DPRD
dan Korupsi
Oce Madril ;
Direktur
Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi UGM
|
KOMPAS,
13 September 2014
TAK
lama setelah dilantik, ia digelandang oleh kejaksaan ke ruang tahanan. Itulah
yang terjadi pada salah satu anggota DPRD Sumatera Barat periode 2014-2019
yang menjadi tersangka korupsi. Sesungguhnya kejadian serupa terjadi kepada
anggota DPRD di beberapa daerah lain. Ironisnya, merekalah wakil rakyat yang
diamanahi tugas memperjuangkan aspirasi rakyat, membuat peraturan daerah,
mengawasi pemerintahan, dan menetapkan anggaran daerah.
Terpilihnya
ribuan anggota DPRD baru membawa harapan terwujudnya pemerintahan bersih dan
berwibawa di daerah. Dengan kewenangan yang luas, DPRD dapat mewujudkan itu.
DPRD merupakan aktor penting pembangunan di daerah, terutama pasca berlakunya
otonomi daerah di mana DPRD memiliki kekuasaan lebih besar.
Bahkan,
pada awal masa reformasi, DPRD diberikan kewenangan ala pemerintahan
parlementer; memilih dan memberhentikan kepala daerah. Hal ini merupakan
respons terhadap model sentralistik yang diterapkan pemerintahan Orde Baru
yang menghasilkan buruknya tata kelola dan tingginya korupsi di jajaran
pemerintahan daerah.
DPRD
yang kuat diharapkan memunculkan pengawasan yang efektif terhadap jalannya
pemerintahan. Melalui kewenangan legislasi, pengawasan dan anggaran, DPRD
diharapkan jadi aktor pendorong munculnya tata kelola pemerintahan yang baik.
Namun,
kewenangan yang besar itu ternyata tidak membawa kabar gembira. Justru
korupsi dan penyalahgunaan wewenang tumbuh subur. DPRD jadi episentrum baru
korupsi di daerah. Tingginya angka korupsi DPRD tecermin dari data
Kementerian Dalam Negeri: hingga saat ini lebih dari 3.169 anggota DPRD
terlibat kasus korupsi, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Angka
itu masih akan bertambah mengingat sejumlah anggota DPRD sedang diperiksa
oleh aparat penegak hukum.
Istilah
korupsi berjemaah pun muncul untuk merefleksikan perbuatan korupsi wakil
rakyat yang dilakukan secara bersama-sama. Tak jarang ada kasus korupsi yang
melibatkan hampir semua, bahkan semuanya, anggota DPRD. Kewenangan yang besar
jadi pintu masuk korupsi. Setiap kewenangan menjadi alat untuk melakukan
transaksi koruptif. Permainan anggaran dan suap merupakan modus utama yang
sering terjadi.
Ketika
kepala daerah dipilih DPRD, gubernur, bupati/wali kota jadi sasaran empuk
perahan. Sebaliknya, sebagai balas jasa politik, kepala daerah pun
menganggarkan sejumlah pos anggaran bagi anggota Dewan. Kepala daerah merasa
berutang budi kepada anggota DPRD yang telah memilihnya, bukan kepada rakyat.
Implikasinya, DPRD diguyur berbagai macam bentuk anggaran, misalnya tunjangan
aspirasi, komunikasi, transportasi, asuransi, kesejahteraan, dan purnatugas.
Sementara program untuk rakyat terbengkalai.
Mata rantai koruptif
Inilah
gambaran karakteristik korupsi DPRD 1999-2004 tatkala kepala daerah dipilih
oleh DPRD. Korupsi yang muncul akibat relasi koruptif antara DPRD dan kepala
daerah. Keadaan makin diperparah oleh perilaku partai politik di daerah yang
menjadikan anggota DPRD sebagai sumber pendanaan partai. Parpol terkadang
acuh tak acuh pada mentalitas kadernya dan cenderung mendorong mereka berbuat
koruptif untuk mendanai partai.
Dalam
beberapa kasus terungkap bahwa anggota Dewan merangkap jadi calo proyek, yang
mempertemukan kepentingan pengusaha dan kepala daerah. Bahkan, tak jarang
meminta jatah proyek secara terang-terangan. Relasi koruptif ini terbangun
karena DPRD merasa bisa memonopoli kekuasaan eksekutif bahwa kepala daerah
ditentukan oleh DPRD. Format kekuasaan
DPRD ini jelas telah gagal. Kekuasaan besar pada DPRD gagal dijadikan modal
untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang lebih responsif, bertanggung jawab,
bersih, dan berwibawa.
Untuk
memutus mata rantai relasi koruptif ini dirumuskanlah pemilihan kepala daerah
langsung. Pilkada langsung membuat kepala daerah lebih fokus kepada rakyat,
tidak hanya segelintir elite yang ada di DPRD. Maka, berkembanglah berbagai
inisiatif reformasi pelayanan publik di daerah dan program- program
prorakyat. Orientasi kebijakan publik tertuju kepada rakyat karena rakyatlah
yang berdaulat.
Mengembalikan
mekanisme pilkada ke DPRD hanya akan menarik DPRD kembali masuk pada masa
kelamnya. Masa di mana pimpinan dan anggota Dewan disoroti, digunjingkan,
bahkan harus menghadapi dakwaan dan tuntutan hukum di pengadilan karena
terlibat suap dan korupsi. Itulah puncak keterpurukan kredibilitas lembaga
tersebut dalam sejarah republik ini.
Parpol
pengusung gagasan kepala daerah dipilih DPRD mestinya sadar diri bahwa
tingkat kepercayaan masyarakat saat ini pada partai berada di titik nadir.
Masyarakat sudah semakin kritis melihat perilaku elite politik yang kerap
menyalahgunakan kewenangan. Lebih baik parpol berpikir keras bagaimana agar
kredibilitas lembaga perwakilan kembali pulih dan parpol mendapat kepercayaan
penuh dari rakyat sebagai pilar demokrasi, bukan pilar korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar