Radikalisme,
Demokrasi, dan Pancasila
Masdar Hilmy ;
Pengajar
Program Doktor di UIN Sunan Ampel
|
KOMPAS,
12 September 2014
Pada
seminar di UIN Sunan Ampel, Surabaya, 12 Agustus lalu, soal ”ISIS, Khilafah,
dan NKRI”, muncul pertanyaan menggelitik dari seorang peserta. ”Atas dasar apa ISIS dilarang di Indonesia? Jika
pelarangannya atas dasar ideologi khilafah-nya, mengapa ormas lain dengan
paham serupa tidak dilarang?”
Pertanyaan
sederhana itu mengentak kesadaran saya tentang rancang-bangun kehidupan
beragama di negeri ini yang belum sempurna. Ia menyiratkan sebuah kompleksitas penanganan kehidupan beragama di
Tanah Air
yaitu sejauh mana demokrasi dan konstitusionalisme
mendefinisikan batas boleh-tidaknya sebuah paham keagamaan. Inilah salah satu
pekerjaan sekaligus tantangan terberat Jokowi-JK.
Bahwa
kebebasan beragama telah dijamin konstitusi (UUD 1945, Pasal 28 dan 29) sudah
jamak dimaklumi. Kebebasan beragama juga hak dasar warga negara yang tak bisa
ditangguhkan negara dalam situasi dan kondisi apa pun. Namun, bukan tempatnya
kita beradu argumen di sini tentang legalitas atau jaminan konstitusional
kebebasan beragama karena hal demikian sudah dianggap final. Yang hendak
dipersoalkan adalah bagaimana kelompok radikal, baik yang klandestin maupun
yang terang-terangan, memanfaatkan isu kebebasan beragama untuk
menjustifikasi ideologi mereka.
Demikian
juga dengan demokrasi. Memang demokrasi berarti meruangkan perbedaan,
memberikan jaminan hidup bagi siapa pun—termasuk ”musuh” kita— untuk meyakini
dan menjalankan keyakinan agamanya tanpa paksaan dan intervensi negara.
Demokrasi, di mana pun tempatnya dan dalam konteks apa pun, pasti menjamin
terciptanya kebebasan beragama bagi setiap warga negara. Persoalannya,
argumentasi demokrasi juga telah dibajak kelompok radikal mempertahankan
eksistensi mereka.
Pemanfaatan
isu HAM dan demokrasi oleh sekelompok orang yang hendak menahbiskan paham
keagamaan yang absolutis, totaliter, dan nihilistik jadi persoalan global di
banyak negara (Roger W Stamp,
Fundamentalism, Democracy and the Contesting of Meaning, 2004; 185).
Intinya, gagasan tentang kebebasan beragama yang diusung HAM dan demokrasi hendak
dijadikan bumper untuk mempertahankan gagasan ketakbebasan beragama
sebagaimana diusung kelompok radikal.
Yang
lebih muskil lagi adalah sikap mereka terhadap Pancasila. Mereka mungkin tak
berani menentang Pancasila secara terbuka. Namun, kebanyakan mereka
menganggap Pancasila sama dan sejajar dengan HAM dan demokrasi, ideologi
ciptaan manusia yang tak pantas dipertuhankan. Mereka menganggap ketiganya
sebagai toghut, hasil olah pikiran manusia yang jadi sesembahan. Cepat/lambat
mereka berniat menggulingkan dan menggantikannya dengan hukum Tuhan.
Dari
sini lahir tesis ”jebakan demokrasi” di kalangan ilmuwan sosial: kelompok
radikal memanfaatkan demokrasi dan HAM untuk membunuh keduanya. Di negeri ini
sejumlah ormas menggunakan argumentasi HAM dan demokrasi guna menjustifikasi
ideologi dan paham keagamaan mereka, padahal sangat lantang dan eksplisit
menentang keduanya.
Negara lemah?
Menggunakan
argumentasi HAM dan demokrasi untuk mempertahankan ideologi dan paham
radikalisme tentu tindakan salah kamar. Namun, negara tak punya kapasitas
mengerangkeng, terlebih memberangus, segala bentuk paham dan pikiran setiap
warganya, betapapun ekstrem pikiran itu. Apa pun alasannya, sepanjang
ideologi semacam ini hanya bersemayam di otak manusia, negara tak bisa mengintervensi
dan mengubahnya.
Ada
sebuah teori yang mengatakan bahwa kemunculan radikalisme selalu dilatari
kondisi negara yang lemah. Kemunculan fenomena radikalisme di Indonesia,
misalnya, jauh lebih intens ketimbang di Malaysia. Menurut teori ini, Malaysia
lebih kuat ketimbang Indonesia. Dengan Internal Security Act, kelompok garis
keras tak berkutik di Malaysia. Sebagian bahkan melarikan diri ke Indonesia.
Di
masa Orde Baru, Indonesia pernah memiliki UU Antisubversi yang bisa
menggulung siapa pun, termasuk kelompok garis keras, yang dipersepsi hendak
melawan negara. Mereka mudah dituduh makar ketika terdapat indikasi melawan
negara. Karena UU ini sering diselewengkan rezim berkuasa, keberadaannya
dicabut seiring tumbangnya Orba.
Di
negara demokrasi, keberadaan perangkat perundang-undangan yang bertujuan
membungkam ideologi dan pikiran yang dipersepsi makar debatable karena
pembungkaman pikiran berimplikasi pada indeks kebebasan sebagai prasyarat
wajib demokrasi. Atas nama stabilitas, negara sering represif terhadap
kebebasan beragama dan berekspresi warganya. Dalam konteks ini, Malaysia jadi
eksemplar betapa negara dapat mengintervensi kehidupan beragama dengan
argumentasi stabilitas.
Perlakuan
terhadap kelompok garis keras di negeri ini memang jauh berbeda dengan
Malaysia. Diskursus anti demokrasi, HAM, dan Pancasila bebas berseliweran di
ruang publik. Tak jarang gagasan khilafah mampu menawan sejumlah ilmuwan dan
akademisi kampus hingga mereka jadi pendukung dan pengusung gagasan khilafah.
Padahal, gagasan khilafah ujung-ujungnya akan menihilkan demokrasi dan
Pancasila.
Merespons
pertanyaan di awal tulisan ini, negara harus memformulasikan ratio-legis yang
tepat dan adekuat tentang segala bentuk pelarangan ideologi dan paham
keagamaan tertentu; atas dasar apa paham keagamaan tertentu dilarang atau tak
dilarang? Pelarangan terhadap ideologi dan paham keagamaan tertentu jangan
terkesan dipaksakan dan tebang pilih. Merupakan argumentasi yang tidak bisa
dibenarkan jika alasan pelarangan terhadap NIIS/ISIS ialah kekerasan yang
dilakukannya, sementara gerakan lain dengan paham serupa tak dilarang
sekalipun dilakukan secara damai.
Kita
pernah punya UU Antisubversi. Biarlah ia bagian masa lalu yang tak perlu
diratapi. Tiada urgensi menghidupkannya kembali karena rawan diselewengkan
pihak tertentu yang tak bertanggung jawab. Yang dibutuhkan adalah peraturan
perundang-undangan yang mengatur ”ketidakbebasan” warga negara
menyebarluaskan, mengampanyekan, mengajak orang lain, untuk bersama-sama
memusuhi dan atau hendak menggulingkan salah satu dari Pancasila, UUD 1945,
NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar