Pertahanan
Siber
Amril Aman ; Kepala Bagian Riset Operasi, Departemen Matematika IPB;
Anggota Dewan Riset Daerah Provinsi DKI Jakarta
|
KOMPAS,
03 Juli 2014
SALAH satu hal yang disampaikan Joko Widodo dalam visi misinya pada
debat ketiga calon presiden terkait dengan ketahanan nasional adalah
pertahanan siber. Permasalahan ini hal yang amat strategis di masa
depan. Sayang, baik moderator maupun
Prabowo tidak melihat urgensi pertahanan siber (cyber) untuk diangkat pada
debat tersebut.
Saat ini kita hidup dan beraktivitas dalam dua ruang: ruang fisik dan
ruang siber. Semua aktivitas fisik
kita lakukan pada ruang fisik. Saat
yang sama kita juga beraktivitas di ruang siber dengan menggunakan komputer atau telepon
seluler; berinteraksi melalui e-mail, Facebook, Twitter, dan berbagai media
sosial lainnya; melakukan transaksi perdagangan dan perbankan; membaca
berita; serta mencari berbagai informasi melalui internet.
Ruang siber telah membebaskan kita dari berbagai pembatas spasial,
lembaga, negara, dan sebagainya.
Berbagai keputusan yang kita ambil akan banyak ditentukan oleh
informasi yang kita peroleh dari ruang siber.
Aktivitas dalam ruang siber akan mendominasi dan menentukan aktivitas
kita dalam ruang fisik.
Melalui ruang siber kita dapat mengirim pesan, yang dalam beberapa
detik dapat diterima rekan di belahan dunia lain, memublikasikan pandangan
kita yang menjangkau banyak orang, mencari informasi yang kita butuhkan, dan
sebagainya. Namun, di balik kenyamanan
itu, ada risiko akan adanya virus, pencurian informasi, dan sebagainya.
Ruang siber juga dapat digunakan sebagai medium untuk melakukan
sabotase, seperti diberitakan New York
Times (1/6/2012) bahwa AS dan Israel bertanggung jawab atas virus Stuxnet untuk sabotase pada fasilitas
pengayaan nuklir Iran. Artinya, ruang siber juga telah digunakan untuk
kegiatan spionase. Menurut analisis Citizen Lab dari University of Toronto di dalam buku Black Code oleh Ronald J Deibert (2013), komputer Kementerian
Luar Negeri Indonesia pernah diinfiltrasi oleh hackers yang diduga terkait dengan Pemerintah Tiongkok.
Pada awal Juni 2013, dunia dikejutkan oleh informasi yang dibocorkan
Edward Snowden, seorang konsultan komputer
pada National Security Agency
(NSA), salah satu lembaga spionase
AS. Snowden membuka berbagai kegiatan
spionase pada ruang siber yang telah dilakukan Pemerintah AS.
Salah satu informasi yang dibocorkan terkait Indonesia. Bocoran itu antara lain mengungkapkan: intelijen Australia telah mengumpulkan
berbagai informasi penting dan
menyadap telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Negara, dan
beberapa pejabat tinggi Indonesia pada Agustus 2009. Respons pemerintah lebih
banyak bersifat marah, emosional, seperti meminta penjelasan Australia dan
membatalkan beberapa program kerja sama.
Tidak terlihat usaha mencari tahu informasi apa saja yang telah mereka
peroleh, apa akibatnya bagi kita, bagaimana mereka bisa melakukan itu, dan
usaha apa yang harus dilakukan agar hal itu tidak terulang lagi.
Sepertinya ketangguhan ruang siber kita dalam menangkal infiltrasi dan
spionase tidak lebih baik daripada sebelum kejadian ini. Pemerintah kita belum memiliki kesadaran
akan pentingnya pertahanan siber.
Dalam kaitan ini, visi Joko Widodo terkait pertahanan siber jadi amat
penting.
Spionase
siber
Pertahanan siber harus dibangun atas dasar pemahaman akan potensi
pemanfaatan ruang siber untuk kegiatan spionase. Ada beberapa cara yang mungkin terjadi. Pertama, infiltrasi ke komputer atau server
tertentu. Tujuannya untuk mendapatkan informasi dan aktivitas yang terjadi di
komputer tersebut. Hal ini dapat
diatasi dengan membuat penangkalnya.
Dengan semakin canggihnya program untuk infiltrasi ini, diperlukan
penangkal yang juga semakin canggih.
Kedua, penyadapan informasi
melalui jaringan internet. Gadget yang
digunakan untuk terhubungkan ke internet, kabel program, jaringan fiber
optik, dan gelombang radio yang dilewati oleh data merupakan titik-titik di
mana penyadapan dapat terjadi. Karena
data dikirim melalui ruang terbuka, pastilah data itu dapat disadap pada
suatu titik di jaringan internet. Hal
ini dapat ditanggulangi dengan mengirimkan data yang telah dienkripsi
(disandi). Walaupun data ini disadap, informasi yang dikandungnya tidak dapat
ditafsirkan.
Ketiga, pemanfaatan komputer atau telepon seluler sebagai alat
penyadap. Gleen Greenwald, seorang
jurnalis yang memperoleh berbagai dokumen rahasia NSA dari Snowden, dalam
bukunya berjudul No Place to Hide (2014), menceritakan pertemuan pertamanya
di Hongkong dengan Snowden. Dalam pertemuan itu, Snowden meminta agar
baterai dari semua telepon seluler harus dilepas. Snowden menceritakan bahwa NSA punya
teknologi untuk mengaktifkan telepon seluler, kemudian membuatnya menjadi
alat pendengar sehingga semua pembicaraan dalam ruangan itu dapat didengar
oleh NSA. Kalau baterai tidak dapat
dilepas, telepon itu harus dimatikan dan disimpan di dalam kulkas.
Spionase
siber AS
Informasi yang dibocorkan Snowden memberikan gambaran bagaimana
intensifnya spionase siber yang dilakukan AS.
Sebagian besar trafik internet global berjalan melalui jaringan
internet yang dikendalikan AS. Hal ini
memberikan kemudahan bagi AS dalam melakukan penyadapan.
Beberapa informasi lain yang dibocorkan Snowden, antara lain,
mengharuskan perusahaan telekomunikasi Verizon menyerahkan metadata semua
komunikasi telepon melalui perusahaan itu;
Microsoft membantu NSA dan FBI mengumpulkan data terkait pengguna
produknya (komunikasi melalui Skype, penggunaan cloud computing, dan
e-mail); mengharuskan perusahaan
Google, Microsoft, Yahoo!, Facebook, Apple, dan beberapa perusahaan lain
untuk memberikan akses langsung bagi NSA pada semua data pelanggan, serta
mengharuskan semua perusahaan itu untuk merahasiakan hal ini dengan ancaman
pidana.
NSA juga memiliki proyek dengan kode Boundless Informant, yang
tujuannya mengumpulkan data komunikasi telepon dan e-mail dari seluruh
dunia. Prinsip dasar NSA saat ini adalah
mengumpulkan dan menyimpan semua data, dan data itu digunakan jika
diperlukan.
Dalam bukunya berjudul The
Snowden Files (2014), Luke Harding menuliskan bahwa spionase dilakukan
baik terhadap musuh maupun teman.
Spionase terhadap musuh dilakukan untuk merusak, seperti yang
digambarkan oleh Presidential Policy
Directive 20, dokumen 18 halaman yang dikeluarkan pada Oktober 2012
dengan kategori ”sangat rahasia”. Dokumen ini merupakan perintah rahasia
Obama kepada pejabat keamanan dan intelijen seniornya untuk membuat daftar
potensi target luar negeri guna dijadikan target cyber-attacks.
Di sisi lain, spionase terhadap teman dilakukan untuk mendapatkan
berbagai informasi internal yang bersifat rahasia untuk mengetahui pemikiran
dan posisi yang sesungguhnya dari teman terkait hal-hal tertentu. Informasi ini amat bermanfaat untuk memenangi
negosiasi dan diplomasi internasional.
Hal ini tergambarkan pada surat yang dikirimkan Assistant Secretary of State Thomas Shannon kepada pimpinan NSA
sebagai berikut: ”The more than 100
reports we received from the NSA gave us deep insight into the plans and
intentions of other Summit participants, and ensure that our diplomats were
well prepared to advice President Obama and Secretary Clinton on how to deal
with contentious issues, such as Cuba, and interact with difficult
counterparts, such as Venezuelan President Chavez.”
Jelas, dalam negosiasi tersebut para diplomat AS telah mendapatkan
berbagai informasi dari NSA terkait posisi dan strategi negosiasi pihak
lawan, dan ini amat membantu dalam memenangi negosiasi.
Informasi yang telah dibocorkan Snowden telah membuka mata kita akan
teknologi dan intensitas spionase
siber yang telah dilakukan AS. Tanpa
pertahanan siber yang baik, tanpa disadari kita seperti ”telanjang” di mata pihak lain.
Jadi, siapa pun presiden kelak, peningkatan kemampuan pertahanan siber
suatu keharusan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar