Zaman
Baru
Bre Redana ;
Penulis Kolom “Udar Rasa” di Kompas
|
KOMPAS,
13 Juli 2014
Saya
terhenyak ketika teman saya, pengajar filsafat, Tommy Awuy, menyebut konser
besar oleh ratusan musisi dan seniman di Gelora Bung Karno (GBK) akhir pekan
sebelum pemilihan presiden yang baru lalu sebagai Woodstock. Woodstock, ”3
Days of Peace & Music” bulan Agustus 1969 di Bethel, New York, adalah
tonggak bermutasinya politik menjadi gerakan kebudayaan. Menampilkan ratusan
pemusik yang tidak dibayar dengan penonton mencapai 500.000 orang, Woodstock
dianggap penanda lahirnya zaman baru alias new age.
Saat
itu, terutama dipuncaki invasi Amerika ke Vietnam, anak-anak muda merasa ada
yang salah dengan negerinya. Mereka merasa perlunya perubahan.
Gagasan-gagasan dan institusi-institusi mapan mereka lawan, dengan gerakan
yang disebut Theodore Roszak sebagai counter
culture.
Untuk
pertama kalinya waktu itu, dunia kemudian menyaksikan bagaimana kebudayaan
massa—dalam hal ini musik— secara total berkoneksi dengan segala hal yang
berhubungan dengan perubahan. Orang jenuh dengan politik lama. Mereka merasa
tak bisa lagi hidup dengan kebobrokan yang biasa mengiringi kehidupan
sehari-hari waktu itu. Mereka membutuhkan momentum perubahan, juga harapan
baru.
Bukankah
itu pula yang terjadi pada konser dua jari di GBK? Dunia politik bermutasi
menjadi gerakan kebudayaan, didorong oleh semangat yang tidak lagi
menghendaki kekerasan, rasisme, radikalisme, korupsi, kebohongan: pendeknya
semua hal buruk yang seakan dijustifikasi belaka oleh penguasa selama ini.
Ketika kebudayaan telah menjadi daya perubahan seperti ini, sungguh aneh ada
beberapa orang bahkan mengaku budayawan, seniman, mengingini formalisme
pengertian kebudayaan dengan undang-undang kebudayaan. Tentang pikiran orang
ngelindur itu akan saya bahas sendiri dalam tulisan lain nanti.
Kami
ingin perubahan. Kami ingin keberadaban. Kami ingin perdamaian. Konser di GBK
itu baiknya diberi nama ”An Afternoon
of Peace & Music”. Bagi sebagian yang hadir, lagu Raja oleh /rif barangkali nanti akan
dikenang sebagaimana Generasi Bunga
mengenang Black Magic Woman oleh
Santana di Woodstock. Lalu, di pagi hari waktu itu, Jimi Hendrix
melengkingkan lagu kebangsaan Amerika The
Star-Spangled Banner dengan gitarnya.
Momen
historik yang dikenang sepanjang masa. Sama seperti terjadi di GBK yang
dipenuhi ratusan ribu manusia. Tak akan bisa dilupakan, bagaimana sejumlah
orang menitikkan air mata ketika lagu Indonesia Raya dinyanyikan.
Semangat
seperti ini, mustahil bisa diungkap oleh yang namanya lembaga survei. Hanya
saja, selama ini orang serta lembaga-lembaga, telanjur mudah diperdaya
angka-angka. Dengan angka-angka, ditambah kicauan orang berjulukan pengamat,
seolah seluruh aspek kehidupan bisa terbaca, bisa terdeteksi. Lalu resep
dicari. Ah, alangkah praktis kehidupan seandainya cinta, rindu, dan
semacamnya juga bisa dikuantifikasi menjadi angka-angka....
Manusia
yang telah teralienasi angka-angka inilah mangsa empuk lembaga survei.
Lembaga-lembaga survei kagetan muncul, bersedia menerima pesanan siapa saja,
partai apa saja, sanggup menyenangkan pihak mana saja. Validitas tak dijamin.
Namanya juga pasar kaget.
Sebuah
koran Jakarta misalnya, di halaman depan memajang grafis belasan lembaga
survei. Semua memenangkan calon presiden yang kemudian menjadi pecundang.
Kalau saya pemesannya dan bayaran belum lunas, tak sudi saya melunasi. Bahkan
mereka akan saya suruh mengembalikan uang, karena saya anggap penipuan.
Dulu,
di Woodstock, anak-anak muda juga terbius oleh mistik tertentu. Bukan
angka-angka, melainkan halusinasi zat yang populer kala itu, antara lain
ganja dan mariyuana. Sisi yang lain lagi: filsafat Timur (Beatles, Rolling
Stones, semua belajar ke India), buku-buku metafisika, psikadelia, dan tentu
saja Stairway to Heaven. Revolusi yang menyenangkan.
Kini
zaman telah berubah. Biarlah para hippies yang kini mbah-mbah menyepi di gunung-gunung.
Anak-anak muda sekarang tidak berilusi ala kaum hippies. Mereka menggelar
musik damai, di tengah kekhusyukan Ramadhan.
Kalau
Anda terlatih membaca gelagat, barangkali Anda akan sependapat dengan saya:
kita tengah menyongsong zaman baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar