Pendidikan
dan Revolusi Mental
Arjuna Putra Aldino ;
Mahasiswa
Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta
|
INDOPROGRESS,
12 September 2014
DALAM
jajaran bangsa-bangsa di dunia saat ini, Indonesia masih tergolong ke dalam
kelompok negara Dunia Ketiga, atau tergolong ke dalam barisan negara
berkembang. Dimana perkembangan kehidupannya, baik sosial dan ekonominya,
masih dalam tahap menuju ke arah industrialisasi.
Di
dalam sejarah perkembangannya, negara Dunia Ketiga seringkali mengenyam
praktek kolonialisme, mengalami praktek penjajahan dari negara-negara
industri maju. Kekayaan sumber daya alamnya, posisi wilayahnya yang strategis
dan kepadatan jumlah penduduknya, menjadikan negara Dunia Ketiga terlihat
eksotik di mata negara-negara industri maju. Ia hanya menjadi sasaran empuk
bagi negara-negara industri maju untuk mendapatkan bahan baku industrinya,
menjadi pasar bagi barang-barang industrinya, dan menjadi ladang diperolehnya
tenaga kerja murah. Ditambah pula perkembangan masyarakat Dunia Ketiga yang
masih dalam tahap transisi dari masyarakat feodalisme, dimana kehidupan
sosial ekonominya masih kental dengan corak agrikultur.
Di
kebanyakan negara Dunia Ketiga, tak heran jika kita mendapati budaya lama
yang bercorak feodalisme masih kental terlihat. Perkembangan masyarakat Dunia
Ketiga yang dianggap masih terbelakang ini, telah ‘melapangkan’ jalan bagi
praktek kolonialisme.
Para
elit-elit tradisional (feodalisme), kemudian diperalat oleh kekuatan
kolonialisme untuk memuluskan praktek penjajahan. Para elit priyayi ini
kebanyakan diperalat untuk menjalankan piranti-piranti kekuasaan yang
menindas masyarakatnya. Adanya kekuatan kolonialisme dan dipertahankannya
kekuatan feodalisme, mau tak mau menciptakan kondisi sosial yang timpang.
Kondisi masyarakat terbagi ke dalam beberapa stratifikasi yang berdasarkan
kepemilikannya atas sumber-sumber ekonomi. Elit-elit kolonial dan sebagian
elit-elit tradisional memperoleh hak istimewa dalam kehidupan sosial.
Sedangkan masyarakat biasa memperoleh perlakuan yang diskriminatif dan akses
yang terbatas. Sistem sosial yang demikian telah membentuk mentalitas
masyarakat Indonesia.
Akibat
dari tekanan sistem sosial tersebut, sebagian masyarakat Indonesia mengidap
penyakit ‘mentalitas inlander’ yang rendah diri, pasrah terhadap keadaan, dan
‘mentalitas amtenar’ yang obsesif terhadap hirarki, gila hormat dan
sifat-sifat ‘asal bapak senang’. Atmosfer kemerdekaan dirasa tak cukup untuk
mengikis mentalitas yang demikian, karena pada faktannya sekarang ini
sebagian besar masyarakat Indonesia masih bermental ‘inlander’ dan
‘amntenar’.
Kegagalan
kita dalam membangun kehidupan berbangsa dan tata kelola pemerintahan yang sesuai
dengan cita-cita kemerdekaan, merupakan akibat masih berlakunya sistem
ekonomi neokolonian yang menyebabkan mentalitas ‘inlander’ dan ‘amtenar’
tetap awet pada jiwa masyarakat Indonesia. Karena, pada hakikatnya,
mentalitas yang demikian tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan yakni
‘duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi’. Selama mentalitas ini masih
menghinggap sebagian besar masyarakat Indonesia, maka bangsa ini tak bisa
mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan yang sesuai dengan cita-cita
bangsa ini. Karena perubahan membutuhkan syarat, yakni syarat objektif dan
syarat subjektif.
Syarat
objektif ialah kemuakan masyarakat secara umum atas kehidupan sosialnya yang
menindas dan timpang, terhadap disfungsinya aparatur negara dalam mengelola
kehidupan masyarakatnya. Sedangkan syarat subjektif ialah adanya kesadaran
atau mentalitas manusianya untuk menuju perubahan itu sendiri. Jika kedua
syarat tersebut tak berjalan berkelindan, tak dapat dipenuhi secara
bersamaan, maka perubahan tak akan pernah tercapai. Artinya, selama bangsa
Indonesia tak mampu memenuhi kedua syarat tersebut, maka ia tak akan pernah
mencapai sesuatu apa yang di cita-citakannya.
Untuk
memenuhi syarat subjektif, pendidikan merupakan instrumen yang tepat, karena
ia berhubungan dengan agenda pembangunan kesadaran manusia. Ia merupakan agen
internalisasi nilai-nilai, yang nantinya akan membentuk watak dan mental. Pendidikan
dalam hal ini, haruslah mampu mengikis mental yang rendah diri, pasrah dan
sikap ‘asal bapak senang’ untuk mencapai masyarakat yang adil dan egaliter.
Karena tak dapat dipungkiri, pendidikan kita saat ini masih bercorak
konvensional, yang hanya membentuk siswa menjadi pasif, tunduk, dan jauh dari
keberanian berpikir kritis. Pendidikan yang demikian hanyalah memperkokoh
penindasan manusia atas manusia, menguntungkan penguasa yang hendak
mempertahankan kekuasaannya. Sehingga, pendidikan bukannya menjadi wadah
pembebasan melainkan hanyalah penghambat perubahan dan kemajuan.
Pendidikan
kita yang demikian, telah membiasakan masyarakat kita hanya menerima saja
patokan-patokan dari atas, sehingga masyarakat kita terbiasa hanya menunggu
perintah dan penurut tanpa inisiatif dan koreksi kritis. Hal ini membuat
bangsa kita sulit bersaing sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia
internasional.
Pendidikan
sebagai agenda revolusi mental, haruslah mampu membebaskan siswa dari
belenggu yang menghambat dirinya untuk berkembang dan mengaktualisasikan
diri. Artinya, pendidikan haruslah mampu menciptakan insan-insan manusia yang
berjiwa merdeka. Pendidikan yang mampu menghancurkan mentalitas terjajah yang
rendah diri, menjadi mentalitas yang berani berdiri di atas kakinya sendiri.
Mengubah mentalitas penurut menjadi spirit Cogito Ergo Sum (Aku berfikir maka Aku Ada). Pendidikan yang
mendidik siswanya untuk berani berfikir kritis, tidak hanya ‘membebek’ dan
menjadi individu-individu yang progresif. Dengan itu, pendidikan merupakan
‘katalisator’ yang mempercepat perubahan ke arah yang lebih baik, yang mampu
menghancurkan mentalitas yang menghambat perubahan dan kemajuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar