Rabu, 24 September 2014

Kemandirian Profesi Advokat

Kemandirian Profesi Advokat

HD Djunaedi ;   Ketua DPD Perhimpunan Advokat Indonesia  Jawa Tengah,
Mahasiswa S-3 Ilmu Hukum Unissula
SUARA MERDEKA, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

PENOLAKAN terhadap RUU tentang Advokat akhir-akhir ini kembali menguat di berbagai daerah, seiring dengan agenda DPR memutuskan rancangan regulasi tersebut pada 24 September 2014. Aksi penolakan berpuncak tanggal 11 September lalu ketika sejumlah advokat yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menggelar aksi damai di Bundaran HI Jakarta, dilanjutkan ke gedung DPR untuk menyampaikan aspirasi.

Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), yang sebelumnya bernama Persatuan Advokat Indonesia (PAI) sudah lama menginginkan ada undang-undang yang bisa memedomani mereka. Sebagai salah satu unsur catur wangsa penegak hukum, advokat wajib mempunyai undang-undang.

Dalam perjalanannya, 7 organisasi terdiri atas Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Himpunan Advokat Pengacara Indonesia (HAPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) sepakat membentuk Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) .

Komite itu bertugas menyusun kode etik dan membentuk UU. Selanjutnya, draf rancangan regulasi itu diserahkan DPR guna dibahas hingga akhirnya lahir UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Regulasi itu mengamanatkan bentuk organisasi yang jadi pilihan adalah single bar. Advokat, DPR, dan eksekutif pun menyepakati tak boleh ada campur tangan pihak mana pun, termasuk pemerintah mengingat tuntutan kemandirian dan independensi profesi advokat.

Format single bar itulah yang kemudian melahirkan Peradi, organisasi profesi advokat yang pada dasarnya juga organ negara dalam arti luas dan bersifat mandiri (independent state organ) serta melaksanakan fungsi negara. Yakni menjalankan hak, kewenangan, dan kewajiban sebagaimana diamanatkan UU semisal menyelenggarakan pendidikan khusus profesi advokat, menguji calon dan mengangkat advokat, menyusun kode etik, membentuk dewan kehormatan dan komisi pengawas.

Berkait perbedaan pandangan di antara advokat, persoalan itu harus diselesaikan oleh advokat, dan bukannya dengan mengubah UU. Wacana mengubah UU juga tidak logis, bahkan tak memiliki dasar kuat mengingat belum ada tinjauan akademisi yang memandang perlunya mengubah UU Advokat.

Sistem multi bar, yang terkandung dalam substansi RUU itu berisiko melemahkan organisasi, bahkan memecah-belah. Pasalnya, organisasi kemungkinan diintervensi pihak luar, minimal terkooptasi. Dengan sistem single bar saja, para advokat belum bisa bersatu dan kuat, apalagi dengan multi bar yang rancangan regulasinya sebentar lagi diputuskan DPR.

Mustahil hukum bisa tegak bila tak ada independensi advokat. Bahkan bila tidak ada organisasi tunggal maka perlindungan terhadap pencari keadilan dan peningkatan kualitas advokat pun sulit tercapai. Sistem multi bar yang ada dalam RUU Advokat akan memunculkan lebih dari satu organisasi advokat sehingga membuka celah terjadinya pelanggaran kode etik.

Memudahkan Pengawasan

Misal seorang advokat menelantarkan klien namun dia tidak bisa dikenai sanksi karena ketika ’’diproses’’ oleh organisasinya dia segera berpindah ke organisasi lain. Hal itu akan merugikan masyarakat pencari keadilan. Contoh lain berkait peningkatan kualitas advokat, dalam sistem multi bar bisa saja suatu organisasi advokat menentukan passing grade 7 namun nilai itu diturunkan oleh organisasi advokat yang lain dengan tujuan agar bisa mendapat banyak anggota.

Sebaliknya, single bar dapat menciptakan beberapa kondisi positif. Pertama; ada standardisasi profesi sehingga kualitas advokat pun bisa terus ditingkatkan. Kedua; pengawasan advokat menjadi lebih mudah dan terjamin karena ada dewan kehormatan yang siap menegakkan kode etik. Ketiga; organisasi advokat menjadi lebih kuat karena tidak bisa diintervensi pihak mana pun.

Dalam RUU Advokat terdapat substansi keberadaan dewan advokat nasional (DAN) dan hal itu bertentangan dengan independensi advokat. Pasalnya personel dewan advokat diusulkan oleh presiden dan dipilih oleh DPR. Pembentukan dewan advokat justru memberi celah kepada pemerintah dan parpol untuk mengooptasi dan mengintervensi organisasi advokat.

Realitas itu mengebiri kemandirian advokat sekaligus merugikan masyarakat pencari keadilan mengingat hukum tidak lagi bisa ditegakkan. Hal itu berarti menjauhkan cita-cita sebagaimana termaktub dalam adagium fiat justitia ruat caelum: hendaklah keadilan ditegakkan kendati langit akan runtuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar