Menentukan
Arah Republik
Wiwin Suwandi ; Pengamat Hukum Tata Negara,
Peneliti Pusat Kajian Konstitusi Universitas Hasanuddin, Makassar
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Juli 2014
TIDAK ada negara yang
mampu berdiri tanpa ditopang demokrasi. Apa pun bentuk dan sistem
pemerintahan yang dianut, tidak akan kuat tanpa ditopang demokrasi. Seburuk-buruknya
demokrasi, dia masih lebih baik daripada tirani. Itu yang dikatakan Plato,
Aristoteles, dan Polybius sejak ribuan tahun lalu.
Demokrasi menopang bentuk
negara kesatuan dan sistem pemerintahan presidensial yang disepakati sebagai
pilihan sejak negara ini diproklamasikan oleh founding parents, enam
dasawarsa silam. Sejak negara yang bernama ‘Indonesia’ ini diproklamasikan
pada 17 Agustus 1945, kita ingin menegakkan demokrasi konstitusional yang
berpihak pada asas daulat rakyat, bukan daulat partai.
Pilpres;
memperkuat demokrasi
Kita memilih demokrasi sebagai
nilai, maka kita siap untuk melaksanakan dan mengawal demokrasi itu. Kita pernah
hidup dalam alam Orde Baru di kala demokrasi dipasung dan dikerangkeng dalam
otoriterisme. Jelas kita tidak ingin sejarah kelam itu terulang kembali.
Karena sekali lagi, seburuk-buruknya demokrasi, dia masih lebih baik daripada
tirani.
Pada 9 Juli besok, kita
akan melaksanakan pemilihan umum calon presiden dan wakil presiden (pilpres).
Tidak lama lagi, kita akan memiliki pemimpin (presiden) yang akan menakhodai
Republik ini lima tahun ke depan. Pemilu adalah perwujudan asas kedaulatan
rakyat. Di sini-kita sebagai rakyat--berdaulat penuh untuk memilih figur yang
dianggap layak menjadi presiden tanpa paksaan, intimidasi, dan intervensi
dari pihak mana pun, termasuk negara. Semuanya bergantung pada kecakapan dan
kecerdasan kita dalam memilih.
KPU sudah mengadakan enam
kali debat calon presiden terkait visi-misi mereka. Ditambah informasi lain
di jagat maya yang berseliweran di antara batas fakta dan opini. Melalui
debat visi-misi tersebut, kita sebagai demos (rakyat) telah memiliki persepsi
tentang rekam jejak dari calon presiden yang akan menuntun kita ke bilik
suara.
Demokrasi menjadi kata
kunci di sini. Mengelola negara dengan tingkat kemajemukan yang tinggi
seperti Indonesia membutuhkan komunikasi dialogis, bukan dengan kekuatan
senjata. Kita hidup sebagai negara-bangsa yang dihuni warga negara, bukan
kekaisaran yang bertumpu pada kekuatan militer.
Sebagai contoh, salah satu
calon presiden dari dua kubu yang bertarung, Jokowi, berkunjung (kampanye) ke
Papua untuk mendinginkan ‘bara dalam sekam’ itu. Kita tahu, selama ini
persoalan Papua semata dilihat dari pendekatan militer, bukan komunikasi
dialogis. Hal ini patut kita sambut baik karena sangat berarti bagi
masyarakat Papua. Setidaknya mereka dirangkul dan diyakinkan bahwa ‘Papua
adalah Indonesia, dan Indonesia adalah Papua’. Papua dan Indonesia dalam
‘satu napas’ yang sama.
Konflik horizontal
bernuansa SARA juga masih menjadi pekerjaan rumah yang gagal diselesaikan
pemimpin sebelumnya. Sejumlah kasus kekerasan bermotif SARA secara
perlahan-lahan mengikis kepercayaan dunia internasional yang selama ini
menganggap Indonesia sebagai contoh negara demokrasi yang toleran. Hal itu
diperparah dengan berlarut-larutnya kasus pelanggaran HAM masa lalu, tanpa
penyelesaian. Kita butuh pemimpin yang menghargai kemajemukan dan tidak
memandang perbedaan sebagai ancaman.
Dalam isu ekonomi,
visimisi dua pasangan caprescawapres menunjukkan pertarungan dua kutub
ideologi ekonomi dunia yang saling bertentangan. Prabowo-Hatta dipandang
lekat dengan kebijakan ekonomi proliberal. Meski Prabowo mengusung jargon
tolak intervensi asing dalam kebijakan ekonomi Indonesia, sulit baginya untuk
meyakinkan publik dengan posisi Hatta Rajasa (sebagai cawapres dan menteri
yang membidangi urusan perekonomian selama di kabinet SBY) yang selama ini
dikenal sebagai penganut paham ekonomi liberal.
Sementara itu lawannya,
Jokowi, lebih dikenal dan lekat dengan konsep ekonomi kerakyatan. Jejak rekam
selama di Solo dan Jakarta setidaknya sudah membuktikan itu. Kebijakan
revitalisasi pasar tradisional dan membatasi izin pendirian supermarket
selama menjadi Wali Kota Solo dipuji oleh banyak pengamat. Revitalisasi Pasar
Tanah Abang, keputusan untuk tidak membuka izin lagi bagi pendirian mal
selama menjabat Gubernur DKI Jakarta sangat lekat dengan konsep ekonomi
kerakyatan itu. Kita butuh pemimpin yang melayani rakyat, bukan melayani
asing.
Menegakkan
konstitusi
Sekali lagi demokrasi.
Jangan melihat kontestasi pilpres dalam ruang sempit; semata-mata perebutan
kursi. Pilpres harus dilihat sebagai satu desain besar filosofi bernegara.
Bagaimana pilpres mampu menghasilkan seorang pemimpin (presiden) yang mampu
menegakkan konstitusi. Pemimpin yang mengenal, dikenal, dan tidak berjarak
dengan rakyatnya. Kita tidak memilih raja dalam rezim monarki, melainkan seorang
presiden dalam rezim republik. Kita memilih presiden yang melayani rakyat, bukan
seorang jenderal yang memerintah pasukan.
Tidak sulit bagi pasangan
capres-cawapres untuk mengerti dan paham dengan apa yang publik butuhkan.
Mereka tidak perlu bertanya pada rakyat secara langsung, meski tidak
dilarang, karena konstitusi sudah menjawab apa yang rakyat butuhkan. Jawaban
itu sudah termuat dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945; salah satunya
adalah ‘memajukan kesejahteraan umum’. Kemudian, dalam upaya penguatan sistem
presidensial, presiden terpilih jangan berkaca, apalagi berguru pada rezim
sebelumnya yang keliru mengelola negara. Dalam desain kabinet untuk
menguatkan sistem presidensial, misalnya, presiden lalu gagap menafsirkan
kewenangan konstitusionalnya sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan.
Konstitusi memberikan
kewenangan penuh kepada presiden untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan
negara, termasuk dalam menentukan desain kabinet. Akan tetapi, kewenangan itu
‘dibonsai’ sendiri oleh presiden dengan lebih mengedepankan lobi politik
ketimbang menggunakan hak prerogatifnya.
Presiden menempatkan
konstitusi sebagai ‘dadu’ dalam arena perjudian politik yang penuh intrik dan
konspirasi melalui pembentukan sekretariat gabungan (setgab) yang dalam
perjalanannya ‘menyandera’ presiden. Presiden menempatkan dirinya sebagai
‘pelayan parpol’, bukan kepala negara.
Desain kabinet bukan
kabinet ahli (zaken kabinet), melainkan kabinet yang diisi politisi.
Penempatan banyak kader parpol untuk mengisi jabatan sejumlah pos kementerian
tidak berdasar prinsip right man in the
right place, tetapi lebih terkesan sebagai politik ‘bagi-bagi kursi’
antara presiden dengan parpol mitra koalisinya. Hasilnya fatal, sejumlah
kementerian yang dijabat kader parpol mendapat rapor merah. Selain kinerjanya
jeblok, beberapa di antaranya juga terlibat kasus hukum.
Seyogianya presiden mafhum
dan paham, menteri yang berasal dari parpol tetap memiliki kepentingan ganda;
antara jabatan sebagai menteri negara dan pengurus parpol. Kondisi ini
menyebabkan kegamangan dan bisa menyebabkan pemerintahan berjalan tidak
efektif. Sebagai organisasi politik, parpol tetap memiliki kepentingan
pragmatis. Menteri yang berasal dari parpol akan terbawa dengan kepentingan
pragmatis itu. Kita menginginkan kabinet ramping-efektif yang diisi kalangan
ahli, bukan kabinet gemuk yang hanya mementingkan kursi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar