangan Industri dengan tugas
merencanakan pengembangan ekonomi Taiwan. Menjadi Menteri Ekonomi (1965-1969)
dan Menteri Keuangan (1969-1976), Li tidak pernah mendapat pendidikan formal
dalam ekonomi. Ia sadar bahwa pertumbuhan ekonomi Taiwan terhambat oleh
kelangkaan sumber daya alam, modal, valuta asing, teknologi, dan keterampilan
kewirausahaan.
Melalui
perencanaan ekonomi, pemerintah membangun infrastruktur dan memberi- kan
insentif guna mempercepat tumbuhnya perusahaan-perusahaan swasta di Taiwan.
Pemerintah
menyusun program investasi, memberikan pinjaman bunga rendah, membangun
zona-zona industri, zona pemrosesan ekspor, dan taman industri berbasis
sains.
Menurut
Li, ada dua peran yang dapat diambil pemerintah untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi: mendukung perusahaan-perusahaan Taiwan dalam persaingan
global dan memilih bidang-bidang produksi yang diprioritaskan.
Pelaksanaan strategi
Industri
elektronika setelah Perang Dunia II didahului oleh penemuan bahan
semikondutor. Dengan semikonduktor, tabung dapat digantikan oleh transistor
yang ukuran ataupun dayanya jauh lebih kecil.
Taiwan
mengembangkan rantai fabrikasi mikro-elektronik dari hulu ke hilir dengan
memulai industri perakitan dalam tahun-tahun pertama dasawarsa 1960-an.
Pada
1973, sebagai Menteri Keuangan, Li membentuk Organisasi Penelitian yang
disebut Industrial Technology Research Institute (ITRI), lembaga swasta
nirlaba dengan misi melaksanakan penelitian dan pengembangan untuk memajukan
perkembangan industri mikro-elektronika khususnya perancangan produk;
melayani industri swasta untuk pengujian, pengembangan produk, serta
pelatihan; dan menciptakan peluang-peluang dengan menggunakan hak cipta atau
lisensi.
Menjelang
akhir 1970-an, seorang insinyur Taiwan, Yang Ding-Yuan, membawa sekitar 20
insinyur muda dari Taiwan untuk mengikuti pelatihan ke RCA, salah satu
perusahaan mikroelektronika terkemuka di AS. Sekembali dari AS pada l974,
Yang dengan para insinyur terlatih itu membentuk Electronic Research and
Service Organization (ERSO), bagian dari ITRI dengan tugas mengawasi
pengembangan industri semikonduktor sekaligus menyediakan teknologi dan
sumber daya manusianya.
Pada
1975, dibentuklah kemitraan antara ITRI/ERSO dan RCA untuk membuat fasilitas
percontohan pabrik yang lisensinya dibeli dari RCA.
Dari
sini ITRI/ERSO membentuk pabrik IC pertama di Taiwan yang dinamakan UMC
(United Microelectronic Corporation). Ini berlanjut dengan pabrik IC kedua
pada 1987 yang merupakan usaha patungan dengan perusahaan Perancis dan
perusahaan elektronika Philips, Belanda. Pabrik-pabrik ini mampu membuat
transistor dengan ukuran kurang dari satu mikron.
Rantai
industri mikro-elektronika di Taiwan diselesaikan pada 1989 dengan
pembentukan Taiwan Mask Company (TMC) dan Vanguard International
Semiconductors (VIS) yang dibangun oleh Yang Ding Yuan.
TMC
memproduksi alat bantu untuk membuat IC di atas wafer, sedangkan VIS mampu
membuatwafer dan IC untuk memori komputer. Dengan demikian, pada 1997 Taiwan
dapat meraup 38,7 persen pasaran PC notebook dan 8,9 persen pasaran desk-top
PC. GDP naik mencapai 12.000-an dollar AS. Prestasi ini dicapai dalam 24
tahun!
Peran riset
ITRI
berperan penting menciptakan industri dengan perancangan yang cermat dalam
alih teknologi. Untuk mempercepat komersialisasi produk perusahaan dan
mengurangi risiko, pemerintah menanggung biaya penelitian bersama perusahaan
swasta.
Pada
dasawarsa 1950-an, kebanyakan ekonom berpendapat bahwa iptek hanya memegang
peran pinggiran dalam pertumbuhan ekonomi. Hanya Joseph Schumpeter, ekonom
dari Universitas Harvard, yang berpendapat lain.
Chistopher
Freeman meneruskan penelitian Schumpeter di National Institute of Economics
and Social Research, Universitas Sussex, dalam kurun 1959–1966. Ketika ia
mempelajari pertumbuhan litbang di perusahaan kimia dan elektronika pada
masa-masa setelah Perang Dunia II, Freeman menyadari bahwa kemajuan ekonomi
dipicu oleh inovasi.
Freeman
melontarkan konsep sistem inovasi nasional: lembaga penelitian pemerintah,
perguruan tinggi negeri ataupun perguruan tinggi swasta, masing-masing
ataupun secara kolektif menyumbangkan pengembangan dan penyebarluasan iptek.
Pola sistem inovasi nasional inilah yang meningkatkan daya saing global
Taiwan.
Untuk
merealisasikan keajaiban ekonomi di Indonesia, kiranya perlu sistem inovasi
nasional yang tangguh.
Agar
upaya itu berkesinambungan, lembaga semacam ITRI bisa didirikan sebagai
lembaga swasta agar tidak bergantung pada kabinet yang sedang memerintah.
Tentu dukungan dana pemerintah tetap diperlukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar