Mendukung
Palestina
Ella Devianti ; Jurnalis
|
KORAN
SINDO, 16 Juli 2014
Pecahnya
konflik antara Israel dan Palestina pada Ramadan ini menambah daftar panjang
konflik yang memakan ratusan korban jiwa di Gaza, Palestina. Israel dengan
dalih operasi jaga perbatasan melakukan serangan-serangan brutal yang memakan
korban sipil, termasuk perempuan, anakanak, hingga kaum difabel.
Meski
begitu, masih saja ada kalangan yang menanggapi konflik ini dengan kacamata
sinisme. Menganggap organisasi politik Hamas (Harakat Al Muqawwama Al Islamiyyah) pemicu konflik dengan
melakukan penculikan terhadap tiga warga Israel meski belum ada bukti terkait
keterlibatan Hamas. Terlepas dari konflik terbaru, dunia tidak seharusnya
alpa dengan kondisi Palestina selama ini. Hingga detik ini Palestina masih
terjajah di negeri sendiri. Masuknya Palestina sebagai negara peninjau di PBB
pada 2012 tampaknya tak berpengaruh banyak terhadap kebijakan luar negeri
Israel.
Tidak
terhitung berapa perjanjian dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilanggar
Israel, termasuk penggusuran paksa wilayah Palestina di Tepi Barat. Israel
juga terbukti mencederai demokrasi tepat setelah terpilih organisasi politik
Hamas pada pemilu 2006. Alihalih mengakui kemenangan Hamas, Israel malah
memberlakukan blokade ekonomi terhadap Gaza pada 2007.
Saya
berkesempatan mengunjungi Gaza pada Oktober 2012. Situasi di Gaza saat itu
memang memprihatinkan. Sepanjang perjalanan dari perbatasan Rafah menuju Gaza
Utara beberapa bangunan hancur terbengkalai. Hanya satu dua mobil tua
terlihat melintas.
Sesekali
tampak gerobak sayur yang ditarik keledai berjalan lambat di jalanan yang
lengang. Geliat ekonomi Gaza baru terasa di tengah kota. Warung internet yang
merangkap pusat pembelian sim card telepon didatangi beberapa wartawan dan
mahasiswa. Yang menarik, saat saya mengaktifkan sim card lokal, data wilayah
yang terbaca bukanlah Jalur Gaza, melainkan Israel. Seorang rekan jurnalis
malah tidak bisa mengaktifkan handycam-nya.
Tiap kali dinyalakan, layar handycam
bertuliskan kalimat pemberitahuan bahwa posisi handycam bisa dilacak melalui
satelit. Insiden handycam tak
membuat kami jeri.
Hari
itu juga kami putuskan mengitari pusat kota dan mampir ke Pasar Gaza. Sekilas
aktivitas jual beli tampak berjalan normal, tapi ternyata mayoritas produk
yang dijual buatan Israel. Sisanya berasal dari Tepi Barat Palestina, Turki,
dan Mesir. Yang paling menarik adalah penggunaan mata uang shekel, mata uang resmi Israel.
Pemerintah di Gaza memang tidak diperbolehkan memiliki mata uang sendiri. Ini
artinya kendali ekonomi sepenuhnya di tangan Israel. Tak puas memegang tali
kekang ekonomi Gaza, Israel juga berusaha memutus mata pencaharian warga.
Kebun
kurma dan buah tin kerap hancur terkena serangan roket. Pabrik-pabrik tutup
akibat pelarangan ekspor. Masa depan nelayan juga di ambang krisis. Seorang
nelayan saat saya tanya mengenai hasil tangkapan menunjukkan ikan kecil di
tangannya. ”Ini bukanlah ikan. Kucing
saja tidak akan mau makan!” Ucapnya menahan marah. Sejak blokade
diberlakukan, Israel memang melarang nelayan di Gaza melaut lebih dari 300
meter dari bibir pantai. Padahal biasanya mereka menangkap ikan sampai 5
kilometer dari darat.
Jumlah
nelayan akhirnya menyusut drastis dari lima ribu hingga tinggal ratusan saja.
Jika melanggar aturan, tentara patroli laut Israel akan memberi tembakan
peringatan atau bahkan memenjarakan mereka. Masuk penjara Israel adalah mimpi
buruk. Hingga kini ada lima ribuan warga Palestina yang meringkuk di balik
penjara Israel. Dua ratus di antaranya ditahan tanpa proses pengadilan.
Seribuan lebih yang sakit tidak mendapat perawatan medis. Puluhan lain
mengalami sakit mental dan cacat fisik akibat penyiksaan tentara Israel.
Usaha Hamas membebaskan para tahanan tercatat dalam tinta sejarah.
Tentara Israel,
Gilad Shalit, ditangkap Hamas pada 2006 dan ditahan selama lima tahun sebelum
kemudian ditukar dengan seribu lebih tahanan Palestina pada 2011. Pencapaian
yang hampir mustahil terjadi lewat jalur diplomasi. Warga Palestina pun
menyambut haru kedatangan keluarga hasil pertukaran tahanan. Namun,
setelahnya Israel kembali menangkapi puluhan tahanan yang bebas dengan alasan
sumir. Berbagai peristiwa semakin menunjukkan sikap permusuhan Israel
terhadap seluruh warga Palestina.
Tidak
cukup melumpuhkan ekonomi, kebutuhan pokok seperti air pun secara semena-mena
dibatasi. Menurut Badan Urusan Perairan Palestina (Palestinian Water Authority), hingga kini Israel menguasai lebih
dari 85% suplai air dari seluruh sumber air di wilayah Palestina, dan
menyalurkannya ke pemukim Israel. Sementara rakyat Palestina, termasuk Gaza,
hanya mendapatkan 15%. Ketidakadilan tersebut berlanjut dengan pemberlakuan
tarif air bagi warga Palestina dan gratis bagi warga Israel. Padahal
pengelolaan air yang adil sudah pernah dibicarakan dalam Perjanjian Oslo
Pasal 40 Tahun 1995. Namun, lagi-lagi, Israel mengkhianati perjanjian.
Saya
merasakan sendiri bagaimana tidak nyamannya mandi di hotel dengan air yang
asin dan justru membuat kulit terasa lengket.
Sejarah panjang
pengingkaran Israel akan berbagai perjanjian turut mencatatkan pesan bahwa
dunia tidak berdaya melawan arogansi Israel, bahkan PBB sekalipun.
Perundingan demi perundingan berakhir bagai omong kosong. Pada akhirnya
Palestina tetap harus berjuang sendiri demi makanan, air bersih, kesehatan,
keamanan, dan yang paling penting kemerdekaan negaranya.
Jadi mestikah diherankan muncul brigade Al-Qassam saat janji Israel tak lagi
bisa dipegang?
Sayap
militer partai Hamas itu bergerak secara gerilya. Tidak ada yang mengetahui
identitas mereka selain keluarganya. Beruntung, saya berhasil menemui satu
peleton pasukan Al-Qassam saat patroli malam. Stigma ganas yang melekat pada
brigade ini sama sekali tidak terasa saat berbincang dengan mereka.
Kebanyakan dari mereka masih muda, bahkan ada yang umurnya baru 16 tahun.
Profesinya pun bermacam-macam, mulai dari mahasiswa, dosen, hingga pekerja
pabrik. Mereka secara sadar bergabung tanpa dibayar sepeser pun.
Meski
antusiasme warga Palestina tinggi, ada seleksi ketat yang membuat tidak semua
orang bisa bergabung. Kriterianya antara lain kemampuan menghafal Alquran,
menjalankan salat berjamaah di masjid tiap waktu, hingga tidak memiliki
tanggungan utang apa pun dan diikhlaskan keluarganya. Meski berasal dari
sipil, kemampuan pasukan Al-Qassam tidak diragukan. Senjata seperti senapan
dan granat dirakit sendiri. Beberapa ada yang teknologinya diadopsi dari
negara lain. November 2012, Al-Qassam menyentak Israel kala roket Fajr 5
teknologi Iran berhasil menjangkau Tel Aviv.
Inilah
pertama kalinya sirene peringatan menggaung keras di ibu kota Israel. Segera
setelahnya, Israel mau meneken perjanjian gencatan senjata. Gencatan senjata
yang disambut sukacita warga Gaza menunjukkan bahwa bukanlah perang yang
diinginkan. Mereka hanya ingin merebut kembali kemerdekaan yang dicerabut
paksa. Ketidakadilan yang menimpa bangsa Palestina kadang terlalu samar untuk
terdengar ke seluruh penjuru dunia. Saat konflik berkecamuk, barulah dunia
teringat kembali bahwa masih ada satu negara di dunia ini yang belum
merasakan nikmat kemerdekaan. Maka itu, sudah sepantasnyalah kita mendudukkan
perkara Palestina bukan sekadar berteriak mengutuk atau mencari siapa yang
lebih dulu menyerang.
Ini juga bukan
persoalan agama. Ada puluhan ribu umat Kristiani yang
tinggal di Tepi Barat maupun Gaza. Berbagai suku juga tinggal di sana,
termasuk suku Arab Baduy yang hidup nomaden. Mendukung Palestina adalah perkara
mengejawantahkan konsistensi kita akan perjuangan melawan penindasan dan
ketidakadilan. Ia juga menjadi parameter penghargaan kita terhadap hak
untuk merdeka dari segala bentuk penjajahan di muka bumi ini. Seperti yang
diucapkan Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, kemerdekaan kita
semua sejatinya tidak akan pernah lengkap tanpa kemerdekaan Palestina.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar