Rezim
Gamang, Polisi Galau
Hermawan Sulistyo ;
Profesor
Riset LIPI
|
KOMPAS,
12 September 2014
Pergantian
rezim politik ditandai dengan perubahan arsitektur pemerintahan, plus SDM
yang mengawaki arsitektur baru. Biasanya hiruk-pikuk politik memang seputar
SDM di dalam arsitektur baru itu. Karena itu, transisi jelang mesin
pemerintahan Jokowi-JK berjalan lebih banyak dipenuhi berita mengenai kabinet
baru.
Wacana
publik tampaknya kurang diisi oleh dua domain pemerintahan yang nonkabinet,
yaitu menyangkut sektor pertahanan dan keamanan. Untuk sektor pertahanan,
agaknya TNI tidak akan banyak berubah. Usul lama mengenai transformasi
Panglima TNI menjadi Kepala Staf Gabungan hanya menjadi wacana jangka
panjang.
Lain
halnya dengan Polri. Jika sektor pertahanan memiliki analis (”pengamat
militer”) yang jumlahnya belasan sehingga memadai sebagai counterparts TNI, Polri sangat
kekurangan analis seperti itu. Akibatnya, rezim baru gamang melakukan
perubahan karena tak punya basic
knowledge tentang domain kepolisian.
Misalnya,
kurangnya pengetahuan publik mengenai status Polri sebagai institusi sipil,
dan polisi adalah pegawai negeri sipil dengan status khusus. Akibatnya,
publik masih selalu membuat perbandingan Polri dengan TNI. Padahal, dengan
status sipil ini, perspektif perbandingan dengan militer dalam manajemen
pemerintahan sudah tidak relevan lagi. Polisi sendiri masih gamang dengan
status yang baru disandang selama satu setengah dekade terakhir ini.
Contohnya,
apakah dalam urusan SDM polisi masih mengacu pada UU No
2/2002 tentang Polri atau UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Jika
mengacu pada UU Polri, usia pensiun 58 tahun. Namun, jika mengacu pada
Aparatur Sipil Negara, pensiun pada umur 60. Kapolri Jenderal Pol Sutarman agaknya tidak
mau berpolemik karena takut dikira ingin memperpanjang masa dinasnya. Namun,
kegamangan ini tidak boleh dibiarkan berlarut.
Isu
kedua menyangkut kedudukan Polri
dalam tata pemerintahan. Banyak proposal
supaya Polri tidak lagi berada langsung di bawah Presiden seperti sekarang.
Yang luput dari kritik terhadap kedudukan Polri di bawah Presiden adalah
filosofi dari tugas dan fungsi polisi. Secara
konstitusional ataupun hasil konsensus politik,
Polri menyandang tugas dan fungsi sebagai ”penegak
hukum” sekaligus ”pelayan
masyarakat”.
Fungsi
pertama menempatkan Polri sebagai instrumen negara di bawah cabang kekuasaan
yudikatif dalam tata negara demokratis. Adapun fungsi kedua meniscayakan
Polri sebagai instrumen pelayanan publik di bawah cabang kekuasaan eksekutif.
Jadi, pada yang pertama Polri menginduk ke Presiden sebagai kepala negara,
sedangkan pada yang kedua Polri menginduk pada Presiden sebagai kepala
pemerintahan.
Isu-isu
ikutan dari kurangnya pengetahuan publik mengenai status dan kedudukan Polri
membuat penataan arsitektur kepolisian seperti memasuki labirin. Secara
kebetulan, dalam minggu-minggu terakhir Agustus dan awal September, Polri
melakukan mutasi sejumlah pos strategis, termasuk 16 perwira tinggi yang
bergeser posisi.
Mutasi
itu seolah menjawab tantangan dan kegamangan rezim serta publik. Yang promosi
adalah generasi baru Polri. Saat ini, pimpinan Polri diisi banyak perwira
generasi Akademi Kepolisian (Akpol) 85, termasuk Kapolda Metro Jaya yang
baru. Namun, sebagian angkatan yang lebih senior juga mendapat promosi
strategis, seperti Irwasum (Akpol 82), Asisten SDM (Akpol 82), Kapolda
Sulawesi Selatan (Akpol 83), dan Kapolda Jawa Timur (Akpol 84). Sebagian dari
mereka penyandang Adhi Makayasa atau lulusan terbaik Akpol.
Angin segar
Naiknya
generasi 85 ke bawah ditandai pendidikan umum yang lebih baik. Kini tidak ada
perwira tinggi pejabat Mabes Polri yang hanya S-1. Bahkan ada yang menyandang
S-3 dari universitas terkemuka, termasuk luar negeri. Kasus Asrena (Akpol 87)
fenomenal karena kariernya melesat cepat, antara lain ditunjang latar
belakang S-2 dari Inggris dan S-3 dari NTU Singapura.
Sama
halnya, hampir tidak ada pimpinan Polri yang tidak mengalami pendidikan dan
pelatihan profesi di luar negeri. Umumnya mereka belajar reserse kriminal di
BKA Jerman, community policing di
NPA Jepang, lalu lintas di Breda Belanda, dan lain-lain.
Gerbong
mutasi kali ini lebih baik karena merestrukturisasi jarak cohort perwira tinggi paling senior
dan yunior. Sebelum ini, setiap telegram Kapolri (berisi keputusan mutasi)
pada level perwira tinggi sering menimbulkan kekecewaan internal karena
selalu ada yang nyodok ke atas, padahal penilaian peer buruk. Restrukturisasi
cohort memberi kesempatan ”urut
kacang” bagi senioren yang memang
cakap. Regenerasi angkatan pun tertata.
Namun,
pada saat yang sama, Polri didera problem klasik di sektor kultur. Kasus demi
kasus muncul sehingga menurunkan kepercayaan publik, yang menurut grand
strategy Polri seharusnya sudah selesai pada tahun ini. Nyatanya, kepercayaan
publik masih kedodoran. Apalagi saat muncul kasus-kasus seperti perwira Polda
Kalimantan Barat yang ditangkap polisi Malaysia.
Dengan
demikian, mutasi kali ini, selain membawa angin segar dan harapan baru akan
kinerja Polri yang lebih baik, sekaligus juga menimbulkan curiosity dan waswas. Apakah generasi baru
Polri ini bisa membuktikan korelasi positif antara pendidikan yang semakin
tinggi dan profesionalisme yang membaik?
Jika jawabannya positif, apakah gerbong baru di bawah nakhoda yang
sama (Jenderal Pol Sutarman) ini bisa membuktikan bahwa kasus perwira makan
rekening judi online, terlibat narkoba, dan seterusnya, hanyalah casus belli sehingga tidak bisa
dipakai sebagai landasan pengambilan keputusan jangka panjang?
Tanpa
bukti nyata melalui kinerja pimpinan Polri generasi baru, rezim Jokowi-JK
akan misleading di dalam labirin
yang sama. Jangan-jangan karena ada perwira yang main narkoba dan doyan duit
judi online, diambil keputusan strategis menempatkan Polri di bawah
Kementerian Dalam Negeri, atau malah disetarakan dengan satpol PP dan
pramuka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar