Senin, 22 September 2014

Seni Kritik Seorang Kartunis

Seni Kritik Seorang Kartunis

Seno Gumira Ajidarma  ;   Wartawan Tempo
KOMPAS, 21 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

ANGIN Melbourne bersuhu 15 derajat celsius sedang bertiup kencang pada pagi 18 September lalu, ketika Ucok, Direktur Galeri Soemardja Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berambut setengah gimbal, menyampaikan berita itu, ”Mas, sudah tahu Mas Pri meninggal dunia kemarin?”

Tentu saya terenyak. Sembari melangkah di trotoar yang mulai penuh dengan manusia, yang seperti merasa bersalah kalau tidak berjalan cepat, hadir kembali sosok Priyanto Sunarto, sang kartunis, yang tahun-tahun terakhir hidupnya bahkan begitu sulit hanya untuk berjalan dari meter ke meter. Kartunis mingguan berita Tempo yang juga mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Departemen Seni Rupa ITB itu didera berbagai komplikasi akibat penyakit diabetes, yang membuat segenap kegiatannya harus didukung kruk, dengan kondisi yang membuat setiap inci geraknya bagai merupakan usaha berat.

Tidak diragukan bahwa sebagai kartunis (istilah yang lebih tepat daripada karikaturis yang salah kaprah) Priyanto yang menandatangani kartunnya sebagai PRIS lebih dari layak untuk dicatat, dan hal itu akan semakin terbukti pada masa depan. Namun, adalah pencapaiannya sebagai manusia yang bagi saya menggetarkan, karena tampak dengan jelas sikap dan perjuangannya untuk tidak perlu menyerah meskipun dirasakannya betapa penyakit yang akan mengakhiri daya hidup tubuhnya itu merayap dengan kepastian.

Tiga aspek kartun Pri-S

Pencapaian semacam itu, jika menengok kembali kartun-kartunnya yang disebut—entah oleh dirinya, entah oleh Tempo—sebagai ”kartun opini”, tampak merupakan konsekuensi belaka dari sikapnya yang juga keras terhadap ketidakwajaran dunia di sekitarnya. Menggunakan tolok ukur semasa Orde Baru, ketika sikap kritis terhadap penguasa merupakan barang langka, meskipun dalam kerangka humor, kartun Priyanto tetap saja tergolong bernyali karena kerasnya kritik yang mendekati ”kurang ajar”—yang pada masa penuh eufemisme itu bisa terkesan vulgar. Mendekati 17 tahun setelah Reformasi 1998, ketika gugatan bisa tampil secara barbar, kartun Priyanto semasa Orde Baru terasa eksotik, bukan sekadar karena sosok dan atmosfer yang ”Indonesiawi”, tetapi juga terjejaki bagaimana kartun-kartunnya sungguh merupakan seni kritik.

Dalam diskusi pada pameran ”Politik Gambar Dua Empu: Priyanto S Prinka”, 13 Desember 2013, di Taman Ismail Marzuki, bersama Goenawan Mohamad dan Bambang Bujono, saya mencatat terdapatnya tiga aspek dalam kartun Priyanto semasa Orde Baru, dari 1977 sampai 1994, seperti yang terdapat dalam buku Opini Pri-S (2009).

Pertama, di luar kebiasaan para kartunis di Indonesia yang mengandalkan sosok seorang tokoh untuk berkomentar, Priyanto menjadikan ”rakyat” alias banyak sosok sebagai tokoh kartun yang kolektif. Saya pernah membaca bahwa tokoh kartun politisnya bernama Sartempe, tetapi setidaknya dalam buku tersebut nama itu tak sampai saya ingat, dan menonjolnya satu saja sosok dibanding yang lain tidak terjadi. Maka, berbeda dengan tokoh kartun tunggal yang sebagai komentator di luar peristiwa bisa berada ”di atas angin”, sosok-sosok kolektif ini berada di dalam peristiwa atau kasus yang diberi komentar, dan karena itu lebih sering menjadi bagian dari korban.

Kedua, bahwa kasus-kasus fantastis alias tidak masuk akal maupun di luar nalar, yang merupakan kejadian sehari-hari selama Orde Baru, tergambarkan dalam gambar-gambar yang juga fantastis. Sekadar deskripsi: untuk menggambarkan Sidang Umum MPR 1988 yang tidak akan mengubah apa pun, terlihat gambar mulut-mulut menganga beterbangan di udara; dalam teater absurd permudikan Lebaran 1989, hanya tangan-tangan di dalam kereta api, bus, mobil, maupun di udara memenuhi bidang gambar untuk bersalaman; hanya satu wajah raksasa menonton lakon Opera Kecoa karya Teater Koma pada 1990 yang dilarang main.

Ketiga, kartun Priyanto sungguh berfungsi sebagai rekaman sejarah Orde Baru. Dari minggu ke minggu segala kejadian yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah maupun peristiwa yang berlangsung di antara khalayak jelata hadir dalam sudut pandang terjelas, yang meski bukan merupakan sudut pandang sejarawan, tidak bisa ditolak kesahihannya sebagai penggambaran situasi Orde Baru. Determinasi kekuasaan yang dengan segala daya berusaha hadir secara absolut, sedikit banyak berdampak kepada perilaku khalayak yang belum berani melawan, yang dalam kacamata seorang kartunis sungguh begitu layak—dengan penuh keprihatinan—untuk ditertawakan.

Kartun eksotik dan seni kritik

Saya tidak merasa telah melakukan kajian yang pantas atas karya Priyanto, tetapi dapat saya katakan bahwa kesan atas terdapatnya identitas ”keindonesiaan” yang dicapai Priyanto boleh dibenarkan. Saya sendiri tidak akan pernah bisa mengatakan di sebelah mana ”Indonesianya” sebuah coretan dan apakah identitas itu memang bisa dibatasi sebagai ”Indonesia” saja dan bukan yang lain. Namun, kartun Priyanto secara visual memang bisa dipisahkan dari banyak kartun: bergaya kasar dan tidak berpretensi canggih, bagai keluguan seni rakyat kelas bawah—dan karena itulah saya sebut eksotik.

Sedangkan keberadaannya sebagai seni kritik juga hanya bisa saya jabarkan dengan terbatas, antara lain karena dengan segala keterusterangan dan sifat ”tabrak langsungnya” (menyindir secara halus bukanlah gaya Priyanto), gambar-gambar kartunnya tetap berhasil sebagai humor yang cemerlang—dan itulah syarat utama untuk disebut kartun, yang paling politis sekalipun. Tentu boleh dicatat bahwa Priyanto sendiri sempat berpindah posisi sebagai peneliti kartun, yang kemudian menjadi disertasi S-3 pada tahun 2005, ”Metafora Visual Kartun Editorial pada Surat Kabar 1950-1957”, yang agak keterlaluan jika tidak cepat-cepat diterbitkan sebagai buku.

Ketika untuk pertama kalinya—dan ternyata tak pernah lagi—sama-sama menjadi pembicara pada suatu forum tentang komik dan kartun, dengan keheranan yang sungguh jujur Priyanto Sunarto bertanya kepada saya, ”Kok, kamu jadinya kayak orang seni rupa, sih?” Saat itu saya hanya tersenyum, tetapi beliau mungkin tak menyadari bahwa bagi saya sebagai orang yang tidak mampu menggambar, pertanyaannya itu telah menjadi pernyataan yang berarti.

Burung-burung beterbangan di atas Sungai Yarra ketika saya teringat semua hal yang berhubungan dengan sang kartunis. Terima kasih banyak Mas Pri, dan selamat jalan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar