Mencederai
Hati Rakyat
Ali Rif’an ;
Peneliti
Poltracking Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UI
|
KORAN
JAKARTA, 13 September 2014
Gagasan
beberapa fraksi DPR yang berencana mengembalikan sistem pemilihan langsung
kepala daerah ke DPRD dapat dibilang sebagai jalan mundur demokrasi. Sebab,
bandul politik akan berubah haluan, dari pemilihan rakyat menjadi oleh elite.
Mereka
itu ialah Fraksi Demokrat, PAN, Golkar, PPP, PKS, dan Gerinda. Sementara
fraksi yang tetap setia dalam jalur pemilihan langsung kepada daerah ialah
Fraksi PDI-P dan Hanura. Adapun Fraksi PKB mengusulkan varian lain, yakni
gubernur dipilih langsung, sedangkan bupati dan wali kota dipilih DPRD.
Mereka
berargumentasi pemilihan langsung kerap menimbulkan konflik horizontal dan
berbiaya mahal. Tetapi, pembalikan arus tersebut justru akan mendatangkan
banyak mudarat ketimbang maslahat.
Perubahan
itu akan mencederai hati rakyat. Demokrasi akan pincang karena rakyat tidak
lagi menjadi pemain utama dalam proses suksesi kepemimpinan daerah. Rakyat
akan tidak acuh karena kandidat lebih banyak berkomunikasi dengan anggota
DPRD. Orientasi kandidat hanya demi mendapat dukungan 50 persen lebih DPRD.
Akibatnya, komunikasi hanya terjadi secara vertikal, sementara ke bawah
terputus.
Tak
dapat dimungkiri, pemilihan kepala daerah melalui anggota DPRD justru
mendatangkan politik transaksional dagang sapi. Konspirasi antarelite membuat
pemilihan menyerupai tender ataupun lelang. Yang berani bayar lebih, dipilih.
Istilah “mahar politik” benar-benar terjadi. Akibatnya, seorang gubernur,
bupati, ataupun wali kota tersandera karena mandat yang dimiliki hanya dari
elite, bukan rakyat.
Pembelajaran
politik oleh masyarakat jadi tersendat. Pemilihan langsung membuat
pembelajaran politik benar-benar terjadi, khususnya akar rumput. Ibu-ibu
rumah tangga, para petani kecil di kampung yang sebelumnya cuek politik,
semenjak ada pemilihan langsung, mereka ikut berpartispasi. Bahkan omongan di
warung kopi soal pemilihan langsung.
Kedewasaan
masyarakat dalam menyikapi perbedaan pandangan di dalam politik pun semakin
membaik. Dampaknya, masyarakat tak lagi hanya menjadi objek politik, tapi
juga subjek. Tradisi yang sudah baik tersebut akan hilang jika pemilihan
pilkada langsung dihapuskan.
Suksesi
kepemimpinan kepala daerah akan monoton dan cenderung oligarkis, yakni hanya
dapat diakses kalangan elite. Berbeda dengan pemilihan langsung, siapa pun
dapat mencalonkan diri asalkan punya kapabilitas dan modal sosial. Dengan
sempitnya akses publik untuk menjadi kepala daerah, bisa dipastikan peluang
terjadinya raja-raja kecil di daerah semakin subur. Tak pelak, kepemimpinan
di tingkat lokal cenderung dikuasai para pemburu rente.
Padahal,
pemilihan langsung telah menghasilkan para kepala daerah berkualitas seperti
Bupati Kebumen (2005–2010), Rustriningsih, yang berhasil melakukan dialog
setiap hari dengan warga secara langsung melalui televisi lokal yang
dibangunnya. Begitu pula Wali Kota Yogyakarya (2006–2012), Herry Zudianto,
yang sukses menata ruang publik dan menjadikan Yogyakarta meraih penghargaan
Juara I Penataan Permukiman Kumuh untuk kategori Kota Besar.
Bupati
Bantaeng (2008–2013), Nurdin Abdullah, berhasil meningkatkan APBD dari 260
miliar rupiah pada 2008 menjadi 559,7 miliar rupiah pada 2013. Bupati
Banyuwangi (2010–2015), Abdullah Azwar Anas, berhasil menjadikan kota itu
salah satu tujuan wisata favorit dengan slogan “The Sunrise of Java”. Begitu pula Wali Kota Surabaya
(2010–2015), Tri Rismaharini, dan Wali Kota Bandung (2013–2018), Ridwan
Kamil, yang punya segudang prestasi.
Bahkan
presiden terpilih, Joko Widodo, juga berasal dari kepala daerah produk
pemilihan langsung. Dengan kata lain, hasil pilkada langsung oleh rakyat
telah melahirkan kepala-kepala daerah berprestasi.
Memperkuat Demokrasi
Maka,
gagasan penghapusan pilkada langsung harus dikaji ulang. Seharusnya fraksi di
Senayan berjuang menguatkan demokrasi, bukan merongrong. Selain itu,
demokrasi tidak hadir sekonyong-konyong, bahkan dibayar dengan tetesan darah.
Sistem demokrasi langsung baru berumur sewindu, masih butuh “bimbingan dan
arahan”, bukan dimusnahkan.
Apalagi,
tersiar kabar bahwa gagasan penghapusan pilkada langsung ini kental sekali
muatan politis. Sebab, partai penghapus dulunya merupakan penggagas pilkada
langsung. Pada titik inilah perubahan sikap agaknya sangat didasari pada
situasi mutakhir sebagai barisan Koalisi Merah Putih (KMP).
Kuat
dugaan manuver politik demikian merupakan upaya menjegal pemerintahan Jokowi kelak
dengan strategi menguasai pos-pos eksekutif daerah. Hal itu sangat realistis
mengingat KMP gemuk dibanding koalisi Jokowi-JK.
Benarlah
kata Max Stirner dalam The Ego and His Own (1845) bahwa tujuan negara selalu
sama: membatasi individu, menjinakkan, dan menyubordinasikan. Sebab, dengan
pengubah pilkada langsung, pelan-pelan kembali ke Orde Baru yang represif dan
oligarkis. Akibatnya, demokrasi akan dibajak. Maknanya terdistorsi “dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” menjadi “dari saya, oleh saya, dan
untuk saya.”
Dengan
wajah DPR yang sangat buram, adalah sebuah ilusi pilkada oleh DPRD akan mampu
menghasilan pemimpin-pemimpin daerah berkualitas. Pemimpin-pemimpin daerah
bisa jadi hanyalah robot perpanjangan partai-partai pengusung.
Maka,
gagasan penghapusan pilkada langsung yang justru membuat jalan mundur
demokrasi tersebut harus dipikirkan kembali. Alasan bahwa pilkada melalui
DPRD akan dapat memutus konflik horizontal, menghemat biaya, serta menangkal
ajang politik uang agaknya terlalu simplistis. Ini tidak terlalu kuat, bahkan
tidak sebanding dengan buah manis yang diberikan demokrasi langsung.
Jika
problemnya hanyalah konflik horizontal, solusinya memperkuat penegakan hukum
dan kepolisian. Begitu pula jika alasannya agar menghemat biaya, solusinya
bisa diselenggarakan pilkada serentak atau ada pembatasan jumlah biaya untuk
menjadi kepala daerah. Jika alasannya politik uang, dapat dicegah dengan
memperketat peraturan atau regulasi di dalam pilkada. Solusi-solusi semacam
itulah yang seharusnya didiskusikan anggota Dewan, bukan malah mengikuti
libido politik semu dengan cara menghapus pilkada langsung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar