Setelah
Dul Dipulangkan, Lalu Apa?
Reza Indragiri Amriel ;
Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne, Anggota
World Society of Victimology
|
JAWA
POS, 18 Juli 2014
’’Kenapa Dul nakal, ya karena bapaknya
nakal’’ (Ahmad Dhani, 16-7-2014).
PUTUSAN
majelis hakim yang menyidang ’’D’’, putra selebriti yang telah menewaskan
sekian korban jiwa dan beberapa lainnya terluka dalam kecelakaan lalu lintas
sudah tepat. ’’D’’ divonis bersalah dan diberi ganjaran berupa dikembalikan
ke orang tuanya.
Kendati
melegakan bagi ’’D’’ dan orang tuanya, sanksi yang berwarna restorative justice itu sesungguhnya
patut disimak dengan kepala tertunduk. Pasalnya, dengan mengembalikan anak ke
keluarga atau orang tuanya, hukum telah memosisikan bahwa bukan hanya anak
yang bermasalah. Orang tua, dengan hukuman sedemikian rupa, dianggap sebagai
bagian dari masalah sehingga harus mempertanggungjawabkan perbuatan si anak.
Di
situlah kekhususan yang memang sudah sepatutnya diadakan dalam
persidangan-persidangan yang menempatkan anak sebagai pihak yang berhadapan
dengan hukum. Begitu pula dalam kasus ’’D’’, dia sewajarnya dijatuhi ganjaran
sedemikian rupa karena –setidaknya– tiga alasan. Pertama, penghukuman yang
menyakitkan (punitive) niscaya
tidak akan berefek positif bagi modifikasi tabiat dan tindak tanduk anak.
Kedua, keluarga diasumsikan tempat belajar paling ideal bagi anak, termasuk
belajar ulang tentang kepatuhan pada aturan. Ketiga, relasi antara pelaku
(anak) dan keluarga korban telah terbangun sedemikian positif. Bagi anak,
situasi tersebut perlu terus dipelihara demi berlanjutnya pemulihan kondisi
korban dan keluarganya serta pembenahan perilaku si pelaku (’’D’’) sendiri.
Pertanyaan
yang belum terjawab sebagai implikasi putusan hakim adalah bagaimana proses
belajar ulang di lingkungan keluarga akan berlangsung?
Karena
putusan hakim menempatkan ’’D’’ dan orang tuanya sebagai pihak yang sama-sama
bermasalah, intervensi psikoedukatif semestinya tidak difokuskan sebatas pada
diri ’’D’’. Secara komprehensif dan simultan, patut pula diselenggarakan
program edukasi ulang bagi orang tua ’’D’’. Penanganan yang dilakukan secara
parsial tidak akan memadai bagi proses perubahan pada diri ’’D’’. Apalagi sekian
banyak teori menekankan peran orang tua sebagai acuan bagi anak dalam
berperilaku patuh terhadap norma sehingga begitu krusialnya harapan akan
membaiknya budi pekerti ’’D’’ juga bertitik tolak pada fungsi orang tua
sebagai sosok panutan. Jadi, alih-alih pendekatan yang tertuju pada individu
semata, lebih tepat jika diadakan intervensi berbasis keluarga.
Guna
memastikan bahwa program penanganan menyeluruh itu terlaksana dengan baik,
dibutuhkan supervisi teratur oleh pihak yang kompeten. Atas dasar itulah, ke
depan, putusan-putusan hakim yang mengembalikan anak ke orang tua perlu
dilengkapi dengan perintah kepada otoritas terkait agar menjalankan peran
penyeliaan terhadap anak dan keluarganya.
Otoritas
yang paling patut menerima perintah hakim itu, hemat saya, adalah Komisi
Penanggulangan Anak Indonesia (KPAI). KPAI selanjutnya berkoordinasi dengan
institusi-institusi kemasyarakatan selaku pelaksana peran supervisi sekaligus
edukasi tersebut. Manakala dibutuhkan, cakupan pihak yang dibina juga dapat diperluas.
Misalnya, ke sekolah dan lingkungan sekitar kediaman anak karena toh anak
juga menghabiskan banyak waktunya di dua area tersebut. Tidak hanya
bermanfaat edukatif bagi masyarakat serta memperkuat efek penangkalan agar
anak tidak mengulangi perbuatannya, pelibatan berkala luas juga pada dasarnya
selaras dengan Undang-Undang Perlindungan Anak yang mewajibkan semua kalangan
berperan aktif dalam menjamin terpenuhinya kepentingan terbaik anak.
KPAI
kemudian membuat laporan berkala tentang kondisi anak dan keluarganya selama
pembinaan dilangsungkan. Sebagai wujud pemantauan, KPAI mencantumkan pula
rekomendasi yang diajukan kepada majelis hakim yang telah menyidangkan si
anak.
Apabila
KPAI menilai bahwa anak dan orang tua tidak menunjukkan komitmen nyata menjalani
perintah hakim untuk ’’dikembalikan ke orang tua (guna menjalani edukasi
ulang)’’, pengadilan bisa menjatuhkan sanksi tambahan. Termasuk, yang paling
ekstrem, adalah mencabut kuasa asuh orang tua atas anak tersebut. Kendati
terkesan sadis, pemisahan atau pencabutan kuasa asuh dilakukan sebagai opsi
terakhir yang disertai dengan penilaian dari pihak berkompeten serta diambil
sebagai jalan guna memenuhi kepentingan terbaik anak secara lebih terjamin.
Berbagai
riset menemukan bahwa mekanisme keadilan restoratif menurunkan peluang
berulangnya aksi anak, di samping lebih memuaskan korban dan keluarganya.
Sebab, dua pihak bisa berkomunikasi secara pribadi dan intens sehingga
tuntutan-tuntutan korban pun bisa lebih diakomodasi oleh pelaku dan
keluarganya. Tercegahnya anak mengulangi perbuatan jahat sama artinya dengan
kian terlindunginya masyarakat dari potensi bahaya yang dulunya dapat
sewaktu-waktu ditampilkan si anak tersebut. Konstruktifnya efek yang
ditimbulkan keadilan restoratif pada gilirannya meningkatkan kepercayaan
publik terhadap lembaga peradilan. Demikian gambaran idealnya.
Agar
penerapan keadilan restoratif dalam kasus ’’D’’ juga berefek sepositif itu,
perhatian tidak cukup berhenti setelah jatuhnya putusan hakim. Penerapan alur
penerapan ganjaran seperti diuraikan di atas, dengan demikian, tidak
menjadikan ’’anak dikembalikan ke orang tua’’ sebagai sesuatu yang bersifat
final. Bunyi putusan sedemikian rupa lebih tepat dijadikan sebagai semacam
’’hukuman’’ percobaan atau pengenaan wajib lapor. Format semacam itu
sekaligus mengikat hakim untuk tetap hirau (tidak berlepas tangan) pada
kondisi anak yang telah dijatuhi vonis dan sanksi.
Penjatuhan
saksi berupa pengembalian ’’D’’ ke orang tuanya patut diapresiasi. Inisiatif
keluarga ’’D’’ untuk berinteraksi dan memenuhi tuntutan keluarga korban juga
merupakan bentuk group conferencing
(salah satu perwujudan keadilan restoratif) yang bernilai positif.
Tinggal
bagaimana putusan hakim tersebut dapat berimbas konstruktif bagi ’’D’’,
keluarganya, dan masyarakat, membutuhkan peran serta lembaga-lembaga terkait.
Di situlah terlihat bahwa ketika otoritas yudisial sudah memperlihatkan
progresivitasnya dalam menangani perkara hukum dengan anak selaku terdakwa,
kesiapan yang sederajat dari institusi-institusi lain justru belum tampak
guna menindaklanjuti putusan hakim seperti itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar