Tata Global
Konstruktif Kepercayaan Bersama
Rene L Pattiradjawane ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
16 Juli 2014
REGIONALISME
dan multilateralisme dalam dekade kedua abad ke-21 mulai bergerak mencari
bentuk memadainya mendorong terjadinya dialog dan konsultasi konstruktif
memberikan sumbangsih penting bagi peningkatan kepercayaan dan diplomasi
preventif di berbagai kawasan.
Sejumlah
instrumen diplomasi global dan regional dewasa ini menghadapi tantangan
serius perubahan masif tata politik regional dan global, serta mencari
tatanan alternatif bagi dunia yang adil dalam penyebaran pertumbuhan dan
kesejahteraan. Proses ini menjadi berisiko ketika kepentingan nasional setiap
negara merasa terancam satu sama lain.
Dalam
rangka penataan hubungan baru antarnegara adidaya di tengah ”kebangkitan
Tiongkok” yang diwarnai perseteruan regional atas ”distorsi sejarah” klaim
tumpang tindih kedaulatan, ancaman serius di kawasan Asia adalah kekhawatiran
ambisi RRT atas klaim teritorial yang bisa menuju perang terbuka.
Berdasarkan
survei Pew Research Center yang
dipublikasikan pekan ini, terlihat adanya peningkatan banyak negara Asia yang
merasa perlu mencari proteksi AS atas ancaman Tiongkok tersebut. Berdasarkan
survei tentang perilaku global yang dilaksanakan antara bulan Maret dan Juni
tahun ini, berbagai responden, seperti di Filipina (93 persen), Jepang (85
persen), dan Vietnam (84 persen), khawatir terjadinya konflik terbuka
mengancam perdamaian.
Ancaman
ini dirasakan di Korsel (83 persen) dan di Tiongkok (62 persen). Survei ini
juga menunjukkan, 11 negara Asia menganggap AS sebagai sekutu, tiga negara
melihat AS sebagai ancaman utama (Tiongkok, Malaysia, dan Pakistan), serta
Indonesia melihat AS sebagai sekutu dan ancaman.
Di
sisi lain, Pew Research Center
mengemukakan, kekuatan ekonomi Tiongkok secara ekstensif dalam dekade
terakhir ini menjadi kekuatan ekonomi kedua terbesar dunia dianggap
negara-negara Asia akan membantu pertumbuhan di Thailand, Banglades,
Malaysia, Pakistan, Korsel, dan Indonesia.
Perasaan
sama juga terjadi di Jepang yang mengatakan, ekspansi ekonomi Tiongkok baik
bagi negaranya (47 persen) walaupun secara keseluruhan persentase ini menurun
dari 57 persen dari survei dilakukan pada tahun 2011. Kondisi ini berbeda di
Filipina dan Vietnam ataupun India, di mana pluralitas masyarakatnya (46
persen) menganggap keberhasilan ekonomi Tiongkok buruk bagi negara-negara
tersebut.
Kita
di Asia Tenggara melihat persoalan regionalisme dan multilateralisme dari
beberapa faktor. Pertama, upaya Tiongkok mengembangkan peranannya dalam
menata aliansi tata dunia baru ke luar dari bayang-bayang Pan-Amerikana,
melalui pembentukan bank baru dalam lingkup kerja sama multilateral BRICS,
akan menimbulkan reaksi tandingan ketika hegemoni global negara-negara Barat
merasa terancam oleh upaya ini.
Kedua,
berbagai mekanisme regional dan multilateral yang digagas ASEAN selama ini
melalui berbagai forum, seperti ARF, EAS, dan ASEAN+3, perlu mencari terobosan
lain untuk meredam aksi-reaksi tindakan unilateral ataupun mempertajam
konflik regional dalam skala yang lebih luas.
Salah
satu upaya penting adalah memberikan tekanan penting mekanisme ASEAN+3 (RRT,
Korsel, dan Jepang) sebagai stabilisator dan dinamisator regionalisme dan
multilateralisme di sejumlah bidang. Sejak awal abad ke-21, mekanisme ASEAN+3
telah melalui berbagai ujian mengatasi kendala dan krisis ketika kesepahaman
kerja sama bagi keadilan dan kesejahteraan mampu menjadikan kawasan Asia sangat
dinamis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar