Komitmen
Berswasembada Pangan
Miftahudin Efendi ;
Mantan Kepala Perum Perhutani Unit II Jawa Timur,
Tinggal di Salatiga
|
SUARA
MERDEKA, 15 Juli 2014
"Presiden
terpilih harus lebih memiliki kepedulian pada persoalan pertanian guna menuju
swasembada pangan"
TIAP pemilihan umum, para
kandidat selalu menjadikan program swasembada pangan, terutama beras, sebagai
salah satu materi kampanye. Sangat beralasan mengingat sebagian besar (60%)
rakyat Indonesia adalah petani. Iming-iming pelibatan dan pemakmuran petani
melalui program itu, menjadi jurus andalan menarik massa pemilih. Sayang,
jargon itu acap hanya komoditas kampanye.
Selama ini, belum ada langkah riil
mewujudkan sebenar-benarnya swasembada.
Biasanya, melalui jargon
itu, langkah yang diambil adalah cara klasik, yakni intensifikasi dan
ekstensifikasi pertanian, atau menciptakan lahan sawah baru, yang sejatinya
tidak pernah benar-benar terwujud. Intensifikasi dan ekstensifikasi memang
perlu tapi untuk ekstensifikasi bukan lagi hanya terbatas pada penciptaan
sawah baru. Saat ini justru lebih memerlukan kebijakan pertanian yang lebih
cerdas untuk mewujudkan swasembada pangan.
Obsesi mencetak sawah baru
memang mudah diucapkan tapi tak mudah direalisasikan, karena menyangkut
pengairan, topografi lahan harus berada di bawah irigasi, jenis tanah, dan
sebagainya. Andai pun mengubah atau menggunakan kawasan hutan menjadi lahan
sawah, berarti harus mengubah fungsi sesuai dengan perundang-undangan. Dalam
praktik, pelaksanaannya tidak mudah dan tak bisa cepat direalisasikan.
Dalam pelaksanaannya pun,
kesalahan pengelolaan pertanian yang tak mampu mewujudkan swasembada,
akhirnya hanya mengambinghitamkan perkembangan dan pembangunan zaman. Kegagalan
swasembada pangan didalihkan karena tidak bisa menghindari penggunaan lahan
untuk industri. Termasuk menyalahkan terus berkembangnya kawasan perumahan,
yang ujung-ujungnya dianggap mengurangi luas areal pertanian dan persawahan.
Di tingkat birokrasi pun,
realitas itu menjadi komoditas untuk saling menyalahkan antarsektor karena
tidak ada jalan keluar atas penyelesaian pertanian guna mencapai swasembada
pangan. Karena itu, presiden dan wakil presiden terpilih harus memiliki
kepedulian yang konkret pada persoalan pertanian.
Keduanya harus cepat
mencari jalan keluar menuju swasembada pangan, khususnya mewujudkan negara
ini sebagai penghasil beras. Upaya itu mudah dilaksanakan asalkan pemerintah
memiliki niat dan komitmen kuat untuk mewujudkan, tidak sekadar beretorika.
Tentunya memerlukan dukungan semua elemen, termasuk sinergitas
antarkementerian.
Sebenarnya para pemerhati
dan peneliti pertanian, khususnya peneliti padi, sudah lama mengenal varietas
padi lahan kering. Masyarakat mengenalnya sebagai padi gogo. Sayang, belum banyak elite peduli terhadap perkembangan
tanaman ini. Saya yakin kalau pemerintah mendatang lebih peduli pada
pengembangan padi lahan kering (padi gogo),
swasembada beras menjadi keniscayaan.
Upaya awal dapat dilakukan
dengan membiayai penelitian dan percobaan untuk pengembangannya. Sebenarnya
sudah ada kegiatan penelitian untuk itu tapi masih perlu penyempurnaan. Bila
petani kita bisa secara masif mengembangkan pertanian padi gogo, saya yakin kurang dari setahun
negara ini bisa mencapai program swasembada beras.
Eksportir
Besar
Bahkan kalau penelitian
dan pengembangan tersebut dilanjutkan dengan penemuan varietas padi yang
tahan naungan, tidak tertutup kemungkinan negara ini menjadi pengekspor besar
beras di dunia. Saat sekarang banyak lahan kering di bawah naungan yang belum
dimanfaatkan, dan selama ini hanya ditumbuhi belukar. Hal itu baik lahan
milik rakyat, lahan perkebunan, maupun lahan hutan, dan arealnya masih sangat
luas di Tanah Air.
Bila kita menengok masa
lalu, tebu hanya ditanam di lahan basah/sawah (tebu lahan basah).
Permasalahan tersebut sama dengan padi. Lama-lama karena perkembangan zaman
dan makin sempitnya lahan, para pemerhati tebu meresponsnya dengan melakukan
penelitian, percobaan, dan pengembangan. Hasilnya terbukti, setelah era
1980-an tanaman tebu bisa dibudidayakan di lahan kering.
Sudah barang tentu, upaya
mewujudkan swasembada beras, tidak lagi harus bergantung pada produksi padi
dari lahan basah/sawah. Pemerintah bisa mengembangkan padi lahan kering,
dengan memanfaatkan pekarangan, daerah sekitar hutan, dan sebagainya.
Harapan itu sudah ada di
depan mata, dengan memanfaatkan padi gogo yang memang bisa ditanam di lahan
kering. Hasil padi atau bulir berasnya pun tidak kalah dari beras lahan
basah/sawah. Bila negara ini berkelebihan beras dari lahan kering, pasti bisa
menjadi pengekspor beras.
Realitas itu merupakan
tantangan bagi mereka yang peduli, terutama para ahli, peneliti, pemangku
kepentingan sektor pertanian dan kehutanan, untuk mewujudkan. Ibaratnya
tinggal membalik tangan bila pemerintahan baru di bawah presiden-wakil
presiden terpilih konsisten dan mau lebih peduli sekaligus membiayai program
tersebut bekerja sama dengan lembaga penelitian, pendidikan tinggi, dan
swasta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar