Apa
Kabar Mobil Esemka?
M Luthfi Munzir ;
Penulis
Lepas
|
HALUAN,
12 September 2014
Rencana pengadaan mobil Mercedes-Benz untuk jajaran menteri terpilih
di kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla akhirnya dibatalkan. Kebijakan
pembatalan pengadaan mobil dinas oleh Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi
dinilai sudah tepat karena berkaitan dengan aspirasi masyarakat yang tidak
setuju mobil mewah tersebut dijadikan sebagai mobil dinas para menteri.
Apalagi di tengah upaya
penghematan di berbagai sektor yang sering dilontarkan oleh tim transisi
Jokowi-JK pasca kebijakan di akhir pemerintahan SBY-Boediono yang memutuskan
tidak akan menaikkan harga BBM bersubsidi. Tampaknya tidak ada waktu
“berbulan madu” bagi pemerintahan baru yang akan datang. Setumpuk pekerjaan
rumah besar justru menanti.
Kelanjutan dari batalnya
pengadaan mobil dinas mewah untuk para menteri baru tampaknya belum akan menemui
titik akhir. Mensesneg Sudi Silalahi, seperti dikutip www.detik.com mengemukakan bahwa kebijakan pengadaan mobil dinas
untuk para menteri akan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintahan yang baru.
Artinya, “bola” atas kebijakan pengadaan mobil dinas para menteri di kabinet
Jokowi-JK nanti akan berada di tangan presiden dan wapres terpilih.
Karakteristik Jokowi yang selama ini dikenal publik dengan kesederhanaannya
dan sikap merakyatnya mendapat ujian yang cukup pelik. Misalnya, setelah
beberapa waktu lalu pemerintah membeli pesawat kepresidenan, ada ide dari
politikus PDI-P Maruarar Sirait yang menyarankan Jokowi agar menjual pesawat
kepresidenan dengan alasan penghematan dan efisiensi anggaran negara.
Setelah batalnya pengadaan
mobil dinas untuk para menteri yang baru, apakah ketika Jokowi-JK nanti
secara resmi menjadi presiden dan wakil presiden 20 Oktober mendatang, mobil
dinas para menteri tetap akan diperbaharui atau memakai mobil dinas yang
lama?
Di jejaring sosial beragam
tanggapan dari masyarakat mengemuka terkait pengadaan mobil dinas para
menteri di pemerintahan yang baru. Seorang senior saya yang juga jurnalis,
Ikhwan Wahyudi, menulis di status facebooknya seperti ini; “Dipikir-pikir usulan penggunaan mercedes
benz sebagai kendaraan operasional menteri baru oleh mensesneg sudi silalahi
kurang pas. Rasanya tidak pas menjadikan sedan yang prestisius itu sebagai
mobil operasional. Jika tetap pilih mercy lebih tepat pilih tipe unimog
yang bisa beroperasi di semua medan. Kalau hanya untuk operasional di Jakarta
saja para menteri bisa pakai minibus saja atau bolehlah sekelas fortuner
atau pajero. Kan operasional namanya.”.
Ada yang mengusulkan mobil
sejenis fortuner, ada pula yang berharap mobil dinas sekelas innova
atau avanza saja. Saya menjadi tertarik untuk mengomentari statusnya.
Terpikir oleh saya, kemana perginya mobil Esemka yang dahulu digadang-gadangkan
oleh Jokowi saat masih menjadi Walikota Solo?
Saat menjadi Walikota Solo,
Jokowi rela mengganti mobil dinasnya Toyota Camry dengan mobil Esemka buatan
anak-anak SMK Negeri 2 Surakarta. Menurut Jokowi kala itu, menjadi suatu
kewajiban bagi dirinya untuk mempromosikan mobil buatan siswa SMK tersebut.
Dirinya merasa bangga dengan semangat anak-anak SMK, sehingga harus dihargai.
Menurutnya, semangat memiliki mobil nasional harus ditumbuhkan
lagi.(www.rmol.co, 11/1/2012).
Mobil Esemka hasil kreativitas anak-anak SMK
juga sempat diuji coba oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan. Ketika “demam” mobil
Esemka berkembang hingga ke seluruh tanah air, Menteri Koperasi dan UKM
Syarif Hasan bahkan menjanjikan akan memberikan bantuan pendanaan untuk
pengembangan produksi mobil buatan dalam negeri ini.
Setelah Jokowi terpilih menjadi
Gubernur DKI Jakarta, pembicaraan tentang mobil Esemka mulai hilang. Tidak
terdengar lagi bagaimana perkembangan dan perluasan pembuatan mobil tersebut
secara massal. Belum terdengar keseriusan pemerintah merespon produksi
anak-anak SMK ini dalam kebijakan jangka panjang. Apakah mobil Esemka hanya
sekedar pencitraan politik agar dipandang sebagai elite yang peduli dengan
produksi dalam negeri, kemudian enggan memakai produksi dalam negeri?
Pandangan saya mobil Esemka
mungkin lebih cocok dijadikan mobil dinas seluruh kepala daerah dan
jajarannya di Indonesia, termasuk para menteri. Kenapa?
Paling tidak ada dua alasan
yang melatarbelakanginya. Pertama; mobil Esemka adalah penemuan anak-anak
muda Indonesia dalam bidang otomotif. Terciptanya mobil Esemka adalah suatu
hal yang patut diapresiasi dan disikapi secara utuh.
Bagaimana dengan terciptanya
mobil Esemka tersebut, secara jangka panjang ada grand design kebijakan yang
mengarah kepada upaya meningkatkan produksi dalam negeri yang inovatif. Seharusnya
siapapun kita yang mengaku sebagai orang Indonesia merasa bangga dengan
produksi dalam negeri sendiri.
Saya beberapa kali melihat
iklan di televisi ada elite politik yang menghimbau untuk memakai produksi
dalam negeri. “Cintailah produk-produk
Indonesia”, demikian penekanan kalimatnya dalam iklan tersebut. Apakah
himbauan untuk mencintai produksi dalam negeri tersebut sudah sejalan dengan
kebijakan pemerintah untuk mengembangkan dan melestarikan produksi dalam
negeri?
Saya yakin dan percaya, masih banyak elite
yang lebih bangga memakai barang “bermerek”, terutama dari luar negeri,
dibandingkan produksi dalam negeri. Ini menjadi hal yang ironis dan paradoks.
Mobil Esemka (kalau pun belum lulus uji emisi), apabila pemerintah serius
untuk memperbaiki kekurangannya dan mengembangkannya, di masa depan mobil ini
bisa menjadi kebanggaan Indonesia.
Kedua; ketika pemerintah serius
“menggarap” mobil Esemka menjadi bagian dari pengembangan produksi mobil
nasional, maka paling tidak pemerintah perlu kebijakan untuk menjadikan mobil
Esemka sebagai mobil dinas “wajib” bagi setiap pemerintah di segala tingkatan,
mulai dari pemerintah kecamatan hingga level menteri atau kepala negara.
Aspek keamanan dan kenyamanan adalah hal teknis yang bisa dirancang sebagai
bagian dari pengamanan kepala daerah/ menteri/kepala negara. Mobil Esemka
bisa menjadi lambang “kebersahajaan” pemimpin di tengah-tengah rakyat.
Menghargai penemuan dalam negeri dan kreativitas anak-anak Indonesia.
Jika “Jokowi adalah kita”, maka
bahasa “kita” mencerminkan bahwa pemimpin memiliki sifat kerakyatan, mengutamakan
kepentingan rakyat, memahami dan merasakan keluh kesah rakyat, dan empati
dengan keseharian rakyat dengan segala dimensi dan warnanya.
Kesederhanaan hendaklah dimulai dan dicontohkan dari pemimpin yang mengerti
dan memahami dengan sepenuh hati tentang rakyat. Bukan kesederhanaan yang
hanya hadir di layar televisi, di media massa dengan iklan pariwara, sebagai
pencitraan politik semata.
Para pemimpin kita, yang saat
ini telah dipilih oleh rakyat dalam pesta demokrasi Pemilu legislatif 9 April
2014 dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014, bisa bercermin dan
belajar dari kisah Umar bin Khattab ketika diangkat menjadi khalifah. Atau
seperti Umar bin Abdul Aziz, yang rela mengunjungi rakyatnya di tengah malam
tanpa pengawalan untuk mengetahui kondisi rakyatnya. Semakin dekat pemimpin
dengan rakyat, semakin tahu berbagai gagasan untuk kebutuhan publik. Bukan
sekedar laporan “ABS” alias “asal bos senang”. Semoga elite politik dan para
pemimpin kita tidak berpijak kepada “pencitraan” atas suatu kebijakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar