Revolusi
Mental dalam Pendidikan
(Tulisan ini bertolak dari tulisan berjudul “Mengartikan
Revolusi Mental” oleh
Karlina Supelli,
serta pengalaman baru penulis di dunia pendidikan)
Anastasia Jessica Adinda S ; Alumnus Program Magister, Fakultas Filsafat, UGM;
Pengajar pada Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya |
INDOPROGRESS,
11 September 2014
Mental
dalam tulisan Mengartikan Revolusi
Mental diartikan sebagai “nama bagi genangan segala sesuatu menyangkut
cara hidup”. Mental tidak dipisahkan dari hal-hal material. Mental pelaku dan
struktur sosial dilihat berhubungan secara integral, tidak bisa dipisahkan
satu sama lain. Mental pelaku dan struktur sosial dijembatani dengan memahami
‘kebudayaan’ (culture). Corak praktik, sistem ekonomi dan sistem politik
merupakan ungkapan kebudayaan. Cara berpikir, merasa dan bertindak (budaya)
dibentuk oleh sistem dan praktik habitual ekonomi politik. Dengan kata lain,
‘tidak ada ekonomi dan politik tanpa kebudayaan dan sebaliknya tak ada
kebudayaan tanpa ekonomi dan politik‘. Pemisahan keduanya hanya digunakan
untuk kepentingan analitik.
Kebudayaan
selain merupakan pola kebiasaan, juga merupakan pandangan tentang dunia atau
dalam kalimat yang digunakan oleh Karlina Supelli, “kebudayaan juga punya
lapis makna yang berisi cara masyarakat menafsirkan diri, nilai dan
tujuan-tujuan serta cara mengevaluasinya.” Di samping itu, kebudayaan juga
punya lapis fisik/material yang berupa karya cipta manusia. Dalam praktek
sehari-hari antara budaya sebagai pola kebiasaan, pandangan dunia dan lapis
fisik, tidak terpisah secara tajam. Sebagai contoh, selera dan hasrat
seseorang terbentuk dari kebiasaan yang diperoleh dari struktur lingkungan.
Kekeliruan dalam memandang hubungan integral antara struktur, kebudayaan dan
pelaku akan melahirkan pendekatan serta anggapan yang keliru juga dalam
menyelesaikan masalah. Misalnya, muncul pernyataan publik “pendekatan ekonomi
dan politik sudah gagal, diperlukan jalan kebudayaan” atau “masalah
kemiskinan dan korupsi ialah perkara moral bangsa –kalau moral berubah,
selesailah masalah!”
Revolusi
mental melibatkan semacam strategi kebudayaan. Hal yang dibidik oleh revolusi
mental adalah transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas
yang meliputi cara berpikir, cara merasa, cara mempercayai yang semuanya ini
menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari.
Pendidikan
formal melalui sekolah dapat menjadi lokus untuk memulai revolusi mental ini.
pendidikan diarahkan pada pembentukan etos warga negara (citizenship). Proses pedagogis membuat etos warga negara ini
‘menubuh’8 atau dapat menjadi tindakan sehari-hari. Cara mendidik perlu
diarahkan dari pengetahuan diskursif (discursive
knowlegde) ke pengetahuan praktis (practical
knowledge). Artinya, membentuk etos bukanlah pembicaraan teori-teori
etika yang abstrak, tetapi bagaimana membuat teori-teori tersebut memengaruhi
tindakan sehari-hari. Pendidikan diarahkan menuju transformasi di tataran
kebiasaan. Pendidikan mengajarkan keutaamaan (virtue) yang merupakan pengetahuan praktis. Revolusi mental
membuat kejujuran dan keutaamaan yang lain menjadi suatu disposisi batin
ketika siswa berhadapan dengan situasi konkret.
Pendidikan
di sekolah hanya salah satu kantung perubahan saja. Revolusi mental yang
menjadi gerakan berskala nasional perlu dilakukan di setiap kelompok-kelompok
di kehidupan sehari-hari. “transformasi sejati terjadi dalam kesetiaan
bergerak dan menggerakkan perubahan dalam hal-hal yang rutin.”
Sejenak
Mengingat dan Mengevaluasi
Berdasar
pada pengertian revolusi mental yang diberikan oleh Karlina Supelli tersebut,
penulis mencatat beberapa hal dalam pendidikan yang perlu diperbaiki
berkenaan dengan revolusi mental ini, yaitu:
1. ‘menghafal’ adalah
Kunci Kesuksesan
Bagi
peserta didik ‘menghafal’ adalah ritual yang harus dilakukan menjelang ujian.
Dengan menghafal, maka pertanyaan dalam ujian akan dapat terjawab dengan baik
sehingga akhirnya mendapat nilai yang memuaskan. Memang tidak ada yang salah
dengan menghafal. Bahkan, ilmu pengetahuan tidak akan lahir tanpa usaha
menghafal dan mencatat suatu peristiwa alam atau sosial. ‘Menghafal’ menjadi
masalah apabila dilakukan tanpa mengetahui konsep yang sesungguhnya. Peserta
didik hanya menghafal rentetan kata dan kalimat tanpa tahu makna yang
sesungguhnya. Seorang mahasiswa yang mengikuti mata kuliah filsafat manusia,
misalnya, dapat saja menghafal definisi dimensi-dimensi dalam filsafat
manusia tanpa memahami maknanya. Dalam kehidupan sehari-hari ia tetap
memandang manusia secara parsial saja, sebagai penghasil uang, dengan
melupakan dimensi sosial manusia.
Bagaimana
merevolusi mental ‘ritual menghafal’ ini? Perlu ada perbaikan dalam metode
mendidik. Pendidikan dalam usaha revolusi mental berusaha ‘menubuhkan’
ajaran-ajaran yang diperoleh di sekolah agar sungguh dapat diterapkan dalam
praktek hidup. Pendidik perlu memberikan banyak contoh yang relevan, analisis
kasus, serta percobaan-percobaan di kelas. Contoh yang relevan, analisis
kasus dan percobaan membantu peserta didik untuk mendapatkan kunci-kunci
penting pemahaman tanpa kehilangan basis pada realitas. Pendidik seringkali
melupakan metode-metode memberikan praktek yang mengajak peserta didik
berpikir, sebab pendidik harus memenuhi tuntutan target materi yang harus
tersampaikan dalam pertemuan itu.
2. Nilai Ujian dan
Ijazah adalah Inti dari Seluruh Proses Pendidikan
Masyarakat
yang memandang ijazah sebagai tujuan pokok dari seluruh proses pendidikan
kehilangan makna dari pendidikan itu sendiri. Bersekolah, bagi masyarakat
yang demikian, adalah usaha untuk mendapatkan ijazah. Agar mendapatkan ijazah
dengan keterangan yang memuaskan, nilai-nilai ujian perlu digenjot. Ijazah
menjadi golden ticket untuk meneruskan perjuangan hidup berikutnya. Ijazah
digunakan untuk melamar pekerjaan dan mendapatkan jabatan sehingga
kesejahteraan hidup pun terjamin. Apa bahaya dari pandangan yang terlalu
‘gila ijazah’ ini?
Pendidikan,
dalam masyarakat yang demikian, tidak lagi merupakan usaha untuk membuat
manusia yang sungguh menjadi manusia. Nilai ujian dan ijazah dikejar demi
nilai ujian itu sendiri. Nilai ujian dan ijazah bukan lagi menandakan
kualitas dari peserta didik. Pendidik dan peserta didik sama-sama dituntut
untuk menjalani pendidikan sekedar sebagai formalitas untuk memperoleh nilai
yang baik, lalu segera lulus dan mendapatkan ijazah. Dosen yang membutuhkan
waktu lama untuk membimbing satu skripsi, misalnya, tidak jarang dianggap
terlalu kolot dan didesak segera meluluskan mahasiswa tersebut dengan
kemampuan yang seadanya.
Revolusi
terhadap mental ‘gila ijazah’ ini memang tidak mudah sebab perbaikan tidak
hanya melibatkan sistem pendidikan melainkan juga sistem ekonomi dan politik.
Sistem penilaian dalam pendidikan perlu dibuat agar tidak terlalu
mementingkan kuantitas. Lapangan pekerjaan juga perlu diperluas agar orang
tidak khawatir akan kesempatan yang ia dapatkan untuk mengembangkan diri di
suatu lapangan pekerjaan tertentu. Dengan demikian, pendidikan yang ia jalani
juga sungguh berkualitas.
3. Standarisasi nilai
melalui Ujian Akhir Nasional
Ujian
Akhir Nasional (UAN) yang selama ini dilakukan menuai banyak kritik. UAN
dilakukan dengan alasan standarisasi kemampuan pelajar di seluruh Indonesia.
Pelaksanaan UAN memiliki asumsi dasar bahwa peserta didik berangkat dari
modal yang sama sehingga dapat mencapai standar kemampuan akademis tertentu
yang sama. Kenyataannya, peserta didik tidak memiliki modal yang sama. Mereka
memiliki modal pengetahuan, budaya, kualitas sekolah dan lingkungan
masyarakat yang berbeda. UAN sebagai standarisasi kemampuan akademis tidak
lagi relevan mengingat modal yang berbeda ini. Peserta didik di Jakarta tidak
memiliki latar belakang budaya, kualitas sekolah dan lingkungan serta
kebutuhan yang sama dengan peserta didik di makassar, sehingga standarisasi
pun tak dapat dilakukan. Syarat suatu perbandingan dapat dilakukan ialah
hal-hal yang diperbandingkan memiliki prinsip yang sama. Apabila tidak
memiliki prinsip yang sama maka terjadilah incommensurability.
4. Pendidik menjadi
Sekadar Memenuhi Formalitas Mengajar karena Tekanan Sistem
Pendidik
dalam menjalankan aktivitas mendidik tidak hanya berurusan dengan peserta
didik dan materi yang ingin disampaikan. Pendidik juga disibukkan dengan borang-borang rencana pembelajaran dan
target materi yang harus tersampaikan. Target ini tentu berkaitan juga dengan
UAN. Apabila target materi tidak terpenuhi maka peserta didik terancam tidak
lulus UAN. Apabila ada siswa yang tidak lulus UAN, maka nama baik sekolah pun
akan tercemar.
‘Sekadar
memenuhi formalitas’ tidak hanya menjangkiti guru di sekolah tetapi juga para
dosen di perguruan tinggi. Berulang kali jenis borang rencana pembelajaran
berubah. Perubahan yang terjadi dalam kurun waktu satu setengah tahun ini
ialah dari Silabus dan SAP (Satuan Acara Perkuliahan) ke RPKPS (Rencana
Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester) lalu kini ke RPS (Rencana
Pembelajaran Semester). Dosen harus selalu menyesuaikan diri dengan perubahan
borang ini. Belum lagi ditambah sistem yang harus dipenuhi sebagai dosen yang
memiliki NIDN (Nomer Induk Dosen Nasional) begitu banyak dan rumit. Akhirnya
dosen lebih lancar sebagai pengelola administrasi ‘ke-dosen-an’ daripada
sebagai seorang pendidik.
5. Orang Miskin
Dilarang Sekolah
Bayangkan
berapa uang yang harus dikeluarkan untuk menyekolahkan anak dari pendidikan
usia dini hingga perguruan tinggi. Puluhan bahkan ratusan juta rupiah biaya
yang dibutuhkan untuk mendukung pendidikan seorang anak. Biaya ini tidak
masuk akal bagi orang tua yang memiliki pendapatan tidak lebih dari satu
setengah juta rupiah per bulan, bahkan untuk yang berpenghasilan tiga juta
rupiah sekalipun. Tidak masuk akalnya biaya untuk pendidikan, membuat banyak
anak harus putus sekolah. Revolusi Mental dalam pendidikan perlu didukung
kebijakan politik dan ekonomi serta mekanisme agar pendidikan akhirnya dapat
diakses siapa saja di seluruh pelosok negeri ini. Apabila kartu indonesia
pintar jadi diterapkan,maka mekanisme pembagian serta penggunaanya perlu dikawal
agar dapat berfungsi dan tepat sasaran.
6. Perbanyak Pelajaran
Agama agar Perilaku Menjadi Baik
Pemberlakuan
kurikulum 2013 mengundang kritik dari para pemerhati pendidikan. Kurikulum
2013 memiliki tujuan besar untuk mengubah moral peserta didik menjadi lebih
baik. Kekeliruan dimulai ketika penerapan kurikulum 2013 dilakukan dengan
memperbanyak ajaran agama. Anggapan bahwa ‘memperbanyak pelajaran agama dapat
mengubah perilaku menjadi baik’ berakar dari asumsi pembedaan yang tajam
antara budaya dalam bentuk yang immaterial (cara pikir, merasa) dan material
(tindakan, hasil karya cipta manusia). Tidak hanya pembedaan bahkan
stratifikasi. Unsur immaterial dianggap lebih tinggi daripada unsur material.
Penguasaan pelajaran agama dianggap pasti dapat mengubah perilaku peserta
didik.
Padahal
dalam kenyataan, penguasaan teoritik saja tidak menjamin nilai-nilai yang
dipelajari di sekolah menjadi cara berpikir dalam praktek hidup. Dalam
revolusi mental, perlu diupayakan perubahan asumsi dasar dalam memandang
budaya. Sebagaimana disarankan dalam tulisan Mengartikan Revolusi Mental,
unsur budaya sebagai pola kebiasaan, pandangan hidup dan lapisan fisik perlu
dilihat secara integral. Mengubah moral yang merupakan praktek hidup, perlu
pembaruan penafsiran kurikulum dan metode mendidik. Perubahan moral tidak
selalu datang dari pelajaran agama tetapi bisa juga dari pelajaran etika.
Tentu saja pelajaran etika yang dimaksud ialah pelajaran etika dengan
pembaruan dalam metode pengajaran, sehingga tidak terjebak lagi dalam
menghafal teori-teori etika.
7. Semarak Khotbah dan
Seminar yang Bertujuan Mengubah Moral
Melanjutkan
poin ke enam, perubahan moral juga tidak dapat terjadi dengan khotbah atau
seminar-seminar motivasi saja. Metode menyampaikan pelajaran etika dapat dilakukan
dengan cara bermain peran (role play).
Gaya mengajar bermain peran ini mendorong peserta didik untuk mendayagunakan
pikiran, perasaan dan serta tubuhnya dalam memahami suatu peristiwa yang
melibatkan penilaian etis. Tentu ini saja tidak cukup, untuk membuat nilai
etis benar-benar menjadi praktek hidup, kita perlu menjabarkan nilai dalam
poin-poin terapan. Nilai Persatuan Indonesia, misalnya, perlu dijabarkan
menjadi beberapa poin terapan misalnya sikap mengharagai keberagaman agama di
sekolah dan lingkungan sekitar rumah dan sikap menghormati logat
masing-masing teman yang berbeda daerah. Menjabarkan nilai dalam poin terapan
saja tidak cukup yang lebih berarti lagi ialah kesetiaan dalam melakukan
nilai tersebut setiap hari.
8. Pendidikan yang
Tidak Sadar Keberagaman
Sekolah-sekolah
berbasis pendidikan inklusif perlu terus diupayakan. Diskriminasi dalam
pendidikan formal tidak jarang dimulai dari institusi pendidikan itu sendiri.
Bentuk bangunan, cara mengajar dan atmosfer pergaulan perlu disesuaikan
dengan prinsip-prinsip pendidikan yang inklusif. Pendidikan inklusif terbuka
bagi semua peserta didik dari berbagai budaya dan termasuk bagi para difabel.
Tersedianya sarana dan atmosfer pembelajaran yang inklusif membuat peserta
didik belajar untuk menghargai perbedaan dan tidak bersikap rasis serta
fundamentalis ekstrem.
9. Pendidikan yang
Apolitis
Teori-teori
di sekolah yang terpisah dari praktek, membuat peserta didik tidak menyadari
bahwa ada masalah dalam kehidupan sehari-hari yang perlu diselesaikan.
Ilustrasi-ilustrasi dalam pelajaran di pendidikan formal tidak pernah
memantik keberanian sikap politis peserta didik. Peserta didik dibuat lupa
bahwa segala yang ia nikmati termasuk dapat mengenyam pendidikan di sekolah
merupakan hasil dari tindakan politis. Bahkan, harga nasi dan telur sarapan
mereka pun hasil dari tindakan politis. Pendidikan yang tidak pernah
menyentuh sisi politis melupakan bahwa “budaya tanpa sistem ekonomi dan
politis tidak mungkin, demikian juga sebaliknya”. Pendidikan juga demikian.
Pendidikan yang apolitis menjadi tidak relevan sebab pendidikan dan politik
saling mengandaikan satu sama lain, satu sama lain saling mempengaruhi.
10. Kurangnya
Kantung-Kantung Pendidikan di Lingkungan
Setiap
kelompok masyrakat perlu mengupayakan agar pendidikan tidak menjadi elitis.
Bagaimana caranya? Perlu diusahakan kelompok-kelompok pendidikan informal di
lingkungan tempat tinggal. Kelompok-kelompok belajar dan sanggar-sanggar
kesenian bagi anak-anak, yang bersifat tidak berbayar perlu diselenggarakan
agar pendidikan dapat dirasakan bagi siapa saja. Selama ini, sebenarnya
banyak pendidikan informal yang kreatif dengan metode pengajaran yang
mengembangkan potensi peserta didik, tetapi biaya untuk masuk ke tempat
pendidikan seperti itu juga tidak murah.
Akhirnya,
kesepuluh usaha
revolusi mental dalam pendidikan ini memerlukan usaha yang tahan dalam
“kesetiaan bergerak dan menggerakkan perubahan dalam hal-hal yang rutin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar