“Obor
Rakyat” dan Kebangsaan
Atmakusumah ; Pengamat Pers; Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo
|
KOMPAS,
03 Juli 2014
KETIKA Rancangan Undang-Undang
Pers yang berlaku sekarang dibahas di Komisi I DPR pada awal masa Reformasi,
seorang anggota DPR mengatakan bahwa hak hukum warga tidak dapat dibatasi. Artinya,
setiap warga yang merasa dirugikan atau nama baiknya dicemarkan oleh
pemberitaan pers dapat menempuh jalur hukum meski tersedia jalur-jalur lain
yang lebih praktis, yaitu menggunakan hak jawab dan mediasi oleh Dewan Pers.
Malahan, warga atau kelompok masyarakat masih tetap dapat menempuh jalur
hukum sekalipun sudah melaksanakan hak jawab dan memperoleh jasa baik Dewan
Pers sebagai mediator. Para anggota DPR rupanya tak ingin membatasi peluang
bagi publik dalam upaya menyelesaikan konflik dengan pers akibat pemberitaan.
Penegasan ini diberikan kepada para pendukung kebebasan pers yang
menjadi narasumber pemerintah. Mereka diminta Menteri Penerangan Muhammad
Yunus Yosfiah untuk mendampingi para perancang UU No 40/1999 tentang Pers
dari Departemen Penerangan dalam pembahasan bersama para anggota DPR pada
pertengahan 1999. UU ini disetujui DPR pada 13 September tahun itu dan ditandatangani
Presiden BJ Habibie sebagai pengesahan 10 hari kemudian, 23 September 1999.
Pembicaraan dalam sidang Komisi I DPR itu saya ungkapkan sekarang dalam
kaitan penerbitan dan peredaran selebaran Obor Rakyat menjelang Pemilu
Presiden 9 Juli 2014.
Seandainya Obor Rakyat diakui sebagai media pers sekalipun, pihak yang
dirugikan dan nama baiknya dicemarkan oleh tulisan-tulisannya dapat menempuh
jalur hukum. Bahkan, apabila selebaran ini dipandang sebagai media pers, para
pengelola Obor Rakyat dapat terkena sanksi moral yang berat jika benar
kekeliruan isi laporan yang disiarkan sudah mereka ketahui sebagai informasi
bohong atau fiktif sebelum dimuat dalam media ini. Menyiarkan berita bohong sebagai kebenaran
merupakan satu dari empat pelanggaran Kode Etik Jurnalistik paling berat
karena wartawan yang bertanggung jawab atas penyiaran laporan fiktif itu
harus melepaskan profesi kewartawanan selama-lamanya. Mereka harus secara
seketika diberhentikan dari perusahaan pers tempatnya bekerja dan dari
organisasi wartawan jika menjadi anggota.
Tiga pelanggaran berat etika pers lainnya adalah melakukan plagiat
dengan mencontek karya jurnalistik media lain, menerima suap sehingga bentuk
pemberitaannya mengikuti keinginan pemberi suap, serta mengungkapkan
narasumber anonim yang konfidensial atau dirahasiakan dan mengakibatkan
narasumber itu atau keluarganya terancam jiwanya.
Akan tetapi, isi selebaran Obor Rakyat tentang calon presiden Joko
Widodo bukan sekadar menyangkut masalah pencemaran nama baik atau penistaan.
Pada hemat saya, persoalan penerbitan ini tidak sesederhana itu. Uraian dalam
tulisan-tulisan Obor Rakyat yang bernuansa anti-Tionghoa dan anti-non-Muslim
menyangkut persoalan kebangsaan yang dibangun oleh para pejuang kemerdekaan
kita sejak jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu bahwa kita dipersatukan
tanpa memperbedakan asal-usul suku dan ras serta agama dan kepercayaan.
Propaganda
politik
Dalam situasi seperti sekarang ini di Indonesia, yang sedang
memilah-milah sosok capres, adalah lazim jika kehidupan kita diramaikan oleh
gencarnya kampanye propaganda politik tentang para calon pemimpin negara itu.
Akan tetapi, kita tentulah berharap bahwa propaganda itu tidak menyimpang
dari kejujuran mengungkapkan fakta-fakta yang benar. Kampanye propaganda
politik di Indonesia dewasa ini, memang, tidak separah peristiwa yang pernah
dialami di beberapa negara lain. Akan tetapi, sebaiknya tetap direnungkan
akibat-akibat yang pernah mengusik martabat kelompok masyarakat yang menjadi
sasaran propaganda itu.
Pada abad ke-20, kita menyaksikan sejumlah kampanye propaganda
politik melalui media komunikasi
massa, termasuk media pers, yang menimbulkan akibat sangat buruk terhadap
citra kebangsaan di negara-negara itu. Kampanye itu dilakukan antara lain
oleh pemimpin Nazi di Jerman, Adolf Hitler; Presiden Slobodan Milosevic di
Yugoslavia; dan para pemimpin suku Hutu di Rwanda.
Kampanye propaganda yang dijalankan oleh Milosevic menggunakan teknik
Hitler di Jerman dan di negara-negara yang didudukinya—untuk ”menghabiskan”
kaum Yahudi—menjelang dan selama Perang Dunia Kedua. Milosevic adalah
Presiden Republik Federal Yugoslavia yang telah terpecah-pecah, dan waktu itu
tinggal terdiri dari Serbia dan Montenegro.
Kasus
Yugoslavia dan Rwanda
Seperti Hitler, Milosevic berupaya mengendalikan media siaran pada 1986
sampai 1991. Ia menggunakan media
siaran di Serbia untuk menciptakan suasana rasa takut dan kebencian penduduk
Serbia terhadap warga Bosnia dengan menyebutkan pesan palsu dan dilebih-lebihkan—seolah-olah
kaum Muslim Bosnia dan warga Kroasia telah menyerang orang-orang Serbia.
Kelebihan penggunaan media massa oleh Milosevic adalah pemanfaatan siaran
televisi—yang belum berkembang pada masa kekuasaan Hitler.
Milosevic diadili oleh Mahkamah Kejahatan Internasional bagi Bekas
Yugoslavia (International Criminal
Tribunal for the Former Yugoslavia) pada Februari 2002 di Den Haag,
Belanda. Namun, ia tidak sempat mendapat vonis dari mahkamah yang dibentuk
oleh PBB itu karena mendapat serangan jantung dan meninggal pada 11 Maret
2006 di dalam penjara.
Kampanye propaganda anti-suku Tutsi melalui media komunikasi massa di
Rwanda, Afrika, sama parahnya dan mengakibatkan banyak korban tewas.
Stasiun Radio Television Libre
des Mille Collines (RTLMC), yang siarannya berbahasa setempat dan dalam
bahasa Perancis, digunakan para pengelolanya untuk mendukung kampanye para
pemimpin suku Hutu pada 1994—yang mengakibatkan tindakan genosida terhadap
suku Tutsi. RTLMC adalah singkatan nama dalam bahasa Perancis, yaitu Radio
dan Televisi Bebas Seribu Bukit. ”Ranah
Seribu Bukit” adalah julukan untuk Rwanda.
Kampanye propaganda untuk menindas suku Tutsi juga dilakukan oleh
majalah dwi-mingguan Kangura menjelang peristiwa genosida. Berita sensasional
itu tersebar dari mulut ke mulut, terutama di kalangan warga buta aksara,
atau majalah itu dibaca dalam pertemuan-pertemuan.
Propaganda kedua media massa itu diarahkan kepada pengembangan suatu
negara yang bangsanya diharapkan ”murni
suku Hutu.” Jadi, serupa dengan mimpi Hitler bahwa Jerman harus
didominasi oleh ”keturunan berdarah
Arya, ras unggul yang harus dimurnikan dari ras-ras lain yang derajatnya di
bawah Arya”.
Setelah konflik di Rwanda berakhir dan pemerintah pendukung suku Hutu
dikalahkan, PBB membentuk Mahkamah Kejahatan Internasional bagi Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda)
untuk mengadili kalangan yang terlibat genosida, termasuk para pengelola
stasiun radio dan televisi RTLMC serta majalah Kangura. Sidang mahkamah itu
tahun 2000 di Arusha, Tanzania, menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara untuk
Georges Ruggiu, wartawan dan penyiar RTLMC,
karena siaran-siarannya menghasut untuk melakukan tindakan kekerasan
yang mengarah ke genosida bagi suku Tutsi. Ia warga keturunan Italia-Belgia,
satu-satunya penduduk bukan warga Rwanda yang dituduh terlibat.
Pada Desember 2003, sidang mahkamah itu menetapkan vonis hukuman
penjara seumur hidup bagi Hassan Ngeze, pendiri dan pemimpin redaksi majalah
dwi-mingguan Kangura. Ia juga turut memimpin Koalisi untuk Pertahanan
Republik (Coalition for the Defense of
the Republic/CDR), partai politik fasis Rwanda yang membantu menghasut
genosida. Juga hukuman penjara seumur hidup bagi Ferdinand Nahimana, pendiri
RTLMC. Walaupun hanya seorang pendiri, ia dipersalahkan telah membiarkan
wartawan dan penyiar stasiun radio dan televisi itu untuk melancarkan
siaran-siaran yang menghasut tindakan
kekerasan yang mengarah ke genosida suku Tutsi. Hukuman 35 tahun penjara
dijatuhkan bagi Jean-Bosco Barayagwiza, diplomat Rwanda dan Ketua Komite
Eksekutif RTLMC.
Ketiga terhukum itu naik banding. Putusan November 2007 mengurangi masa
hukuman mereka menjadi 35 tahun, 30 tahun, dan 32 tahun. Mereka dinyatakan
bersalah telah menghasut dan menjalankan tindakan genosida serta melakukan
kejahatan terhadap perikemanusiaan sebelum dan selama masa peristiwa genosida
1994. Seorang penyiar perempuan dari stasiun RTLMC, Valerie Bemeriki, juga
dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh pengadilan berbeda di Rwanda pada
Desember 2009. Ia dipersalahkan telah menghasut dalam siaran-siarannya untuk
melakukan tindakan genosida.
Pemaksaan tujuan politik seperti terjadi di ketiga negara lewat
kampanye propaganda politik—termasuk melalui media komunikasi massa—telah
mengakibatkan situasi yang demikian parah. Kita berharap bahwa penggunaan
selebaran dan terbitan buku, akhir-akhir ini sebagai bagian dari propaganda
politik dalam kampanye pemilihan umum presiden di Indonesia, tidak berlanjut
lebih parah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar