Kedaluwarsa
Samuel Mulia ;
Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di
Kompas
|
KOMPAS,
13 Juli 2014
MENURUT
KAMUS Besar Bahasa Indonesia,
kedaluwarsa berarti tidak model lagi (baju, kendaraan); tidak sesuai dengan
zaman; sudah lewat (habis) jangka waktunya (tuntutan dsb); habis tempo;
terlewat dr batas waktu berlakunya sebagaimana yang ditetapkan (makanan).
Balas jasa
Pada
Jumat pagi menjelang tengah hari, saya menengok teman di sebuah rumah sakit
yang suasananya saja makin membuat yang sakit bertambah sakit. Dalam obrolan
yang singkat itu, saya menanyakan kepadanya, apakah orangtuanya tahu bahwa ia
sedang dirawat di rumah sakit?
Ia
menjelaskan, kalau ia tidak memberi tahu mereka dengan alasan seperti ini.
”Kasihan, Mas. Aku enggak tega merepotkan mereka dan membuat panik mereka.”
Saya sempat terdiam sejenak dan teringat kepada beberapa teman lain yang
melakukan hal yang sama. Mereka menyembunyikan penderitaan dengan sejuta
alasan, hanya untuk tidak membuat orangtua yang dicintai makin menderita.
Kejadian
di atas melahirkan berjuta pertanyaan. Dan, pertanyaan pertama yang timbul
adalah apakah cinta kepada orangtua itu bentuknya melindungi orangtua dari
merasa terganggu dan kepanikan?
Apakah
dengan cinta itu, teman-teman saya telah menciptakan masa kedaluwarsa sebuah
tanggung jawab orangtua terhadap anak seperti makanan kaleng? Masa yang
menurut saya tak pernah ada selama mereka hidup dan disebut orangtua.
Apakah
benar yang namanya orangtua itu, apalagi memang sudah tua, dan anak juga
sudah dianggap tua dan dewasa, tidak selayaknya merepotkan dan membuat mereka
panik? Apalagi kalau anaknya menjadi begitu kaya dan rayanya. Bagaimana kalau
anaknya tidak kaya dan tidak raya? Apakah orangtua merasa menyesal karena
masa kedaluwarsanya diperpanjang? Begitu?
Artinya
mereka mengharap bahwa anaknya memiliki pengertian yang begitu dalamnya untuk
tidak mengkhawatirkan mereka sebagai sebuah imbal jasa dari semua pengorbanan
yang telah mereka lakukan berpuluh tahun lamanya? Apakah ketika orangtua
memutuskan memiliki anak, itu dengan tujuan untuk sebuah balas jasa?
Apakah
jawaban dan tindakan teman-teman saya itu didasari oleh perasaan hormat, atau
kasihan, atau pengertian mereka sendiri untuk mengasihi orangtuanya, atau itu
sebuah cermin dari hasil pendidikan orangtua, yang membuat anak selalu merasa
perlu bertanggung jawab atas kehidupan orangtua di suatu hari kelak?
Tanggung jawab
Bagaimana
kalau seandainya teman-teman saya tidak berpikir demikian? Apakah itu akan
mengundang kekecewaan yang sangat sebagai orangtua? Bukankah kalau dua orang
bersepakat menjadi orangtua, itu berarti mereka bersepakat mengundang masalah
dan kebahagiaan datang dalam hidup mereka?
Itu
berarti, mereka telah menyadari sepenuhnya dari sejak awal bahwa ada tanggung
jawab tanpa masa kedaluwarsa dari apa yang mereka sepakati itu, bukan? Bahwa
ada kemungkinan yang mereka sepakati itu bisa jadi tidak sesuai seperti yang
mereka dambakan dan mengecewakan.
Apakah
hal-hal semacam ini terbesit di benak mereka sebelum anak hadir dalam
kehidupan mereka? Kalau mereka menyadari, mengapa ada anak sampai bisa
memberi pernyataan seperti teman saya itu? Apakah itu hanya anaknya yang sok
bijak?
Bagaimana
cara dan dasar apa yang dipakai orangtua untuk mengeksekusi kesepakatan yang
sejak awal tak pernah melibatkan anak? Pengertian, egoisme, kasih sayang,
atau campuran ketiganya atau ada unsur lainnya yang tak saya ketahui?
Kalau
saya kembali kepada kasus di atas, apakah pernyataan teman-teman saya untuk
tidak berkeinginan membuat orangtua panik dan merepotkan adalah sebuah bukti
kekuasaan yang dieksekusi dengan tiga unsur di atas? Atau hanya salah
satunya?
Apakah
membungkam kepanikan dan kerepotan dari orangtua akan menjadikan seorang anak
itu saleh, bijaksana, dan menjauhkan mereka dari predikat anak kurang ajar,
tak tahu diri, dan menjadikannya sebagai anak idaman orangtua, dan idaman
orang lain seperti saya yang mendengar pernyataan di atas? Apakah itu yang
artinya menghormati orangtua?
Kalau
teman saya tidak menceritakan kondisi sesungguhnya karena itu akan
mengkhawatirkan orangtua, apakah itu berarti bahwa ada masanya kebohongan itu
dianggap sebuah kebenaran? Jadi berbohong untuk sebuah kebaikan tidak
dianggap keliru, apalagi kalau bersangkut paut dengan orangtua. Begitu?
Sambil
melangkah keluar dari rumah yang sungguh menyakitkan itu, saya berpikir
keras, sungguh keras. Kalau teman-teman saya memiliki pengertian yang begitu
dalamnya terhadap orangtua, apakah itu sebuah tindakan mengambil alih
predikat orangtua?
Jadi
predikat orangtua itu bisa digilir seperti piala, tak perlu harus ayah dan
ibu, tetapi anak pun suatu hari bisa menjadi orangtuanya orangtua. Saya
sungguh tak tahu karena tak pernah menjadi orangtua, maka saya mengajukan
sejuta tanya, tanpa berniat menghakimi.
Satu
pertanyaan lagi yang tersisa. Apakah menjadi orangtua itu memang seyogianya
tidak untuk semua orang? Sehingga mereka yang terpaksa, mampu melahirkan dan
mendidik anak seperti teman saya itu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar