Pemimpin yang Peduli Pendidikan
Mohammad Abduhzen ;
Direktur
Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta;
Ketua Litbang PB PGRI
|
KOMPAS,
13 September 2014
PENDIDIKAN yang
menyelamatkan saya. Pendidikan juga akan menyelamatkan Afrika yang masih
terpuruk. Saya sangat yakin, pendidikan adalah pintu penyelamatan dan
perbaikan. Untuk itu diperlukan kepemimpinan yang sepenuhnya peduli pada
pendidikan (Oprah Winfrey, dalam
wawancara TV CBS, 19 Desember 2007).
Kepedulian
sepenuh hati pada pendidikan! Itulah yang kiranya belum dimiliki para
pemimpin negeri ini.
Meski
disadari sumber daya utama bangsa adalah (mental) manusianya, belum ada
pemimpin kita selama ini yang menomorsatukan pendidikan dalam agenda
pembangunannya.
Ada
banyak contoh klise tentang kepedulian pemimpin pada pendidikan. Tony Blair,
1996, pada periode pertama sebagai PM Inggris menyatakan tiga program
utamanya: ”Pendidikan, Pendidikan, dan
Pendidikan”. Blair menjadikan pendidikan sebagai pusat pembuatan kebijakan ekonomi pada masa
depan. Juga Kevin Rudd. Saat menjabat PM Australia, 2007, ia berpidato bahwa
masa depan Australia terletak dalam sebuah revolusi pendidikan. Dalam paper-nya, ”The Australian Economy Needs an Education Revolution,” Rudd
menjelaskan hubungan penting antara kemakmuran, pertumbuhan produktivitas
jangka panjang, dan investasi modal kemanusiaan melalui pendidikan.
Inkoherensi
Dalam
pembangunan kita, pendidikan sering kali dipandang terpisah dari pembangunan
ketahanan dan kesejahteraan bangsa. Term pendidikan lebih diasosiasikan pada
sekolah (schooling), bahkan lebih
sempit sebagai pemberantasan buta huruf atau pelatihan calon pegawai. Kurang
terpikirkan pembangunan pendidikan sebagai basis penjaminan kekuatan dan
kesejahteraan bangsa pada masa depan. Tak heran jika keterpurukan bangsa
dianggap sebatas soal ekonomi semata, dan solusinya ”daya saing”. Maka,
pendidikan pun kemudian bermuara ke daya saing.
Pada
masa pra-kemerdekaan, setidaknya terdapat dua model pendidikan di Tanah Air.
Pertama, pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial berupa sekolah
formal, bertujuan menyiapkan pekerja sipil pribumi untuk membantu pemerintah.
Kedua, pendidikan pribumi yang diselenggarakan para tokoh bangsa sebagai
upaya penyadaran, pencerdasan, dan pemerdekaan, tetapi oleh pemerintah
kolonial disebut ”sekolah liar”.
Setelah
kemerdekaan, sistem pendidikan nasional meneruskan model kolonial, yang niat
dan substansinya tidak untuk mencerdaskan itu, dengan perubahan alakadarnya.
Tak ada perombakan dan redesain fundamental untuk menyesuaikan sistem pendidikan dengan
kebutuhan sebuah bangsa merdeka dan cita-citanya. Sekolah-sekolah atau model
pembelajaran pribumi yang sejatinya
lebih mengena dan efektif bagi kemajuan kurang dihiraukan, kemudian mengalami
formalisasi sehingga kehilangan ruhnya.
Semasa
Orde Baru, karena diawali situasi keuangan yang sulit di akhir pemerintahan
Soekarno, upaya pencerdasan bangsa dimaknai sebagai pengembangan sumber daya
manusia untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Meskipun pertambahan jumlah
sekolah cukup tinggi, penurunan mutu terus berlangsung sehingga menghasilkan
manusia yang saat ini makin kentara buruknya.
Pada
era reformasi, bangsa ini seperti siuman lalu menyadari kekurangan diri di
tengah arus globalisasi. Maka pendidikan kita terburu-buru menyelenggarakan
pendidikan karakter dan daya saing dengan konsep seadanya.
Ide
pendidikan karakter di tingkat sekolah sulit menghindari korelasinya dengan mata
pelajaran tertentu yang disangka berpengaruh besar pada pembentukan karakter,
seperti pendidikan agama, moral, budi pekerti, dan kewarganegaraan. Sering
kali terjadi dikotomi antara pendidikan karakter dan pendidikan ilmu
pengetahuan seperti sains dan matematika. Disangka sains dan matematika
kurang/tidak berhubungan dengan pembentukan karakter. Padahal, sejatinya
berpikir saintifik dan analitis justru basis dari karakter yang sehat dan
kuat.
Kerancuan
lain, menganggap pendidikan karakter sebagai ”sesuatu” atau beberapa mata
pelajaran atau program. Sejak dulu berbagai nilai kebajikan telah diajarkan
melalui pendidikan agama, moral, budi pekerti, Pancasila, dan
kewarganegaraan. Namun, kenyataannya masyarakat kita pada hari ini bagai tak
beranjak dari ”manusia Indonesia”,
seperti digambarkan Mochtar Lubis pada 1977: hipokrit alias munafik, enggan
bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, artistik, dan berwatak
lemah (Manusia Indonesia, 2008). ”Bermental menerabas”, menurut
Koentjaraningrat.
Pendidikan karakter bukanlah
”sesuatu”, tetapi ”semua” proses pendidikan. Dalam Pasal 3 UU No 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, membentuk watak dan
peradaban bangsa disebut fungsi pendidikan nasional. Maknanya, bahwa
terbentuknya watak/karakter (personal) dan kebudayaan/ peradaban (komunal)
merupakan efek kumulatif dan sinergis dari seluruh upaya pembelajaran dengan
berbagai faktor bawaan dan lingkungan.
Dengan
kata lain, apabila pendidikan kita benar dan fungsional, karakter dan budaya
bangsa yang diharapkan itu akan mewujud. Sebaliknya, jika karakter bangsa tak
beres, pertanda bahwa pendidikan telah berlangsung disfungsional.
Persoalan
pendidikan kita selama ini bukan karena abai, justru terlalu perhatian pada
nilai-nilai, tanpa berupaya membangun pola dan kemampuan berpikir yang benar
sebagai basis perilaku. Struktur berpikir dan sikap mental bangsa ini jadi
kacau, kemudian jadi sumber berbagai kelemahan dan kekacauan perilaku. Tanpa
didasarkan akal sehat, bahkan moralitas, agama, dan nasionalisme akan rentan
jadi sumber kekuatan destruktif.
Revolusi Pendidikan
Presiden
terpilih Joko Widodo telah mencanangkan ide revolusi mental sebagai paradigma
baru dalam menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa yang terus galau ini.
Saya memaknai ”revolusi” dalam konteks ini lebih pada kemendasaran ide
daripada kecepatannya yang relatif. Revolusi Industri di Jerman misalnya,
kecepatannya disebut ”radikal”,
padahal memerlukan masa sekitar 30 tahun. Selain itu, sebuah revolusi
senantiasa memerlukan waktu untuk persemaian idealisme yang hendak
diwujudkan.
Idealisme
yang diusung Jokowi adalah Trisakti: kedaulatan dalam politik, kemandirian
dalam ekonomi, dan kepribadian dalam kebudayaan. Merealisasikan gagasan ini
merupakan ”perang” besar yang monumental karena akan mengubah hampir segala
aspek kehidupan melalui pengubahan manusia.
Revolusi
mental menuntut kepedulian para pemimpin pada perombakan sistem pendidikan
sebagai jalan utama. Tanpa membenahi sistem pendidikan, revolusi mental jadi
absurd. Situasi sekarang ini justru sebagai produk sistem yang ada.
Saat ini, seyogianya telah disusun
blueprint baru pendidikan nasional
yang berparadigma revolusi mental sehingga dapat dijadikan dasar pembentukan kabinet. Sebelum kerangkanya
jelas, keputusan besar terkait pendidikan—seperti ”membelah” kementerian jadi
dua—dapat menimbulkan inkoherensi yang menyandera kemajuan pada masa
mendatang. Pemisahan kebudayaan dari kementerian pendidikan pada waktu silam
kiranya cukup jadi iktibar sebagai
kebijakan yang membuat pendidikan kita bergerak di tempat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar