Peringatan
yang Tabrak Peraturan
Anto
Prabowo ; Wartawan
Suara Merdeka, Perokok
|
SUARA
MERDEKA, 18 Juni 2014
MULAI 24
Juni 2014, tiap bungkus rokok harus disertai lima gambar peringatan. Selain
gambar orang merokok, dengan tengkorak dilengkapi teks ’’Merokok Membunuhmu’’
yang sudah disosialisasikan, ada gambar lelaki merokok sembari menggendong
bayi.
Tiga
gambar selebihnya sangat menjijikkan, berupa bagian-bagian tubuh (mulut,
leher, dan paru-paru) yang terkena kanker. Selain ingin membuat (calon)
perokok takut, pencantuman gambar yang luasnya harus 40% dari penampang
bungkus, ingin meneguhkan bahwa rokok menjadi faktor determinan bagi kanker
dan penyakit lainnya.
Itu
jelas sesuatu yang dilebih-lebihkan karena pandangan bahwa rokok menjadi
faktor penentu berbagai penyakit beratî tidak bisa menjawab berbagai fakta
berikut ini: Pertama; banyak perokok yang sehat sampai tua. Mereka mudah
ditemui, dari orang biasa hingga pesohor. Sebaliknya, banyak orang terjangkit
kanker, jantung dan penyakit lain, sekalipun tidak merokok. Antara lain
mantan menkes dr Endang Rahayu MPH, yang meninggal karena kanker paru.
Kedua;
ada komunitas-komunitas di pegunungan yang mayoritas warganya merokok. Para
anak lelaki di sana diperbolehkan merokok setelah sunat. Bagi warga lereng
pegunungan, merokok bertujuan mengatasi udara dingin. Komunitas ini pun tidak
’’punah’’. Prianya juga tidak impoten. Para perempuannya tidak mengalami
gangguan kehamilan dan janin, sekalipun sebagian dari mereka merokok.
Sarana Penyembuhan
Ketiga;
di tingkat makro, data WHO 2011 menunjukkan 10 negara dengan jumlah perokok
per kapita tertinggi di dunia, tidak termasuk dalam 10 negara yang dengan
tingkat kematian karena kanker, kanker paru, ataupun jantung. Jepang, yang
jumlah perokok per kapitanya nomor dua tertinggi di dunia setelah Rusia,
justru tergolong negara yang masyarakatnya paling sehat, dengan tingkat
kematian akibat jantung dan kanker yang sangat kecil. Keempat; di kalangan
suku-suku Indian, asap tembakau dijadikan sarana penyembuhan.
Sampai
1970-an pun, pandangan mondial terhadap rokok pun sangat positif terhadap
kesehatan, sebelum dunia farmasi mengusiknya, dengan riset-riset partikular
yang memojokkan rokok. Kelima; di berbagai media banyak diberitakan tentang
kematian karena asap kendaraan bermotor. Sebaliknya, belum ada berita tentang
orang meninggal karena menghirup asap tembakau. Tapi perlakuan atas asap
kendaraan bermotor dan asap tembakau sedemikian berbeda. Sangat
diskriminatif.
Tak ada
peringatan terhadap bahaya asap kendaraan bermotor. Tak ada langkah-langkah
konkret untuk mereduksi terpaan asap kendaraan bermotor itu, baik dari sisi
transportasi (mengurangi pemakaian mobil pribadi) maupun tata kota (memperlebar
jalur untuk pejalan kaki, memperbanyak pepohonan guna menyerap gas buang
kendaraan bermotor).
Keenam;
saat ini dua saintis Indonesia Dr Greta Zahar (ahli biokimia, pensiunan Unpad
Bandung) dan Prof Sutiman B Sumitro (ahli biologi molekuler Unibraw Malang)
melakukan riset dan penyembuhan dengan asap keretek sebagai sarananya. Mereka
berusaha mengungkap keunggulan-keunggulan yang dimiliki asap keretek
(tembakau-cengkih) dari sisi sains.
Mereka
membutuhkan forum untuk mengomunikasikan temuan-temuan genuine. Jelas sekali
mereka menentang arus deras pandangan negatif terhadap rokok. Tetapi jika
terbukti mereka benar, banyak hal prestisius yang bisa diraih bangsa ini,
antara lain kemandirian ekonomi.
Stigmatisasi
Selain
wajib tampil dalam kemasan rokok, gambar-gambar peringatan itu juga harus
disertakan manakala pabrikan ingin mengiklankan di berbagai media. Demikian
besarnya upaya stigmatitasi itu, sampai-sampai kewajiban mencantumkan gambar
peringatan yang mengerikan itu sendiri dengan berbagai peraturan yang ada.
Dua
gambar peringatan, lelaki merokok dengan latar belakang gambar tengkorak,
serta lelaki merokok sembari menggendong bayi, menabrak beberapa peraturan
berikut: Pertama; UU No. 40 Tahun 1999 tetang Pers Pasal 13 item c,
”Perusahaan iklan dilarang memuat iklan peragaan wujud rokok dan atau
penggunaan rokok”. Kedua; UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 46
ayat 3 item c, ”Siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi rokok yang
memperagakan wujud rokok”.
Ketiga;
Standar Program Siaran KPI 2012 (Bab XXIII, Siaran Iklan), Pasal 58 ayat 4
item c, ”Program siaran iklan dilarang menayangkan promosi rokok yang
memperagakan wujud rokok”. Keempat; Etika Parwara Indonesia 2012, 2.2.2, item
c, ”Penyiaran iklan rokok dan produk tembakau wajib memenuhi ketentuan
berikut: Tidak memperagakan atau menggambarkan dalam bentuk gambar, tulisan,
atau gabungan keduanya, bungkus rokok, rokok, atau orang sedang merokok, atau
mengarah pada orang yang sedang merokok”. Tidak hanya peraturan di media.
Dua peringatan
yang menggambarkan orang merokok itu jelas menerjang Peraturan Pemerintah
(PP) No 109 Tahun 2012, tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif
Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Pertama; Pasal 27 PP itu (poin c)
menyebutkan, ”Pengendalian Iklan Produk Tembakau, antara lain dilakukan
sebagai beriku: (c) tidak memperagakan, menggunakan, dan/atau menampilkan
wujud atau bentuk rokok atau sebutan lain yang dapat diasosiasikan dengan
merek produk tembakau”.
Kedua;
Pasal 39 pun menyatakan, ”Setiap orang dilarang menyiarkan dan menggambarkan
dalam bentuk gambar atau foto, menayangkan, menampilkan atau menampakkan
orang sedang merokok, memperlihatkan batang rokok, asap rokok, bungkus rokok
atau yang berhubungan dengan produk tembakau serta segala bentuk informasi
produk tembakau di media cetak, media penyiaran, dan media teknologi
informasi yang berhubungan dengan kegiatan komersial/ iklan atau membuat
orang ingin merokok.” Tiga gambar peringatan selebihnya pun bukannya tanpa
masalah. Ada dua pertanyaan yang berkait hal itu.
Pertama;
apakah gambar itu asli, bukan hasil rekayasa? Kedua; andai benar tiga gambar
itu adalah gambar asli dari orang yang terkena kanker, apakah benar faktor
tunggalnya karena rokok? Apakah pasti tidak ada faktor penyebab kanker
lainnya selain rokok? Jika dua pertanyaan itu dijawab dengan ”tidak” atau
”ragu-ragu”, maka sesungguhnya peringatan-peringatan itu menyiarkan
kebohongan. Sejauh ini, citra ”rokok jahat” telah tersebar di masyarakat.
Melalui peringatan itu, ingin ditanamkan citra yang lebih mengerikan, bahwa
”rokok sangat jahat sekali”.
Citra
itu selanjutnya dijadikan kebenaran ketika kita mendata ”korban-korban karena
rokok”. Misalnya, kalau seorang terkena kanker, selalu ada pertanyaan,
”apakah Anda merokok”. Jika dijawab ”tidak”, pertanyaan berikutnya, ”apakah
ada anggota keluarga, atau teman di kantor yang merokok?”.
Jika
dijawab ”ya, ada”, maka pasien itu dikategorikan sebagai ”terkena kanker
karena sebagai perokok pasif (korban orang-orang merokok di sekitarnya)”.
Kemungkinan-kemungkinan faktor lainnya tidak diperhitungkan. Ini ’’keanehan’’
luar biasa yang harus didekonstruksi kembali. Jika saja pemerintah memberi
kesempatan pada Dr Greta dan Prof Sutiman untuk mendiseminasikan hasil-hasil
penelitiannya sejauh ini, pastilah akan terjadi dialektika menarik. Tembakau
akan dilihat dari sudut yang komprehensif.
Kita
harus jujur mengakui, tidak ada upaya serius untuk meneliti keistimewaan-keistimewaan
tembakau. Para peneliti enggan melakukannya karena ”citra negatif” tembakau
yang tertanam di benak masyarakat. Pandangan negatif terhadap tembakau
menguat karena berbagai riset yang tidak bebas kepentingan. Kita pun hanya
menelannya begitu saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar