Jumat, 06 Juni 2014

Membangkitkan Kembali Sukarno

Membangkitkan Kembali Sukarno

Arif Novianto  ;   Peneliti Politik di Bulaksumur Empat, Yogyakarta
TEMPO.CO,  03 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Sumbangsih Sukarno terhadap negara dan bangsa Indonesia tidak lagi dapat terhitung nilainya. Sukarno tidak hanya dikagumi oleh bangsa Indonesia semata, tapi juga masyarakat internasional.    Pemikiran Sukarno tentang penolakan terhadap neo-imperialisme dan neo-kolonialisme yang digelorakan di berbagai forum internasional telah membuatnya menjadi salah satu pionir perjuangan bangsa terjajah dalam merebut kemerdekaan. Selain itu, Sukarno adalah penggali ideologi negara Indonesia: Pancasila. Karismanya yang begitu besar telah membuatnya disegani. Keberaniannya telah membuat negara-negara lain gentar.

Setelah Sukarno dilengserkan dari tampuk kekuasaan dan digantikan oleh Soeharto sebagai presiden pada 1966, proses desukarnoisasi pun dijalankan oleh pemerintah Orde Baru ini secara masif selama 32 tahun. Semua yang berbau Sukarno pun dikebiri. Bahkan, pemikiran Sukarno tentang neo-kolonialisme dan neo-imperialisme yang menginspirasi perjuangan masyarakat dunia dihilangkan paksa dari diskursus ilmu sosial dan politik di lingkungan pendidikan.

Kini simbolisasi politik Sukarno kembali berusaha dibangkitkan oleh dua kandidat presiden Indonesia dalam kampanye pemilihan presiden pada tahun ini, yaitu Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Prabowo bahkan menasbihkan diri sebagai Sukarno Kecil. Simbolisasi politik Sukarno dengan tendensius diselipkan dalam penampilannya di depan publik. Hal ini dimulai dari mikrofon era 1950-an seperti yang sering digunakan Sukarno saat pidato kenegaraan, model pakaian ala pejuang kemerdekaan, hingga gaya pidatonya di depan publik.

Selain itu, pemikiran Sukarno tentang sikap nasionalisme serta penolakan terhadap neo-imperialisme dan neo-kolonialisme sering digelorakan oleh Prabowo. Bahkan, seperti halnya Sukarno, Prabowo mengkritik demokrasi liberal dan neoliberalisme. Padahal, bila merujuk sejarahnya, Prabowo adalah bagian dari Orde Baru yang sangat anti terhadap Sukarnoisme. Aktivisme yang dijalankan oleh Prabowo pun sangat bertolak belakang dengan sikap Sukarnoisme yang berusaha dibawakannya akhir-akhir ini.

Adapun Jokowi tidak menggunakan simbol pembawaan dari Sukarno seperti yang dilakukan oleh Prabowo. Kedekatannya dengan Megawati (Ketua PDIP), yang merupakan putri sulung dari Sukarno, telah turut mempengaruhi program politik yang ditawarkannya.

Konsep Trisakti yang merupakan visi-misi utama dari Jokowi ini di dalam mengarungi proses pemilihan presiden nantinya merupakan konsep yang dicetuskan oleh Sukarno pada 1963. Hal ini menegaskan pandangan politiknya untuk membawa perjuangan Indonesia menghadapi neo-imperialisme dan neo-kolonialisme. Trisakti ini bagian dari paham Marhaenisme Sukarno, yaitu berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya.

Melihat berbagai upaya untuk membangkitkan kembali simbolisasi dan pemikiran Sukarno ini dapat dilihat sebagai dua hal. Pertama, sebagai alat politik, yaitu digunakannya Sukarno hanya sebagai "alat" semata untuk dapat mendompleng suara. Dan kedua sebagai idiologi politik, yaitu sebuah pegangan hidup yang berusaha dicapai melalui berbagai komitmen, program kerja, dan tindakan. Untuk itu, semoga kita cerdas di dalam memilih agar tak tertipu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar