Jumat, 06 Juni 2014

Rakyat Jelata

Rakyat Jelata

Idrus F Shahab  ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  04 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Sebuah gelas beling di atas piring kecil. Seseorang telah menuangkan kopi ke dalamnya. Dan manakala gelas terisi separuh, seorang lelaki setengah tua terbatuk-batuk. Ia tersedak, tapi kemudian menitipkan pesan kepada seorang kawannya di kota: kalau ada yang ke kota esok pagi, tolong sampaikan salam rindunya. Desa kecil ini, demikian si lelaki melanjutkan, siap menyambutnya dengan batang-batang padi yang terkembang, dan roda-roda giling yang berputar-putar, siang-malam.

Ia Leo Kristi. Ada batuk dan gelas kopi yang perlahan menggiring panorama padesan dalam Salam dari Desa. Leo Kristi terus menyanyi. Tambur di belakangnya dan gitar di tangannya mengisi irama pada setiap jengkal musik yang mengalir dalam ketukan dua perempat itu.

Dan ketika block flute mengalunkan potongan-potongan melodi, panorama desa, panorama yang amat dikenalnya, semakin jelas tergambar. Desa kecil yang tengah menyambut panen raya, ritual yang paling ditunggu-tunggu tiap-tiap tahun. Musik riang, dan semua berlangsung seperti waktuwaktu sebelumnya. Kecuali pada setiap akhir bait, suaranya yang berat membawakan ironi: sawah-sawah itu bukan lagi milik mereka.

Leo tidak menunjuk penyebabnya, tidak menawarkan solusi. Ia tidak menyerukan perlawanan, tidak menuntut land reform— yang memang tak kunjung menjadi kenyataan di republik ini. Ia hanya menyodorkan sebuah potret kenyataan kepada lawan bicaranya, seperti seorang pedagang kaki lima meletakkan barang dagangannya di atas alas koran.

Indonesia, di mata Leo, bukan negeri yang gampang menyerah. Dalam Sayur Asam Kacang Panjang, ia berkisah tentang seorang nelayan yang bergulat mencari ikan di tengah laut. Hidup memang berat, harapan-harapan harus disederhanakan, dan nelayan yang berjuang itu seakan berbisik kepadanya: setumpuk ikan di perahu sudah cukup untuk mengusir segenap kecemasan di hatinya. Ia akan pulang ke darat dan memperpanjang hidupnya sekeluarga sehari lagi. Adanya setumpuk ikan di perahu berarti banyak: selalu ada cahaya harapan di ujung perjuangan ini.

Sayur Asam Kacang Panjang musik yang sederhana. Nadanadanya pentatonis, mengandung repetisi layaknya mantra.

Tak seperti kandidat pemilihan presiden 2014 yang di atas podium dan di hadapan kamera televisi senantiasa menjanjikan perubahan dan keberpihakannya kepada rakyat; dalam musikmusiknya Leo Kristi melupakan slogan dan tangan-tangan yang terkepal. Cukup memperlihatkan keakrabannya dengan kebersahajaan, kemiskinan, kenaifan, dan kesederhanaan, baladeer ini sudah menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat jelata.

Seorang calon pemimpin memang diharapkan dapat menangkap aspirasi dan memenuhi angan-angan para pemilih. Ya, mula-mula kedua kandidat menampilkan dirinya sebagai antitesis dari pemimpin lama yang dinilai peragu dan tidak teguh pendirian. Kemudian, sesuai dengan angan-angan para pemilih, kita menyaksikan dua kandidat presiden 2014-2019 bergantian menegaskan visinya tentang Indonesia yang hebat dan disegani kawan-lawan, serta bagaimana "hijrah" ke kondisi ideal tersebut.

Mereka berbicara dalam skala makro. Padahal, ketika membahas seorang petani yang kehilangan sawah, atau nelayan pulang ke darat dengan setumpuk ikan, kita menggunakan skala mikro—seperti yang disampaikan Leo dalam lagunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar