Gaza
& Perdamaian
Dinna Wisnu ; Co-Founder
& Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 16 Juli 2014
Setahun
yang lalu, saya mendapat kesempatan baik untuk mengunjungi Palestina dan
Israel, dalam konteks melihat secara langsung proses perdamaian dan kehidupan
sehari-hari masyarakat Palestina dan Israel.
Pada
saat kunjungan berlangsung, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) sedang
mengusulkan upaya perdamaian Israel-Palestina yang berangkat dari upaya untuk
berdirinya dua negara yang hidup berdampingan secara damai dengan keamanan
yang terjamin. Two-state solution.
Pilihan ini dianggap sebagai titik win-win,
artinya tak ada satu pihak yang akan merasa dirugikan atau kalah; semua bisa
menang. AS secara tidak langsung mengakui Palestina sebagai negara berdaulat.
Pada saat itu, Palestina masih memiliki dua pemerintahan yang otonom.
Pemerintahan
Hamas menguasai wilayah Gaza dan pemerintahan Fatah di wilayah Tepi Barat.
Dibandingkan dengan Tepi Barat, Gaza adalah wilayah yang penuh dengan tekanan
dan konflik. Gaza adalah wilayah di timur Laut Mediterania yang membatasi
Mesir dan Israel. Wilayah sejak Perjanjian Oslo 1993 dan Perjanjian Kairo
1994 ini secara bertahap dikelola oleh Otoritas Palestina. Kawasan ini
didiami oleh sekitar 1,6 juta penduduk Palestina. Wilayah yang cukup subur
dan sejuk dengan aliran air dari Wadi Gaza ini tidak imun terhadap bencana
kekeringan yang kerap dialami wilayah dekat gurun khususnya di musim panas.
Sebenarnya
wilayah ini bisa berkembang dengan baik, andai saja konflik politik dalam
tubuh Palestina ataupun dengan Israel bisa ditekan. Dualisme kepemimpinan
Palestina di masa lalu menguntungkan bagi Israel karena mereka dapat
melakukan diplomasi ganda. Bersikap moderat kepada pemerintahan di Tepi Barat
dan keras terhadap pemerintahan di wilayah Gaza. Implikasi sosialnya sangat
nyata. Masyarakat
sipil di Gaza jauh lebih menderita daripada di Tepi Barat, walaupun pilihan
politik mereka sangat bervariasi dan tidak hanya terbatas pada Hamas dan
Fatah.
Masih
ada kelompok-kelompok masyarakat lain yang memiliki ideologi berbeda. Ada
kurang lebih 11 partai politik dengan warna ideologi yang berbeda di
Palestina dari kelompok sayap kiri seperti Popular Front for the Liberation of Palestine hingga moderat
seperti Third Way yang memperoleh
dua kursi saat pemilu legislatif tahun 2006. Perbedaan warna politik itu
tidak menjadi halangan bagi Israel untuk memaksakan kebijakan kepada
masyarakat Palestina.
Mengutip
pendekatan Amartya Sen yang mengkritik cara biner (dikotomis) dalam melihat
politik identitas dan kekerasan (2007), kita dapat melihat bahwa Israel
melakukan hal yang dikritik Amartya Sen itu, yakni memasukkan mereka yang
menganut ideologi antikorporatis sebagai Hamas dan yang korporatis sebagai
Fatah. Dikotomi tersebut yang selalu menjadi pembenaran untuk menghancurkan
segala sesuatu yang dianggap sebagai Hamas. Pandangan ini sebangun dengan
wacana yang berkembang di negara-negara muslim bahwa perjuangan pembebasan
Palestina sebagai perjuangan masyarakat muslim sehingga menyisakan sedikit
ruang wacana bagi masyarakat nonmuslim untuk menyatakan dukungannya.
Politik
identitas itu kembali dikuatkan Israel dan negara-negara Barat ketika Hamas
dan Fatah melakukan rekonsiliasi untuk membangun pemerintahan bersama. Israel
menyatakan rekonsiliasi itu sebagai tanda Fatah mengakui dan menyetujui
Hamas, termasuk cara pandang dan praktik politik yang dilakukan Hamas.
Padahal bagi Fatah, rekonsiliasi itu adalah penyatuan kembali masyarakat
Palestina yang terpecah, baik karena alasan pandangan ideologis maupun
geografis.
Serangan
Israel ke Gaza selama satu minggu terakhir adalah upaya untuk menguatkan
kembali wacana Palestina yang terbelah. Bela diri adalah alasan formal yang
diungkapkan Israel atas rangkaian serangan rudal yang dilakukannya atas Gaza.
Alasan utama bahwa serangan Israel hanya ditujukan kepada kelompok bersenjata
Hamas adalah dalih yang juga patut dipertanyakan, karena kekuatan Hamas
secara politik dan ekonomi telah berkurang. Sebelum pecah perang Suriah dan
pergantian kekuasaan di Mesir, Hamas dianggap sebagai kepanjangan tangan dari
Iran. Walaupun mayoritas anggota Hamas adalah Muslim Sunni, Iran dan Suriah
yang menganut Muslim Syiah memberikan bantuan politik, latihan militer, dan
keuangan bagi mereka.
Iran
dianggap sebagai ancaman nyata oleh Israel karena mereka menyatakan tidak
mengakui Israel sebagai negara. Hal tersebut menajam khususnya pada saat
Mahmoud Ahmadinejad berkuasa sebagai presiden Iran. Kini, menghancurkan Hamas tidak
lagi sekadar bagian dari upaya mengurangi ancaman Iran. Penghancuran Hamas
lebih terlihat sebagai upaya memecah belah Palestina. Pasalnya, peta politik
Timur Tengah sudah berubah setelah Hamas menggabungkan dirinya menentang
rezim Bashar Al-Assad yang telah membantu perjuangan Hamas selama ini.
Perlawanan
yang diramalkan hanya berjalan sesaat ternyata berlarut-larut hingga bertahun-tahun.
Kepercayaan diri yang kuat dari Hamas untuk melawan Suriah tidak lepas dari
dukungan penuh Mesir kepada Hamas ketika Mursi sebagai anggota Moslem Brotherhood menjabat sebagai
presiden di Mesir. Hamas berpikir Mesir dapat menjadi tempat alternatif untuk
menggantikan peran Suriah sebagai domisili politik dalam memperjuangkan
Palestina. Harapan itu pun kemudian pupus ketika Mursi digulingkan dan
digantikan oleh Jenderal Sisi. Sisi memiliki kebijakan terhadap Hamas yang
bertolak belakang dari kebijakan Mursi.
Pada akhirnya, Hamas
pun lemah secara ekonomi dan politik. Di tingkat regional,
pergantian kepemimpinan di Iran juga telah mengembuskan reformasi yang lebih
suka mengedepankan diplomasi daripada senjata. Iran juga telah berpartisipasi
dalam negosiasi dan pelucutan senjata nuklir agar dapat diterima dalam
pergaulan internasional dan dapat terlibat dalam menyelesaikan konflik yang
terjadi di Timur Tengah. Dengan kata lain, menggunakan Hamas sebagai biang keladi
bangkitnya kemarahan Israel dan sebagai legitimasi atas penyerangan yang
dilakukan Israel ke Palestina adalah alasan yang tidak masuk di akal.
Situasi
telah berubah. Apa yang kita saksikan dalam pernyataan politik dan diplomasi
Israel di media massa adalah penguatan kembali politik identitas untuk
memisahkan “Palestina Jahat” dari “Palestina Baik”. Palestina Jahat ada di
wilayah Gaza, Palestina Baik ada di Tepi Barat. Perbedaan ini yang harus kita
lawan khususnya bagi kita masyarakat Indonesia. Kita harus tetap mengakui
Palestina adalah satu dan bahwa kekerasan yang terjadi di Palestina adalah
praktik politik Israel yang tidak memberikan ruang bagi Palestina untuk hidup
“normal” sebagai suatu bangsa dan pemerintah.
Sebagai
negara pencinta kemerdekaan dan perdamaian, Indonesia perlu menegaskan pada
Israel dan pihak-pihak lain yang berusaha terlibat mencari solusi di Gaza
bahwa cara-cara dikotomis dalam memaknai identitas politik adalah jalan buntu
bagi upaya diplomasi yang sesungguhnya. Selain itu, semakin Israel bersikeras
menyuarakan rasa tidak aman terhadap tetangganya, semakin tinggi pula
perasaan tidak aman yang dirasakan warga negaranya, meskipun itu semua lebih
merupakan ilusi daripada ancaman yang nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar