Profesor
Kehormatan
Muhadjir Darwin ;
Guru Besar Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM, Peneliti pada Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan UGM
|
KOMPAS,
17 Juli 2014
PRESIDEN
Susilo Bambang Yudhoyono baru saja memperoleh gelar profesor bidang Ilmu
Ketahanan Nasional dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelumnya mantan
Kepala BIN AM Hendropriyono menerima gelar serupa dalam Ilmu Intelijen. Kemudian
muncul pertanyaan, mengapa keduanya bisa memperoleh gelar profesor, padahal
mereka bukan dosen di perguruan tinggi? Bukankah pencalonan mereka tidak
melalui pemeriksaan berkas yang superketat dari Dikti seperti yang dialami
para calon guru besar di perguruan tinggi?
Akan
tetapi, pertanyaan seperti itu menjadi tidak relevan lagi sekarang ini karena
jabatan profesor dapat disematkan kepada pengemban profesi apa pun, termasuk
perwira militer, politikus, atau pejabat negara. Dasar hukumnya UU No 12/2012
dan Permendiknas No 88/2013. Kedua
peraturan itu diterbitkan pada era pemerintahan SBY.
Jika
dicermati isi kedua peraturan tersebut, secara implisit Mendikbud dapat
mengangkat guru besar yang bersifat kehormatan karena untuk mendapatkan gelar
ini, calon tidak perlu berstatus sebagai dosen tetap dan telah melaksanakan
Tri Darma Perguruan Tinggi dan kepadanya tidak diberikan tunjangan jabatan.
Pemberian
gelar guru besar ini tampaknya dapat disejajarkan dengan pemberian gelar
doktor honoris causa oleh universitas kepada tokoh yang mempunyai prestasi
luar biasa dalam bidang tertentu.
Landasan
hukum yang digunakan untuk memberikan gelar tersebut adalah ketentuan dalam
UU No 12/2012 Pasal 72 (5) yang berbunyi: ”Menteri
dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan
akademik profesor atas usul perguruan tinggi”.
Istilah
”kompetensi luar biasa” itu dijelaskan dalam Permendikbud No 88/2013 Pasal 2
(2) yang berbunyi: ”yang bersangkutan
memiliki karya yang bersifat pengetahuan tacit yang memiliki potensi untuk
dikembangkan menjadi pengetahuan eksplisit di perguruan tinggi dan bermanfaat
untuk kesejahteraan umat manusia”.
Bukti
yang dipakai Kemdikbud untuk menunjukkan bahwa penerima gelar tersebut
memenuhi kriteria yang dimaksud adalah bahwa penerima gelar itu sudah
berhasil mendirikan pendidikan tinggi dalam ilmu baru yang belum pernah
diajarkan di tempat lain. Hendropriyono mendirikan Sekolah Tinggi Intelijen
Negara, sementara SBY mendirikan Universitas Pertahanan Nasional.
”Tacit” ke eksplisit
Agar
dapat diketahui ketepatan pemberian gelar tersebut, perlu terlebih dahulu
dikaji apakah itu ”pengetahuan tacit”. Kapan pengetahuan tacit
bertransformasi menjadi pengetahuan eksplisit? Apakah pendirian pendidikan
tinggi oleh dua penerima gelar profesor tersebut telah memadai sebagai bukti
keberhasilan keduanya melakukan transformasi pengetahuan dari tacit ke
eksplisit?
Pengetahuan
tacit adalah pengetahuan yang tidak tertulis, tidak terucapkan atau
tersembunyi yang dimiliki orang berdasarkan pada emosi, pengalaman,
imajinasi, intuisi, observasi, dan akumulasi informasi. Sementara itu, pengetahuan eksplisit adalah
pengetahuan yang bersifat formal dan sistematis. Pengetahuan seperti ini
mudah dikomunikasikan dan dibagikan kepada orang lain.
Di
dunia ilmu contoh nyata dari kapasitas melakukan transformasi pengetahuan
seperti itu ada pada Bapak Ilmu Manajemen Frederick Winslow Taylor, seorang
insinyur dan manajer perusahaan di Amerika Serikat pada awal abad ke-20, yang
mampu mempelajari cara-cara organisasi beroperasi atau cara-cara perusahaan
melakukan proses produksi secara ilmiah sehingga melahirkan teori yang
disebut scientific management.
Sebelum
Taylor, proses produksi di pabrik sangat bergantung kepada penguasaan rule of thumb, atau pengetahuan tacit
dari para pekerjanya. Pengetahuan
tersebut diperoleh oleh buruh secara personal berdasarkan pengalaman
masing-masing sekian tahun magang di perusahaan.
Namun,
Taylor mampu meneliti secara ilmiah cara bekerja seperti itu dan melahirkan
teori-teori manajemen seperti teori Ban
Berjalan, one best method, dan Time and Motion yang dapat dipelajari
dan dipraktikkan oleh semua pekerja di perusahaan sehingga terjadi efisiensi
produksi. Teori Taylor ini banyak memengaruhi para sarjana dan praktikus
manajemen dan Taylorisme menjadi satu paradigma tersendiri dalam sejarah ilmu
administrasi atau manajemen.
Apakah
kedua penerima gelar profesor tersebut di atas mempunyai kualifikasi seperti
tokoh yang dicontohkan tadi? Jawaban pertanyaan ini dapat dicari dari salah
satu alasan mengapa mereka mendapatkan gelar tersebut.
Tidak ada hubungan
Hendropriyono
berjasa mendirikan Sekolah Tinggi Intelijen Negara. Sementara itu, SBY
berjasa telah mendirikan Universitas Pertahanan Nasional. Keduanya dianggap
sebagai ilmu baru. Mendirikan lembaga pendidikan tinggi baru tidak secara
otomatis dapat disebut melakukan transformasi pengetahuan dari tacit ke
eksplisit meskipun bidang ilmu yang diajarkan di sekolah tersebut dipandang
baru. Apalagi jika semua pengetahuan yang diajarkan di sekolah tersebut
merupakan pengetahuan eksplisit yang telah lama tersedia di literatur, bukan
pengetahuan eksplisit yang secara orisinal dihasilkan oleh yang bersangkutan
dan diakui oleh komunitas ilmuwan di bidangnya sebagai baru dan berpengaruh.
Bukti
karya transformasi akan tampak jika dapat ditelusuri karya ilmiah yang
bersangkutan. Paling mudah, karya ilmiah yang dimaksud dapat ditelusuri dari
tema disertasi para penerima gelar tersebut.
Hendropriyono
menyusun disertasi untuk sekolah S-3-nya di Fakultas Filsafat UGM berjudul ”Terorisme dalam Kajian Filsafat
Analitika”. Disertasi ini
seluruhnya menganalisis pengetahuan eksplisit yang telah lama ada, bukan
mentransformasi pengetahuan tacit.
Judul ini pun berbeda dengan bidang ilmu yang dilekatkan untuk gelar
guru besarnya, yaitu Ilmu Intelijen.
Judul
disertasi SBY dalam studi S-3-nya di IPB adalah ”Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi
Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal”.
Disertasi ini juga membahas pengetahuan eksplisit yang telah lama ada. Kajian ini pun juga tidak ada hubungannya
dengan bidang ilmu dari gelar guru besar yang diberikan, yaitu Ilmu
Pertahanan Nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar